- Back to Home »
- SUMBER HUKUM , SUMBER HUKUM KELUARGA »
- SUMBER HUKUM KELUARGA
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber hukum merupakan sumber yang dijadikan bahan dalam membuat sebuah
peraturan. Dalam islam sumber hukum yang dijadikan sebagai pedoman dalam
membuat aturan-aturan atau biasa disebut dengan fiqh adalah al-Qur’an, Hadits,
Ijma’ dan Qiyas. Jumhur ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber pertama dan
utama untuk dijadikan rujukan dalam membuat hukum. Apabila dalam berijtihad
untuk memutuskan hukum menggunakan diluar al-Qur’an maka hukum tersebut tidak
boleh bertentangan dan harus selaras dengan nilai-nilai al-Qur’an.
Seperti yang diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berpenduduk
mayoritas beragama islam. Masyarakatnya tergolong muslim yang taat dan patuh
terhadap ajaran-ajaran islam. Disisi lain, Indonesia menggunakan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum untuk menetapkan suatu
Perundang-Undangan. Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia dan juga
hasil dari pemikiran yang sedalam-dalamnya, yang oleh bangsa Indonesia
dianggap, dipercayai dan diyakini sebagai suatu (keyakinan, norma-norma,
kaidah-kaidah, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana
dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Yang menjadi persoalan adalah apakah sumber hukum islam zaman dahulu
seperti al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas masih dijadikan pedoman dalam
berijtihad, mengingat semakin berkembangnya zaman maka semakin banyak pula
masalah yang ada. Dan apakah sumber dari segala sumber hukum yakni pancasila
yang dijadikan pedoman dalam perundang-undangan di indonesia sesuai dan selaras
dengan sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an, atau justru bertentangan. Dari
situlah makalah ini akan membahas tentang sumber hukum dalam islam, sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia serta kaitannya dengan Al-Qur’an, dan
bagaimana kaitannya dengan hukum keluarga Islam di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Melihat dari pokok persoalan di atas, maka menghasilkan beberapa rumusan
masalah, diantaranya:
1. Bagaimana sumber hukum
dalam islam?
2. Apakah pancasila sebagai
sumber segala sumber hukum di indonesia selaras dengan Al-Qur’an?
3. Bagaimana sumber hukum
keluarga Islam di Indonesia?
C. Tujuan Rumusan
1. Untuk mengetahui dan
memahami sumber hukum dalam islam;
2. Untuk mengetahui dan
memahami pancasila sebagai sumber segala sumber hukum di indonesia selaras
dengan Al-Qur’an;
3. Untuk mengetahui dan
memahami sumber hukum keluarga islam di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum dalam Islam
Berbicara mengenai sumber hukum islam, terdapat perdebatan di dalamnya. Ada
sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama dan juga ada sumber hukum yang
tidak disepakati oleh sebagian ulama lainnya. sumber hukum (bisa juga disebut
sebagai Ushul Fiqh / metode istinbath) yang disepakati diantaranya
Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan Qiyas. Namun ada juga beberapa ulama yang masih
memperdebatkan tentang Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum yang tidak
disepakati diantaranya istihsan, istishab, maslahah mursalah, urf, madzhab
shahabi, dan syaru man qoblana. Sebagian ulama ada yang menjadikan
dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak disepakati.
Terbentuknya Ushul fiqh melalui beberapa tahapan, yaitu: Pertama,
periode pertumbuhan (abad I-II H), yakni pada masa Rasulullah, para Sahabat,
Tabi’in dan al-aimmah al-mujtahidun. Kedua, periode perkembangan (abad
III-IV H), masa banyak terjadinya jumud dan taqlid. Ketiga, periode
penyempurnaan (abad V-VI H), penyempurnaan dari murid-murid para pendiri
madzhab.[1]
Sebenarnya pada masa Rasulullah, metode istinbath tersebut telah ada
terutama ketika Rasul menghadapi permasalahan hukum yang belum ada
penyelesaiannya dalam wahyu. Meskipun Nabi Muhammad merupakan Rasul Allah yang
bertugas menyampaikan risalah wahyu, akan tetapi Beliau juga adalah manusia
biasa. Hal ini terlihat ketika Nabi dalam berijtihad untuk menyelesaikan
persoalan salah dan tidak sesuai dengan maksud Allah SWT, maka Nabi mendapat
teguran dari Allah. Sehingga dapat terlihat bahwa ijtihad Rasulullah tersebut
menggunakan rasio (ar ra’y)-nya sendiri, secara teknis terkadang
menggunakan qiyas dan terkadang juga maslahat.
