Posted by : Unknown Minggu, 07 Desember 2014



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber hukum merupakan sumber yang dijadikan bahan dalam membuat sebuah peraturan. Dalam islam sumber hukum yang dijadikan sebagai pedoman dalam membuat aturan-aturan atau biasa disebut dengan fiqh adalah al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Jumhur ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber pertama dan utama untuk dijadikan rujukan dalam membuat hukum. Apabila dalam berijtihad untuk memutuskan hukum menggunakan diluar al-Qur’an maka hukum tersebut tidak boleh bertentangan dan harus selaras dengan nilai-nilai al-Qur’an.
Seperti yang diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas beragama islam. Masyarakatnya tergolong muslim yang taat dan patuh terhadap ajaran-ajaran islam. Disisi lain, Indonesia menggunakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum untuk menetapkan suatu Perundang-Undangan. Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia dan juga hasil dari pemikiran yang sedalam-dalamnya, yang oleh bangsa Indonesia dianggap, dipercayai dan diyakini sebagai suatu (keyakinan, norma-norma, kaidah-kaidah, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Yang menjadi persoalan adalah apakah sumber hukum islam zaman dahulu seperti al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas masih dijadikan pedoman dalam berijtihad, mengingat semakin berkembangnya zaman maka semakin banyak pula masalah yang ada. Dan apakah sumber dari segala sumber hukum yakni pancasila yang dijadikan pedoman dalam perundang-undangan di indonesia sesuai dan selaras dengan sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an, atau justru bertentangan. Dari situlah makalah ini akan membahas tentang sumber hukum dalam islam, sumber dari segala sumber hukum di Indonesia serta kaitannya dengan Al-Qur’an, dan bagaimana kaitannya dengan hukum keluarga Islam di Indonesia.



B.     Rumusan Masalah
Melihat dari pokok persoalan di atas, maka menghasilkan beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1.      Bagaimana sumber hukum dalam islam?
2.      Apakah pancasila sebagai sumber segala sumber hukum di indonesia selaras dengan Al-Qur’an?
3.      Bagaimana sumber hukum keluarga Islam di Indonesia?
C.     Tujuan Rumusan
1.      Untuk mengetahui dan memahami sumber hukum dalam islam;
2.      Untuk mengetahui dan memahami pancasila sebagai sumber segala sumber hukum di indonesia selaras dengan Al-Qur’an;
3.      Untuk mengetahui dan memahami sumber hukum keluarga islam di Indonesia.




PEMBAHASAN
A.    Sumber Hukum dalam Islam
Berbicara mengenai sumber hukum islam, terdapat perdebatan di dalamnya. Ada sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama dan juga ada sumber hukum yang tidak disepakati oleh sebagian ulama lainnya. sumber hukum (bisa juga disebut sebagai Ushul Fiqh / metode istinbath) yang disepakati diantaranya Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan Qiyas. Namun ada juga beberapa ulama yang masih memperdebatkan tentang Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati diantaranya istihsan, istishab, maslahah mursalah, urf, madzhab shahabi, dan syaru man qoblana. Sebagian ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak disepakati.
Terbentuknya Ushul fiqh melalui beberapa tahapan, yaitu: Pertama, periode pertumbuhan (abad I-II H), yakni pada masa Rasulullah, para Sahabat, Tabi’in dan al-aimmah al-mujtahidun. Kedua, periode perkembangan (abad III-IV H), masa banyak terjadinya jumud dan taqlid. Ketiga, periode penyempurnaan (abad V-VI H), penyempurnaan dari murid-murid para pendiri madzhab.[1]
Sebenarnya pada masa Rasulullah, metode istinbath tersebut telah ada terutama ketika Rasul menghadapi permasalahan hukum yang belum ada penyelesaiannya dalam wahyu. Meskipun Nabi Muhammad merupakan Rasul Allah yang bertugas menyampaikan risalah wahyu, akan tetapi Beliau juga adalah manusia biasa. Hal ini terlihat ketika Nabi dalam berijtihad untuk menyelesaikan persoalan salah dan tidak sesuai dengan maksud Allah SWT, maka Nabi mendapat teguran dari Allah. Sehingga dapat terlihat bahwa ijtihad Rasulullah tersebut menggunakan rasio (ar ra’y)-nya sendiri, secara teknis terkadang menggunakan qiyas dan terkadang juga maslahat.
