Archive for Oktober 2014
MANUSIA ITU BINATANG BUTUH REVOLUSI
MANUSIA ITU
BINATANG BUTUH REVOLUSI
Manusia adalah
makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia juga
disebut binatang yang berfikir (al-hayawan al-natiq). Karena manusia bisa
berfikir maka otomatis dapat berubah sesuai apa yang difikirkannya. Bisa menjadi
lebih baik melebihi malaikat, dan bisa menjadi lebih buruk melebihi binatang. Jika
sifat manusia sebagai binatang yang
berfikir (al-hayawan al-natiq), ini tidak diawasi dengan baik, besar
kemungkinan perubahan lebih buruk yang akan terjadi. Mengingat perkembangan
globalisasi saat ini, dengan didukung kemajuan tekhnologi. Artinya sangat mudah
mendapatkan sesuatu hanya dari kamar tidur, termasuk bisa selingkuh….hehehehe
bagi yang punya hobi.
Antara lain
solusi yang ditawarkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang
akan terjadi, revolusi mental. Sebuah istilah yang dipopulerkan oleh presiden
terpilih Joko Widodo atau Jokowi sapaan akrabnya ketika bertarung memperebutkan
kursi nomor satu di Republik Indonesia ini beberapa bulan yang lalu. Pertanyaannya
apa itu “revolusi mental”? Perlu diingat tulisan ini bersifat objektif,
maksudnya tidak memihak siapapun, hanya menjelaskan teori yang ditawarkan.
Revolusi mental
terdiri dari dua kata di mana pengertian kata yang satu dengan lainnya memiliki
perbedaan makna. Revolusi artinya “menyerang penjajah”. Sedangkan mental
artinya “sifat atau karakteristik”. Adapun sifat atau karakteristik masyarakat
Indonesia terkenal dengan sifatnya yang sopan, akrab, baik, memiliki etos kerja
yang tinggi, toleransi beragama, saling gotong-royong, peduli terhadap orang
lain, hormat kepada yang tua dan sayang kepada yang muda dan lain-lain. Setidaknya
itu yang dapat dilihat pada leluhur terdahulu kita. Namun saat ini,
karakteristik masyarakat Indonesia malah sebaliknya dari yang dijelaskan di
atas. Sehingga menimbulkan sifat korupsi, mencuri, merampok, memperkosa hak
orang lain, toleransi beragama hilang, semangat gotong-royong terabaikan dan
lain-lain. Toleransi beragama hilang misalnya, dapat dilihat kasus pergantian
gubernur DKI Jakarta antara front Pembela Islam dengan Basuki Cahaya Purnama
atau dipanggil Ahok (sekarang menjabat gubernur tapi belum dilantik). Anehnya FPI
melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam tidak demikian,
Islam agama yang rahmatan lil’alamin. Tidak ada satu pun ayat al-qur’an
yang menjelaskan bahwa pemimpin itu harus beragama Islam. Tuhan hanya
menginginkan dan menganjurkan sebuah negara yang amanah yang menjamin hak warga
negaranya (baladin amin surat at-tin), tanpa kejahatan (baladan
aminan), dan negara yang mendapatkan ampunan dari Allah karena tidak ada
kejahatan (baldatun toyyibatun wa robbun gofur).
Merosotnya akhlak
seperti yang dijelaskan di atas, menimbulkan pertanyaan: apakah karena fitrah
manusia sebagai binatang yang berfikir (al-hayawan al-natiq), atau karena
perkembangan globalisasi.?
Jika revolusi
mental yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini, hemat penulis
seharusnya revolusi mental tersebut tidak hanya dari orang yang berhak
mengeluarkan hukum (pemerintah) seperti yang digadang-gadangkan selama ini. Namun
setidaknya melibatkan tiga unsure: (1) individu, (2) masyarakat dan (3)
pemerintah. Individu misalnya, harus benar-benar ada keinginan untuk merubah
diri menjadi lebih baik. Kedua Masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat
harus memberikan sanksi social langsung ketika terjadi ke-merosot-an akhlak. Misalnya,
di Sirambas Kabupaten Mandailing Natal Sumatra Utara, tempat tinggal penulis. Jika
ada pasangan suami-isteri tidak menghormati orang tuanya (ibu bapak) maka
masyarakat langsung memberikan hukuman sanksi social. Dalam hal ini berupa
ejekan dari mulut ke-mulut. Apalagi jika pasangan suami isteri tersebut masih
tinggal satu rumah dengan orang tuanya.