Kemudian pada masa sahabat, ijtihad menggunakan rasio(ar-ra’y)
semakin berkembang. Pada masa inilah kecenderungan pola pikir para sahabat yang
rasionalis, tekstualis dan antara keduanya semakin tampak jelas yang
berimplikasi pada corak-corak fiqh para sahabat yang berbeda-beda. Sahabat yang
paling banyak menggunakan rasio adalah Umar Ibn al-Khattab yang menurut Yusuf
Musa disebut sebagai pendiri awal madzhab ahl ar-ra’y (rasionalis) dan
menjadi imam pada masanya.
Selanjutnya adalah pada masa tabiin. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan
hukum mereka selalu dihadapkan pada al-Kitab, sunnah dan fatwa para sahabat.
Pada masa ini penyandaran terhadap kaidah-kaidah hukum yang dirintis para
sahabat dan produk fiqhnya sangatlah populer. Jika orang berbicara tentang
madzhab, maka madzhab yang maksud adalah madzhab Umar, ‘Ali, ‘Aisyah, Ibn
‘Umar, Ibn al-‘Abbas dan lain-lain. banyaknya madzhab sahabat ini pada
gilirannya sangat menyokong bagi tumbuhnya ikhtilaf di kalangan tabiin,
di samping juga dipengaruhi oleh banyaknnya masalah furu’iyyah yang
muncul.
Seiring dengan semakin subur tumbuhnya perbedaan metode istinbat ini,
banyaknya kaidah yang berserakan akhirnya mengkristal dan menjadi kaidah-kaidah
yang lebih definitif dan baku di kalangan ulama karena seringnya digunakan,
terutama memasuki al-Aimmah al-Mujtahidin. Imam Abu Hanifah di Kufah,
misalnya, ia mulai menegaskan metode istinbatnya yang mengacu kepada al-kitab,
sunnah dan secara selektif memilih fatwa sahabat yang disepakati para sahabat
lainnya sampai generasi tabiin. Serta ia juga berijtihad melalui qiyas dan istihsan.
Kelompok rasionalis Kufah ini pada zamannya terkenal sangat profesional dan
memiliki keberanian yang tinggi untuk menggunakan dalil qiyas dan istihsan.
Mereka lebih memilih qiyas daripada hadits ahad atau hadist shahih yang sudah
tidak aktual lagi. Kecenderungan menggunakan rasio ini membuat hampir semua
kasus hukum dapat terjawab dengan tuntas.
Sedangkan kelompok tradisionalis Hejaz dan Madinah dengan Imam Malik Ibn
Anas sebagai tokoh utamanya adalah kelompok pewaris tradisi Nabi yang kaya
dengan sunnah Nabi sehingga lebih banyak terikat dengannya dan membatasi peran
akal. Ia lebih banyak berhujjah pada dengan tradisi penduduk Madinah (‘amal
ahl al-Madinah) sebagai pewaris tradisi sahabat dan Nabi. Namun demikian,
mereka juga terkadang menggunakan dalil rasio, meskipun tidak sebebas kaum
rasionalis Kufah. Hanya saja bedanya kaum rasionalis Kufah lebih banyak
menggunakan qiyas dan istihsan, sedangkan tradisionalis Hejaz banyak
menggunakan maslahat (istislah) dan ‘urf.
Dari perbedaan dua metode istinbath ini, muncullah Imam Syafi’i sebagai
penengah di antara dua kubu tersebut. Imam Syafi’i mencoba untuk memadukan
antara keduanya dengan melakukan beberapa kunjungannya ke daerah-daerah,
seperti Kufah yang diwarnai dengan dialog yang panjang dan sengit dengan
murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Imam Muhammad as-Syaibani, di
Yaman beliau menemukan fiqh sahabat Mu’adz Ibn Jabal, Matraf Ibn Mazin, dan
hasyim Ibn Yusuf. Bentuk kompromi tersebut menghasilkan sintesis baru, yaitu
ushul asy-Syafi’i yang dibukukan dalam karyanya yang monumental dan gemilang
pada masanya yaitu ar-Risalah (yang sebelumnya bernama al-kitab atau kitabi).
Ar-Risalah merupakan kitab pertama dalam sejarah yang menuliskan tentang
ushul. Dalam sejarah ar-Risalah ditulis dua kali oleh Imam syafi’i dengan
metode mendikte kepada murid-muridnya. Yang pertama ditulis di Baghdad dengan
judul awal bukan ar-Risalah akan tetapi dikenal sebagai al-kitab atau kitabi.
Tetapi penulisan pertamanya itu hilang dan sudah cukup dikenal di kalangan
ulama. Akhirnya ketika as-Syafi’i ke Mesir, beliau diminta lagi menulis
kitabnya itu dihadapan muridnya sekaligus periwayat kitab ini, yaitu Rabi’ Ibn
Sulaiman, atas permintaan seorang ahli hadits Hejaz, ‘Abd ar-Rahman Ibn
al-Mahdi. Hasil penulisannya tersebut dikirim kepada al-Mahdi, sehingga yang
sebelumnya bernama al-Kitab kemudian dinamakan sebagai ar-Risalah.