Kemudian pada masa sahabat, ijtihad menggunakan rasio(ar-ra’y) semakin berkembang. Pada masa inilah kecenderungan pola pikir para sahabat yang rasionalis, tekstualis dan antara keduanya semakin tampak jelas yang berimplikasi pada corak-corak fiqh para sahabat yang berbeda-beda. Sahabat yang paling banyak menggunakan rasio adalah Umar Ibn al-Khattab yang menurut Yusuf Musa disebut sebagai pendiri awal madzhab ahl ar-ra’y (rasionalis) dan menjadi imam pada masanya.
Selanjutnya adalah pada masa tabiin. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum mereka selalu dihadapkan pada al-Kitab, sunnah dan fatwa para sahabat. Pada masa ini penyandaran terhadap kaidah-kaidah hukum yang dirintis para sahabat dan produk fiqhnya sangatlah populer. Jika orang berbicara tentang madzhab, maka madzhab yang maksud adalah madzhab Umar, ‘Ali, ‘Aisyah, Ibn ‘Umar, Ibn al-‘Abbas dan lain-lain. banyaknya madzhab sahabat ini pada gilirannya sangat menyokong bagi tumbuhnya ikhtilaf di kalangan tabiin, di samping juga dipengaruhi oleh banyaknnya masalah furu’iyyah yang muncul.
Seiring dengan semakin subur tumbuhnya perbedaan metode istinbat ini, banyaknya kaidah yang berserakan akhirnya mengkristal dan menjadi kaidah-kaidah yang lebih definitif dan baku di kalangan ulama karena seringnya digunakan, terutama memasuki al-Aimmah al-Mujtahidin. Imam Abu Hanifah di Kufah, misalnya, ia mulai menegaskan metode istinbatnya yang mengacu kepada al-kitab, sunnah dan secara selektif memilih fatwa sahabat yang disepakati para sahabat lainnya sampai generasi tabiin. Serta ia juga berijtihad melalui qiyas dan istihsan. Kelompok rasionalis Kufah ini pada zamannya terkenal sangat profesional dan memiliki keberanian yang tinggi untuk menggunakan dalil qiyas dan istihsan. Mereka lebih memilih qiyas daripada hadits ahad atau hadist shahih yang sudah tidak aktual lagi. Kecenderungan menggunakan rasio ini membuat hampir semua kasus hukum dapat terjawab dengan tuntas.
Sedangkan kelompok tradisionalis Hejaz dan Madinah dengan Imam Malik Ibn Anas sebagai tokoh utamanya adalah kelompok pewaris tradisi Nabi yang kaya dengan sunnah Nabi sehingga lebih banyak terikat dengannya dan membatasi peran akal. Ia lebih banyak berhujjah pada dengan tradisi penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah) sebagai pewaris tradisi sahabat dan Nabi. Namun demikian, mereka juga terkadang menggunakan dalil rasio, meskipun tidak sebebas kaum rasionalis Kufah. Hanya saja bedanya kaum rasionalis Kufah lebih banyak menggunakan qiyas dan istihsan, sedangkan tradisionalis Hejaz banyak menggunakan maslahat (istislah) dan ‘urf.
Dari perbedaan dua metode istinbath ini, muncullah Imam Syafi’i sebagai penengah di antara dua kubu tersebut. Imam Syafi’i mencoba untuk memadukan antara keduanya dengan melakukan beberapa kunjungannya ke daerah-daerah, seperti Kufah yang diwarnai dengan dialog yang panjang dan sengit dengan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Imam Muhammad as-Syaibani, di Yaman beliau menemukan fiqh sahabat Mu’adz Ibn Jabal, Matraf Ibn Mazin, dan hasyim Ibn Yusuf. Bentuk kompromi tersebut menghasilkan sintesis baru, yaitu ushul asy-Syafi’i yang dibukukan dalam karyanya yang monumental dan gemilang pada masanya yaitu ar-Risalah (yang sebelumnya bernama al-kitab atau kitabi).
Ar-Risalah merupakan kitab pertama dalam sejarah yang menuliskan tentang ushul. Dalam sejarah ar-Risalah ditulis dua kali oleh Imam syafi’i dengan metode mendikte kepada murid-muridnya. Yang pertama ditulis di Baghdad dengan judul awal bukan ar-Risalah akan tetapi dikenal sebagai al-kitab atau kitabi. Tetapi penulisan pertamanya itu hilang dan sudah cukup dikenal di kalangan ulama. Akhirnya ketika as-Syafi’i ke Mesir, beliau diminta lagi menulis kitabnya itu dihadapan muridnya sekaligus periwayat kitab ini, yaitu Rabi’ Ibn Sulaiman, atas permintaan seorang ahli hadits Hejaz, ‘Abd ar-Rahman Ibn al-Mahdi. Hasil penulisannya tersebut dikirim kepada al-Mahdi, sehingga yang sebelumnya bernama al-Kitab kemudian dinamakan sebagai ar-Risalah.