Terakhir, Ketiga
Pemerintah. Pemerintah sebagai produk hukum, seharusnya ketika mengeluarkan
aturan harus memperhatikan apa yang disebut “sosiologi hukum”. Maksudnya,
pemerintah tidak hanya membahas norma-norma hukum, akan tetapi memahami
institusinya dan social masyarakat, dengan melihat budayanya dan seberapa jauh
tingkat kepatuhan atau kesesuaian hukum. Sehingga hukum bisa dijalankan oleh
masyarakat dengan penuh “kegembiraan”. Intinya, memahami hukum tidak boleh
dilepaskan dari substansi hukum (substantive law), sturuktur hukum (legal structure)
dan budaya hukum di masyarakat (legal culture).
SI-KULIT PUTIH SEDIKIT BERKERUT
SI-KULIT PUTIH
SEDIKIT BERKERUT
Tanggal 15
Oktober 2014, aku diajak oleh seorang sahabat keliling Malioboro. Aku
memanggilnya “Ariel”, karena wajahnya yang mirip dengan artis fenomenal
Indonesia bernama “ariel”. Nama sebenarnya Abdul al-Muzammi. Malioboro sebuah tempat
pusat perbenlanjaan dan icon—nya kota Yogyakarta. Tempat ini terkenal
tidak hanya di Indonesia namun sampai ke Mancanegara. Di sinilah semua ekonomi
kreatif masyarakat dipasarkan, sebahagian diekspor ke seluruh Indonesia, bahkan
ke berbagai negara Malaysia, Tailand, misalnya. Sebetulnya tempat ini, sudah
tidak asing lagi bagiku. Artinya tidak terhitung lagi dengan jari berapa kali
saya berkunjung ke Malioboro, lupa. Namun ada yang berbeda dengan perjalanan
kali ini, di mana saya tidak langsung dibawa ke Malioboro. Tapi saya terlebih
dahulu diajak minum es, masih daerah Malioboro itu sendiri. Katanya haus, dan
aku juga merasakan demikian. Maklum kota Yogyakarta lagi musim kemarau, sudah
hampir tiga bulan tidak turun hujan. Bahkan di daerah-daerah lain ada yang
sudah kekeringan.
Aku sih manut
saja, soalnya ke Malioboro juga bukan niat mau belanja, cuma ingin
lihat-lihat saja. Maklum, bulan tua. Akhirnya es sudah dipesan dua porsi, dan
kami minum bersama. Dinginnya es membuat tenggorokanku terasa plong,
seakan-akan membuatku lupa bahwa kota Yogyakarta sudah tiga bulan dilanda musim
kemarau. Kemudian menghilangkan rasa prihatinku bahwa saudara-saudaraku di
daerah yang lain dilanda kekeringan. Bahkan, menghilangkan ingatakanku akan
musibah meletusnya gunung Sinabung di tempat asalku, Medan. Sesaat aku
terhenti, “astagfirullah” ucapku. Tidak bisa membantu dengan tangan minimal
dengan do’a. semoga mereka mendapatkan kesabaran dan musibah dihilangkan. Hanya
itu yang ada dalam benak do’aku.
Tanpa sengaja,
aku melihat ke grobak kecil tempat pembuatan es. Saya melihat sepasang manusia
dengan sibuknya melayani pelanggan. Selain kami berdua, di sampingku ada
seorang bapak-bapak memakai baju kaos sederhana, memiliki kulit putih sedikit
berkerut, kira-kira berumur 52 tahun. Si kulit putih sedikit berkerut itulah
yang punya grobak es berwarna biru tersebut. Sedangkan sepasang manusia yang
sibuk memarut es sampai halus, sibuk melayani pelanggan adalah karyawannya. Sesekali
karyawan tersebut saya lihat menghela nafas, sambil mengusap dahi, capek. Lalu saya
beranikan diri bertanya kepada pemiliknya:
“baru jualan pak
ya”? Tanyaku dengan lembut. Pertanyaan yang cukup simple.