Menurut as-Syafi’i, sumber hukum islam itu terdiri dari al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ Sahabat, Qiyas dan Fatwa Sahabat. Setelah nas ia hanya menambahkan rasio
qiyas, tidak lebih dari itu, sehingga ia menyebut qiyas sama dengan ijtihad.
Sedangkan metode istinbath lainnya seperti istihsan, ‘urf, dan istislah yang
sudah berkembang saat itu ia tolak. Menurutnya “Barang siapa yang
beristihsan sama halnya dengan membuat Syari’at” sementara otoritas hana di
“tangan” Allah.
Dengan metode qiyasnya ini kemudian As-Syafi’i sering disebut sebagai
penyatu antara dua kubu di atas, karena satu sisi beliau sangat kuat dengan
berpegang pada sunnah tetapi disisi lain juga mengakomodasi metode kaum rasionalis, yaitu qiyas. Tetapi
di kalangan ulama tradisionalis sunni, beliau juga dikenal sebagai Pembela
Sunnah (Nasir as-Sunnah) karena tidak lelah-lelahnya beliau menganjurkan
kaum rasionalis untuk berpegang kepada sunnah Nabi dan kegigihan beliau dalam
membela sunnah Nabi ketika berdebat dengan tokoh-tokoh kaum rasionalis dan
kelompok inkar as-sunnah Mu’tazili.
Berbagai macam ulama merespon ar-Risalah. Pertama, hanya menjelaskan metode
istinbath-nya as-Syafi’i. Kedua, menjelaskan lagi kaidah-kaidah atau
dasar-dasar istinbath yang telah dirumuskan as-Syafi’i. Ketiga, mengambil
sebagian besar dari patokan yang dikemukakan as-Syafi’i, tetapi berbeda
perinciannya dan menambah beberapa dasar dan kaidah lagi.
Cara yang terakhir adalah cara yang terpopuler dikalangan fuqoha’, seperti
ulama Hanafiyyah menambah istihsan dan ‘urf, sehingga sumber hukum mereka
terkenal dengan pengklasifikasian ke dalam dua kelompok dalil, yaitu (1)
ijtihad dengan nas, yang bersumberkan kepada al-Kitab, Sunnah dan pendapat para
Sahabat. Dan (2) ijtihad tanpa nas, bersumberkan pada ijma’, qiyas, istihsan
dan ‘urf. Sedangkan ulama Malikiyyah menambah dalil menjadi delapan sumber yang
terkenal, yaitu al-Kitab, sunnah, tradisi penduduk Madinah, fatwa sahabat,
qiyas, istislah, istihsan, dan sad az-zara’i. Kemudian ulama Hanafiyyah
menyandarkan kepada dalil-dalil Kitab, Sunnah, ijma’, qiyas, istislah,
istihsan, sadd az-zara’i dan istishab.
Memasuki abad V H ushul fiqh semakin jelas menjadi karakter masing-masing
madzhab yang secara garis besar akhirnya muncul dua aliran besar dalam metode
perumusan usul, yaitu aliran fuqaha’ (Hanafiyyah) dan aliran Mutakallimin
(Syafi’iyyah). Ahli usul dalam aliran Hanafiyyah yang pertama kali adalah Abu
Bakr asy-Syarkhasyi dengan karyanya Ushul as-Syarkhasyi, Abu Yazid
ad-Dabusi dan Abu al-Husain al-Baidawi dalam karyanya Ushul al-Baidawi.
Sedangkan ahli usul aliran Syafi’iyyah yang pertama kali adalah Imam al-Haramain
al-Juwaini dengan karyanya al-Burhan, al-Ghazalli murid al-Haramain
dengan karyanya al-Mustafa min ‘Ilm al-Usul. Kedua ulama ini adalah ahli
kalam yang berafilisiasi ke aliran Syafi’iyyah, meskipun sudah banyak
mengakomodasi teori filsafat Yunani, seperti Mantiq, dan teori-teori
usulnya ulama non-Syafi’i, seperti teori maslahat. Kemudian memasuki abad VIII
H muncul kitab yang populer dengan konsep Maqasid-nya, yaitu al-Muwafaqat
fi Ushul al-Fiqh karya Abu Ishaq asy-Syatibi al-Maliki.