Menurut as-Syafi’i, sumber hukum islam itu terdiri dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat, Qiyas dan Fatwa Sahabat. Setelah nas ia hanya menambahkan rasio qiyas, tidak lebih dari itu, sehingga ia menyebut qiyas sama dengan ijtihad. Sedangkan metode istinbath lainnya seperti istihsan, ‘urf, dan istislah yang sudah berkembang saat itu ia tolak. Menurutnya “Barang siapa yang beristihsan sama halnya dengan membuat Syari’at” sementara otoritas hana di “tangan” Allah.
Dengan metode qiyasnya ini kemudian As-Syafi’i sering disebut sebagai penyatu antara dua kubu di atas, karena satu sisi beliau sangat kuat dengan berpegang pada sunnah tetapi disisi lain juga mengakomodasi  metode kaum rasionalis, yaitu qiyas. Tetapi di kalangan ulama tradisionalis sunni, beliau juga dikenal sebagai Pembela Sunnah (Nasir as-Sunnah) karena tidak lelah-lelahnya beliau menganjurkan kaum rasionalis untuk berpegang kepada sunnah Nabi dan kegigihan beliau dalam membela sunnah Nabi ketika berdebat dengan tokoh-tokoh kaum rasionalis dan kelompok inkar as-sunnah Mu’tazili.
Berbagai macam ulama merespon ar-Risalah. Pertama, hanya menjelaskan metode istinbath-nya as-Syafi’i. Kedua, menjelaskan lagi kaidah-kaidah atau dasar-dasar istinbath yang telah dirumuskan as-Syafi’i. Ketiga, mengambil sebagian besar dari patokan yang dikemukakan as-Syafi’i, tetapi berbeda perinciannya dan menambah beberapa dasar dan kaidah lagi.
Cara yang terakhir adalah cara yang terpopuler dikalangan fuqoha’, seperti ulama Hanafiyyah menambah istihsan dan ‘urf, sehingga sumber hukum mereka terkenal dengan pengklasifikasian ke dalam dua kelompok dalil, yaitu (1) ijtihad dengan nas, yang bersumberkan kepada al-Kitab, Sunnah dan pendapat para Sahabat. Dan (2) ijtihad tanpa nas, bersumberkan pada ijma’, qiyas, istihsan dan ‘urf. Sedangkan ulama Malikiyyah menambah dalil menjadi delapan sumber yang terkenal, yaitu al-Kitab, sunnah, tradisi penduduk Madinah, fatwa sahabat, qiyas, istislah, istihsan, dan sad az-zara’i. Kemudian ulama Hanafiyyah menyandarkan kepada dalil-dalil Kitab, Sunnah, ijma’, qiyas, istislah, istihsan, sadd az-zara’i dan istishab.
Memasuki abad V H ushul fiqh semakin jelas menjadi karakter masing-masing madzhab yang secara garis besar akhirnya muncul dua aliran besar dalam metode perumusan usul, yaitu aliran fuqaha’ (Hanafiyyah) dan aliran Mutakallimin (Syafi’iyyah). Ahli usul dalam aliran Hanafiyyah yang pertama kali adalah Abu Bakr asy-Syarkhasyi dengan karyanya Ushul as-Syarkhasyi, Abu Yazid ad-Dabusi dan Abu al-Husain al-Baidawi dalam karyanya Ushul al-Baidawi. Sedangkan ahli usul aliran Syafi’iyyah yang pertama kali adalah Imam al-Haramain al-Juwaini dengan karyanya al-Burhan, al-Ghazalli murid al-Haramain dengan karyanya al-Mustafa min ‘Ilm al-Usul. Kedua ulama ini adalah ahli kalam yang berafilisiasi ke aliran Syafi’iyyah, meskipun sudah banyak mengakomodasi teori filsafat Yunani, seperti Mantiq, dan teori-teori usulnya ulama non-Syafi’i, seperti teori maslahat. Kemudian memasuki abad VIII H muncul kitab yang populer dengan konsep Maqasid-nya, yaitu al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh karya Abu Ishaq asy-Syatibi al-Maliki.
Dengan semakin berkembang dan majunya zaman, maka berbagai persoalan akan muncul dan terkadang membutuhkan penyelesaian yang sesuai dengan zaman tersebut. Saat ini penyelesaian yang digunakan terkadang sudah tidak memakai ushul fiqh zaman ulama terdahulu. Berbagai metode pengembangan ushul fiqh dalam istinbath telah muncul seiring bermunculnya para ulama’ kontemporer. Seperti metode maqasid as-sayri’ah dari Imam as-Syatibi, metode bayani, burhani dan ‘irfani, teori limit dari Muhammad Syahrour dan masih banyak lagi. Cara berijtihad ulama kontemporer berbeda dengan ulama terdahulu, meskipun begitu al-Qur’an dan Sunnah tetap menjadi sumber utama dalam berijtihad mereka.