Saya bertanya
demikian bukan tanpa alasan, karena saya melihat si kulit putih sedikit
berkerut itu, jualan hanya bermodalkan grobak kecil dan dua orang karyawan. Sedang
peralatan lainnya yang seharusnya ada seperti bangku, meja, alat tikar tidak
ada. si kulit putih sedikit berkerut itu, hanya berjualan di pinggir jalan. Para
pelanggan yang membeli, minum sambil duduk di teras rumah di dekatnya sambil
menghadap ke jalan. Bahkan ada yang jongkok, termasuk kami.
Cukup lama si kulit
putih sedikit berkerut itu, menjawab pertanyaanku. Saya melihat dia malah
tersenyum mendengar pertanyaanku. Padahal jawabannya cuma “ya atau tidak”,
seperti lagunya Iwan Fals. Saya heran ia belum menjawab pertanyaanku. Sesaat kemudian
dia malah balik bertanya:
“kamu kelahiran
berapa nak” ucapnya dengan bahasa jawa. Tetap masih tersenyum.
“07 Pebruari
1989 pak” jawabku singkat dengan bahasa Indonesia. Maklum sejak saya tinggal di
Yogyakarta 17 Juni 2013 lebih satu tahun saya belum bisa bahasa Jawa.
“berarti
umurmu masih 25 tahun toh, saya itu jualan dari tahun 1976. Jadi kalau mau tahu
berapa lama saya jualan hitung sendiri”. Jawabnya sedikit sombong.
Dari jawabannya
tersebut akhirnya aku paham, kenapa ia lama menjawab pertanyaan simpelku.
“huh….belum tahu siapa saya”. Mungkin itu yang ada dalam pikirannya ketika pertama kali mendengar pertanyaanku.
“huh….belum tahu siapa saya”. Mungkin itu yang ada dalam pikirannya ketika pertama kali mendengar pertanyaanku.
Ada satu jawaban
dari pertanyaanku kepada si kulit putih sedikit berkerut itu, yang membuatku
terharu. Di mana, alasan kenapa ia berjualan di pinggir jalan padahal pelanggannya
cukup ramai, ternyata pelanggannya sendiri yang meminta, agar supaya konsumen
tersebut bisa minum es hasil racikannya sambil menghadap ke jalan, melihat lalu
lalang kendaraan.
Tidak hanya itu,
sejak ia berjualan es, ia masih belum punya rumah. Itu artinya selama 38 tahun
ini, hanya memiliki rumah kontrakan. Mungkin karena harga esnya yang cukup
murah. Ada satu penjelasan yang sangat melekat dalam pikiranku, ia berkata “kita
hidup di dunia ini hanya sementara. Tujuan sesungguhnya akhirat. Saya berjualan
es juga begitu, tidak hanya tujuan materi (dunia), namun agar bisa membantu
orang lain yang kehausan. Tentunya dengan harga yang lebih murah, itu bagian
dari tujuan akhirat”. Seakan memberi nasehat kepada kami.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 12. 00 Wib, itu artinya sudah hampir setengah jam kami berdua
saling tukar pikiran dengan si kulit putih sedikit berkerut itu. Akhirnya kami
pamit mau ke tujuan asal (Malioboro).
“pamit pak ya”
“nggeh, matursuwun”
“sami-sami”
“nggeh, matursuwun”
“sami-sami”
Di tengah jalan,
di atas motor posisiku di bonceng, sejenak aku berpikir ternyata masih ada
orang yang pendidikannya rendah namun memiliki hati yang sangat mulia. Sebaliknya
ada orang yang memiliki pendidikan yang sangat tinggi sampai gelar “prof”,
jangankan peduli, malah sebagian merampas hak orang lain (koruptor). Apakah mungkin
gelar “prof” nya sudah diganti dengan “provokotor”? bukankah sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Mari kita tanyakan pada rumput yang
bergoyang.