Dengan semakin berkembang dan majunya zaman, maka berbagai persoalan akan
muncul dan terkadang membutuhkan penyelesaian yang sesuai dengan zaman
tersebut. Saat ini penyelesaian yang digunakan terkadang sudah tidak memakai
ushul fiqh zaman ulama terdahulu. Berbagai metode pengembangan ushul fiqh dalam
istinbath telah muncul seiring bermunculnya para ulama’ kontemporer. Seperti
metode maqasid as-sayri’ah dari Imam as-Syatibi, metode bayani, burhani
dan ‘irfani, teori limit dari Muhammad Syahrour dan masih banyak lagi. Cara
berijtihad ulama kontemporer berbeda dengan ulama terdahulu, meskipun begitu
al-Qur’an dan Sunnah tetap menjadi sumber utama dalam berijtihad mereka.
B. Pancasila dan Al-Qur’an
1. Sejarah Singkat
Terbentuknya Pancasila
Tidak lama
sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, para wakil dari
kelompok nasionalis-muslim dan kelompok nasionalis-sekuler terlibat perdebatan
mengenai berbagai masalah penting tentang ideologi: filosofi seperti apa yang
dibutuhkan oleh rakyat indonesia untuk menampung aspirasi dari berbagai
kelompok multi-agama, ideologi seperti apa yang digunakan guna menjaga kesatuan
nasional, integritas dan stabilitas kemerdekaan Indonesia.
Mengenai
masalah pembentukan ideologi telah dibahas dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang didirikan atas
sponsor jepang sebagai realisasi dari janji mereka untuk memberikan kemerdekaan
kepada rakyat Indonesia. Pembentukan BPUPKI terjadi pada tanggal 24 April 1945
dan bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Jepang, Tenno Heika. Anggota dari
BPUPKI berjumlah 68 orang. BPUPKI terdiri dari Nasionalis-Muslim dan
Nasionalis-Sekuler. Nasionalis-Muslim berjumlah 15 orang (sekitar 20 persen),
sedangkan mayoritas dari Nasionalis-Sekuler (sekitar 80 persen). Hal ini
menunjukkan ketidakseimbangan kekuatan politik antara kelompok
Nasionalis-Muslim dan Nasionalis-Sekuler dalam keanggotaan BPUPKI.
Mengenai siapa
pencetus pertama pancasila, terdapat tiga orang yang diperkirakan sebagai
pencetus, yaitu Muhammad Yamin, Soekarno, dan Soepomo. Muhammad Yamin pertama
kali mengutarakan lima prinsip[2]
ketika sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Soekarno mengusulkan
lima prinsip[3]
pada tanggal 1 Juni 1945 saat berpidato di muka sidang BPUPKI dengan rumusan
yang sedikit berbeda dengan Muhammad Yamin. Sedangkan untuk Soepomo sebenarnya
tidak menawarkan lima prinsip, hanya saja dalam pidatonya, dia mengajukan
beberapa teori fundamental tentang negara dengan membela gagasan negara
integral, yaitu negara dan masyarakat disatukan dan meliputi semua kelompok
masyarakat. Banyak penulis Indonesia menjelaskan baik Soekarno, Soepomo, maupun
Mohammad Yamin sama-sama memberi sumbangan dalam penciptaan pancasila. Dengan
kata lain, dalam pandangan mereka, istilah Pancasila tidak diciptakan oleh satu
orang saja. Namun solusi lain dalam kontroversi ini diberikan oleh Mohammad
Hatta, dia mengatakan secara meyakinkan dalam berbagai tulisan dan
pernyataannya bahwa Soekarnolah yangn pertama kali mengusulkan apa yang dikenal
sebagai lima prinsip (Pancasila) dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Melihat dari
lima prinsip yang diajukan oleh Soekarno, dapat dilihat bahwa Soekarno
menempatkan prinsip nasionalisme pada urutan pertama. Soekarno mendefinisikan
Nasionalisme tidak hanya sebagai keyakinan atau kesadaran rakyat yang disatukan
ke dalam satu kelompok, satu bangsa, namun juga sebagai kesatuan antara rakyat
dengan tanah airnya. Lima prinsip yang diusulkan Soekarno, pancasila terdiri
dari dua landasan fundamental: Pertama, landasan politik, dan Kedua,
landasan etika. Soekarno memposisikan prinsip Nasionalis pada urutan pertama
dari Pancasila. Pada saat yang sama, dia meletakkan prinsip Ketuhanan pada urutan
kelima dan terakhir, karena Ketuhanan diyakini akan memberi landasan spiritual
dan moral bagi bangsa.[4]
Disisi lain,
ketegangan antara kelompok Nasionalis-Muslim dan Nasionalis-Sekuler mengenai
landasan falsafah negara tetap tegang dan belum terselesaikan sampai Soekarno
menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, dimana dia menawarkan
gagasan-gagasannya tentang Pancasila. Hingga membentuk penitia kecil yang
beranggotakan 9 orang. Di antaranya:
1) Ir. Soekarno (ketua)
2) Drs. Moh. Hatta (wakil
ketua)
3) Mr. Achmad Soebardjo
(anggota)
4) Mr. Muhammad Yamin
(anggota)
5) KH. Wachid Hasyim
(anggota)
6) Abdul Kahar Muzakir
(anggota)
7) Abikoesno Tjokrosoejoso
(anggota)
8) H. Agus Salim (anggota)
9) Mr. A.A. Maramis
(anggota)
Setelah
melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum Nasionalis-Sekuler dan 4 orang dari
Nasionalis-Muslim, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu dan
menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) yang berisikan:[5]
1) Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2) Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
3) Persatuan Indonesia.
4) Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Mulai tanggal
10 Juli 1945 hingga tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI mengadakan sidangnya yang
terakhir untuk menyiapkan rancangan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
Merdeka. Sidang tersebut membentuk panitia kecil yang bertugas melaporkan hasil
karyanya kepada sidang pleno. Demikianlah sidang itu berhasil menelurkan sebuah
rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, sekaligus dirumuskan sebuah rencana
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan oleh sidang itu isinya berdasarkan
Piagam Jakarta, termasuk rumusan dasar filsafat negaranya (Prof. Mr. H. Moh.
Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 halaman 276-284).
Pada tanggal
17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan suatu
Proklamasi Kemerdekaan itu itu merupakan sumber daripada segala sumber di dalam
negara Republik Indonesia. Proklamasi itu pula yang menjadi landasan hukum bagi
Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Di dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkandung lima dasar yang kini dikenal
dengan nama Pancasila, yang rumusannya telah mengalami sesuatu perubahan Sila
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya
telah diganti dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ atas prakarsa Drs. Moh. Hatta.
Realisasi
perubahan tersebut sebagai jawaban dari usul pemimpin pergerakan Indonesia
bagian Timur melalui Laksamana Tadashi Maeda sebagai kepala kantor Penghubung
Angkatan Laut di daerah kekuasaan Angkatan Darat. Para pemimpin dari Indonesia
bagian Timur berpendapat bahwa rumusan sila pertama dari Piagam Jakarta 22 Juni
1945 hanyalah mengatur satu golongan saja dari bangsa Indonesia, sedangkan
golongan lain tidak mendapat tempat dengan perumusan demikian. Demikian para
penggali pancasila mulai dari Mr. Moh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo, Ir. Soekarno
dan panitia 9 Tokoh Nasional Indonesia tersebut, terkenal dengan Piagam Jakarta
22 Juni 1945.[6]
2. Keselarasan Pancasila
dengan Al-Qur’an
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang
dijadikan rujukan disetiap pembuatan Perundang-undangan. Begitu pula dalam
islam, Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran islam
dan juga sebagai dalil utama dalam fiqh. Al-Qur’an juga membimbing dan
memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya. Setiap mujtahid dalam berijtihad harus merujuk kepada Al-Qur’an. Dan
apabila harus menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an, maka harus
sesuai atau selaras dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa sumber-sumber
hukum selain al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan Pancasila yang dijadikan sebagai sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, apakah bertentangan dengan al-Qur’an.
Sebelum jauh membahas tentang keselarasan Pancasila dengan Al-Qur’an,
alangkah baiknya mengkaji lebih dalam tentang filosofi yang terkadung dalam
Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, sebagai
berikut:[7]
a. Sila I: Ketuhanan Yang
Maha Esa, terkandung nilai-nilai, a) keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
dengan sifat-sifatNya Yang Maha Sempurna, yakni Maha Kasih, Maha Kuasa, Maha
Adil, Maha Bijaksana dan sifat-sifat agung lainnya. b) ketaqwaan terhadap
adanya Tuhan YME, yakni menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua
laranganNya. c) nilai-nilai sila I ini meliputi dan menjiwai sila-sila lainnya.
b. Sila II: Kemanusiaan yang
adil dan beradab, terkadung nilai-nilai kemanusiaan sebagai berikut: a)
pengakuan terhadap adanya martabat manusia. b) perlakuannya yang adil terhadap
sesama manusia. c) pengertian manusia yang beradab yang memiliki daya cipta,
rasa, karsa dan keyakinan sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan
hewan. d) sila II diliputi dan dijiwai sila I, meliputi dan menjiwai sila III,
IV dan V.
c. Sila III: Persatuan
Indonesia, mengandung nilai persatuan sebagai berikut: a) persatuan Indonesia
adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. b) bangsa Indonesia
adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. c) pengakuan
terhadap ‘Ke-Bhineka Tunggal Ika-an’ suku bangsa (etis) dan kebudayaan bangsa
(berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan
bangsa.
d. Sila IV: Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, terkandung
nilai-nilai sebagai berikut: a) kedaulatan negara adalah di tangan rakyat. b) pimpinan
kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi akal sehat. c) manusia
Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. d)
musyawarah untuk mufakat dicapai dalam permusyawaratan wakil-wakil
rakyat. e) nilai sila IV ini diliputi dan dijiwai sila I, II dan III, meliputi
dan menjiwai sila V.
e. Sila V: Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkandung nilai-nilai keadilan sosial sebagai
berikut: a) perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau
kemasyarakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia. b) keadilan dalam kehidupan
sosial terutama meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan
dan pertahanan/keamanan nasional. c) cita-cita masyarakat adil dan makmur
material dan spiritual yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. d)
keseimbangan antara hak dan kewajiban dan menghormati hak orang lain. e)
nilai-nilai sila V ini meliputi dan dijiwai oleh sila-sila I,II,III dan IV.
Pancasila secara teoritis filosofis religius
sebagai suatu kesatuan sistem ajaran filsafat, artinya Pancasila secara
potensial konsepsional mengandung nilai filsafat, diungkapkan dan dijabarkan.
Terdapat lima pokok pikiran tentang filsafat Pancasila, yaitu:[8]
a. Tuhan Yang Maha Esa,
suatu kebenaran objektif yang dapat dimengerti oleh manusia, bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan. Dengan kata lain setiap
akibat/hasil, tentu disebabkan/dihasilkan oleh sesuatu yang lain. Dalil ini
dikenal dengan asas kausalitas/sebab-akibat. Apabila akal manusia mencari
sebab-akibat itu dengan menarik garis vertikal sejarah proses segala kejadian,
maka manusia tiba pada kesimpulan bahwa terdapat satu penyebab pertama yang
tidak disebabkan oleh sebab lain. filsafat menyebut sebab pertama itu sebagai
causa prima. Causa prima itulah Tuhan Yang Maha Esa penyebab segala yang ada.
Karenanya Tuhanlah pencipta semesta, segala yang ada baik yang terjangkau oleh
rasio manusia maupun yang diluar daya pikiran manusia.
b. Budi Nurani Manusia,
pengertian manusia akan pribadinya terus berkembang sehingga manusia menyadari,
bahwa eksistensi manusia adalah eksistensi theologis, yakni ada sadar bertujuan
yang dibatasi oleh nilai-nilai (asas normatif). Kesadaran normatif manusia itu
adalah budi nuraninya dan teologis manusia yang terakhir adalah menemukan
kebenaran absolut yang universal, yakni sadar adanya eksistensi Tuhan Yang Maha
Esa, di mana budi nuraninya mengabdi dan menyerah kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai sumber asalnya. Pencipta manusia dalam alam semesta, wujud kepercayaan
asasi ini tersimpul dalam rumusan sila I Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pokok pikiran budi nurani manusia merupakan pencerminan dari sifat Ketuhanan
YME sebagai inti martabat manusia. Dengan sifat rasional manusia, maka manusia
diberi kemampuan untuk mencari dan memperoleh pengetahuan yang bersifat
obyektif dan bersifat abstrak universal, sebagai pengetahuan dan pengertian
dalam ajaran agama.
c. Tentang Kebenaran, dalam
pemikiran filsafat, kebenaran (truth) dibedakan dalam beberapa teori,
diantaranya: Pertama, teori correspondence. Sesuatu itu benar apabila
ada persesuaian pikiran atau kesan dengan realita obyek. Kedua, teori
consistency. Kriteria kebenaran tidak dapat didasarkan atas hubungan subyek dan
realita saja, sebab bila menyangkut subyek (idenya, kesannya, komprehensifnya)
pasti ada aspek subyektifnya. Oleh karena kebenaran pada subyek satu berbeda
dengan kebenaran subyek lainnya. Ketiga, teori pragmatisme. Kebenaran
ialah sesuatu yang berguna, yang praktis. Kebenaran tidak ada yang tetap,
melainkan terjadi dalam suatu proses dan kondisi. Sebab itu kebenaran tidak
sempurna melainkan berubah terus. Keempat, kebenaran berdasarkan wahyu (revelation)
yang dipandang sebagai kebenaran dogma, kebenaran mutlak, karena bersumber dari
Tuhan YME dalam wujud agama. Kebenaran suatu bangsa tersimpul dalam filsafat
negara (ideologi) yang umumnya termaktub dalam konstitusi negara secara
tertulis.
d. Kebenaran dan Keadilan,
kebenaran dan keadilan menurut pengertian manusia tidak selamanya benar dan
adil menurut keadilan Tuhan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa manusia
mustahil dapat mencari dan menemukan kebenaran Tuhan, tetapi justru sebaliknya
manusia diberkati dengan kemampuan dan diharuskan mencari dan menemukan
kebenaran dan keadilan Tuhan sebagai diwahyukan dalam agama. Jadi kebenaran dan
keadilan manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa, ialah kebenaran dan keadilan
yang bersumber Ketuhanan YME. Inilah kebenaran dan keadilan yang sesuai dengan
hakikat asasi manusia sebagai makhluk Tuhan yang hidup bersama dalam kehidupan
sosial umat manusia.
e. Kebenaran dan keadilan
bangsa Indonesia (Pancasila sebagai kebenaran dan keadilan bangsa Indonesia).
Pancasila adalah kebenaran dan keadilan bangsa Indonesia yang telah ada jauh
berabad-abad sebelum digali dan dirumuskan menjadi dasar filsafat negara
Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi kebenaran
dan keadilan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila adalah kepribadian
Indonesia atau kepribadian nasional yang membedakan dengan bangsa dan
kebudayaan bangsa-bangsa lain.
Negara
Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME.
Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila
adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat
kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas. Pancasila sebagai ideologi dan
dasar Negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama
mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang
menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan
sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi
pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian
berikut:[9]
1. Pancasila bukan agama dan
tidak bisa menggantikan agama;
2. Pancasila bisa menjadi
wahana implementasi dari syari’at islam;
3. Pancasila dirumuskan oleh
tokoh bangsa yang mayoritas beragama islam.
Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga
tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan
masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah
ini:
1) Sila pertama yang
berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, bermakna bahwa bangsa Indonesia berdasarkan
Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih
satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam
konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah, yang
merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah
SWT. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada
umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163[10].
Dalam Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan
adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.
2) Sila kedua yang berbunyi ‘Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab’, bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan
menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal
ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan antara
sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Qur’an dalam beberapa
ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu
menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam
Al-Qur’an Surat Al-Ma’idah ayat 8[11].
3) Sila ketiga berbunyi ‘Persatuan
Indonesia’, bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa
yang menegara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah
Islamiah (persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah
(persatuan sesama umat manusia). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan
dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di
antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103[12].
4) Sila keempat berbunyi ‘Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan’,
bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara
musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini
sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura
(musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan
kepada umatnya untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan
kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana
yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat
Ali Imron ayat 159[13].
5) Sila kelima berbunyi ‘Keadilan
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu
organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat
Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala
hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang
tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90[14].
Jadi terlihat jelas bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum di
Indonesia tidak bertentangan dan selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam
Al-Qur’an yang merupakan sumber pertama dan utama dalam ijtihad umat muslim.
Sehingga Perundang-Undangan di Indonesia yang merujuk pada nilai-nilai
Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Dan hal tersebut dapat meredam
pertentangan-pertentangan mengenai Pancasila oleh sebagian kelompok muslim
konservatif.
C. Sumber Hukum Keluarga
Islam di Indonesia
Sumber hukum keluarga islam di Indonesia sudah tidak menggunakan Al-Qur’an
dan Sunnah seperti yang dilakukan oleh ulama’ terdahulu. Sumber hukum yang
digunakan adalah sumber hukum dari Perundang-Undangan. Sedangkan sumber hukum
keluarga Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: sumber
hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Sumber hukum tertulis adalah
sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan Perundang-Undangan,
yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan untuk sumber hukum tidak tertulis adalah
sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan ditaati oleh
mereka.
Yang termasuk dalam sumber hukum tertulis terdapat dalam
Perundang-Undangan. Sebagai berikut;[15]
1. Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH Perdata);
2. Peraturan perkawinan
campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk) Stb. 1898 nomor. 158;
3. Ordonansi perkawinan
Indonesia, Kristen, jawa, Minahasa dan Ambon, Stb. 1933 nomor. 74;
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (beragama islam);
5. UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
6. PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
7. PP Nomor 10 Tahun 1983
jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil.
Ditambah lagi
dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. KHI ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama islam
saja.
Jadi sumber
hukum keluarga islam di Indonesia sudah tidak menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah
lagi sebagai rujukannya, akan tetapi menggunakan dua macam sumber hukum yaitu
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Keduanya tersebut dibuat
berdasarkan dari sumber segala sumber hukum di Indonesia yakni Pancasila yang
dianggap sebagai ideologi bangsa. Dan telah dibahas sebelumnya mengenai
keselarasan Pancasila dengan Al-Qur’an, maka baik UU Nomor 1 Tahun 1974 dan
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dalam islam
dan selaras dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Keselarasan tersebut dapat dilihat
dari tidak adanya pasal-pasal yang bertentangan dengan Al-Qur’an, bahkan
sebagian besar pasal-pasal tersebut merujuk pada fiqih islam.
Berdasarkan
analisis, UU Nomor 1 Tahun 1974 mengandung beberapa asas dalam hukum keluarga,
yaitu:
a. Asas monogami, bermakna
bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri saja, dan seorang istri
hanya boleh memiliki seorang suami saja dalam hidupnya.
b. Asas konsensual, yakni
asas yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila
terdapat persetujuan atau konsensus antara calon suami istri yang akan
melangsungkan perkawinan.
c. Asas persatuan bulat,
yaitu asas dimana antara suami istri terjadi persatuan harta benda yang
dimilikinya.
d. Asas proporsional, suatu
asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban
suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.
e. Asas tidak dapat
dibagi-bagi, yakni asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya
terdapat seorang wali saja.
Semakin jelas
bahwa meskipun hukum keluarga islam di Indonesia tidak merujuk langsung kepada
sumber hukum islam seperti al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi dalam setiap pasal
baik UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI mengandung nilai-nilai islami. Hal tersebut
disebabkan karena para pembentuk UU dan KHI adalah mayoritas beragama islam dan
juga merupakan tokoh agama islam di Indonesia. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa produk yang dihasilkan pun tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai
al-Qur’an.
PENUTUP
Sumber hukum dalam islam ada yang disepakati oleh jumhur ulama dan ada juga
sumber hukum yang tidak disepakati oleh jumhur ulama. Sumber hukum yang
disepakati oleh jumhur ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Bahkan
sebagian ulama masih memperdebatkan tentang Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber
hukum yang diakui. Sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati oleh jumhur
ulama adalah istihsan, istishab, maslahah mursalah, urf, madzhab shahabi, dan
syaru man qoblana. Namun dengan seiringnya zaman, ushul fiqh terdahulu
mengalami perkembangan, seperti munculnya teori limit, teori bayani, burhani
dan ‘irfani. Dan kesemuanya merupakan metode yang digunakan ulama kontemporer
dalam berijtihad.
Pancasila memiliki keselarasan dengan al-Qur’an. Hal tersebut tercermin
dalam Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan
YME selaras dengan ajaran islam yakni konsep Hablun min Allah yang
merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah
SWT. Konsep tersebut terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 163. Sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab’, sila ini berkaitan dengan konsep hablun
min al-nas yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling
menghormati. Konsep sila tersebut tercermin dalam surah al-Ma’idah ayat 8. Sila
ketiga, ‘persatuan Indonesia’, dalam konsep islam sesuai dengan ukhuwah
Islamiyah (persatuan sesama umat islam) dan ukhuwah insaniyah
(persatuan sesama umat manusia). hal tersebut terdapat dalam surah Ali Imron
ayat 103. Sila keempat, ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan’. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan
istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah).
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada
umatnya untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan
dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis.
Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159.
Sila kelima, ‘keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia’. Dalam konsep Islam, hal
ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan
untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang
lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat
al-Nahl ayat 90.
Sumber hukum keluarga islam di Indonesia ada dua, yaitu UU Nomor 1 Tahun
1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Keduanya baik UU maupun Inpres tersebut
tidak bertentangan dan selaras dengan nilai-nilai al-Qur’an. Hal tersebut dapat
dilihat dari pasal-pasal yang terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail,
Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif
Islam dan Pancasila, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999.
Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqh Pesantren,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Salam,
Burhanuddin, Filsafat Pancasilaisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1988.
Syukur,
Sarmin, Ilmu Ushul Fiqih Perbandingan: Sumber-Sumber Hukum Islam,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Griafinanda, Sejarah
Singkat Lahirnya Pancasila http://royanakmentok.blogspot.com/2013/01/sejarah-singkat-lahirnya-pancasila.html. (Diakses pada tanggal 12 April 2014).
Sumber dan
Asas Hukum Keluarga, http://niotolovo.blogspot.com/2013/06/sumber-dan-asas-hukum-keluarga.html.
(Diakses pada tanggal 13 April 2014).
[1]Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hal 42-66.
[2] Usulan lima prinsip: Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Periketuhanan,
Perikerakyatan, dan Kesejahteraan rakyat.
[3] Usulan lima prinsip: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau
Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
[4] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan
Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999)
hal.17-47.
[5] Griafinanda, Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila http://royanakmentok.blogspot.com/2013/01/sejarah-singkat-lahirnya-pancasila.html. (Diakses pada tanggal
12 April 2014)
[9] Sabillul
Muttaqin, Keselarasan Nilai-Nilai Pancasila dengan Ajaran Islam, http://blog.uin-malang.ac.id/dargombes/indonesia/keselarasan-nilai-nilai-pancasila-dengan-ajaran-islam/index.html. (Diakses pada tanggal 13 April
2014).
[10]163. Dan
Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
[11] 8. Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[12] 103. Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai,...
[13] 159. ...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad,
Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
[14] 90. Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,...
[15] Sumber
dan Asas Hukum Keluarga, http://niotolovo.blogspot.com/2013/06/sumber-dan-asas-hukum-keluarga.html.
(Diakses pada tanggal 13 April 2014).