B.     Pancasila dan Al-Qur’an
1.      Sejarah Singkat Terbentuknya Pancasila
Tidak lama sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, para wakil dari kelompok nasionalis-muslim dan kelompok nasionalis-sekuler terlibat perdebatan mengenai berbagai masalah penting tentang ideologi: filosofi seperti apa yang dibutuhkan oleh rakyat indonesia untuk menampung aspirasi dari berbagai kelompok multi-agama, ideologi seperti apa yang digunakan guna menjaga kesatuan nasional, integritas dan stabilitas kemerdekaan Indonesia.
Mengenai masalah pembentukan ideologi telah dibahas dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang didirikan atas sponsor jepang sebagai realisasi dari janji mereka untuk memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Pembentukan BPUPKI terjadi pada tanggal 24 April 1945 dan bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Jepang, Tenno Heika. Anggota dari BPUPKI berjumlah 68 orang. BPUPKI terdiri dari Nasionalis-Muslim dan Nasionalis-Sekuler. Nasionalis-Muslim berjumlah 15 orang (sekitar 20 persen), sedangkan mayoritas dari Nasionalis-Sekuler (sekitar 80 persen). Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan kekuatan politik antara kelompok Nasionalis-Muslim dan Nasionalis-Sekuler dalam keanggotaan BPUPKI.
Mengenai siapa pencetus pertama pancasila, terdapat tiga orang yang diperkirakan sebagai pencetus, yaitu Muhammad Yamin, Soekarno, dan Soepomo. Muhammad Yamin pertama kali mengutarakan lima prinsip[2] ketika sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Soekarno mengusulkan lima prinsip[3] pada tanggal 1 Juni 1945 saat berpidato di muka sidang BPUPKI dengan rumusan yang sedikit berbeda dengan Muhammad Yamin. Sedangkan untuk Soepomo sebenarnya tidak menawarkan lima prinsip, hanya saja dalam pidatonya, dia mengajukan beberapa teori fundamental tentang negara dengan membela gagasan negara integral, yaitu negara dan masyarakat disatukan dan meliputi semua kelompok masyarakat. Banyak penulis Indonesia menjelaskan baik Soekarno, Soepomo, maupun Mohammad Yamin sama-sama memberi sumbangan dalam penciptaan pancasila. Dengan kata lain, dalam pandangan mereka, istilah Pancasila tidak diciptakan oleh satu orang saja. Namun solusi lain dalam kontroversi ini diberikan oleh Mohammad Hatta, dia mengatakan secara meyakinkan dalam berbagai tulisan dan pernyataannya bahwa Soekarnolah yangn pertama kali mengusulkan apa yang dikenal sebagai lima prinsip (Pancasila) dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Melihat dari lima prinsip yang diajukan oleh Soekarno, dapat dilihat bahwa Soekarno menempatkan prinsip nasionalisme pada urutan pertama. Soekarno mendefinisikan Nasionalisme tidak hanya sebagai keyakinan atau kesadaran rakyat yang disatukan ke dalam satu kelompok, satu bangsa, namun juga sebagai kesatuan antara rakyat dengan tanah airnya. Lima prinsip yang diusulkan Soekarno, pancasila terdiri dari dua landasan fundamental: Pertama, landasan politik, dan Kedua, landasan etika. Soekarno memposisikan prinsip Nasionalis pada urutan pertama dari Pancasila. Pada saat yang sama, dia meletakkan prinsip Ketuhanan pada urutan kelima dan terakhir, karena Ketuhanan diyakini akan memberi landasan spiritual dan moral bagi bangsa.[4]
Disisi lain, ketegangan antara kelompok Nasionalis-Muslim dan Nasionalis-Sekuler mengenai landasan falsafah negara tetap tegang dan belum terselesaikan sampai Soekarno menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, dimana dia menawarkan gagasan-gagasannya tentang Pancasila. Hingga membentuk penitia kecil yang beranggotakan 9 orang. Di antaranya:
1)      Ir. Soekarno (ketua)
2)      Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
3)      Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
4)      Mr. Muhammad Yamin (anggota)
5)      KH. Wachid Hasyim (anggota)
6)      Abdul Kahar Muzakir (anggota)
7)      Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
8)      H. Agus Salim (anggota)
9)      Mr. A.A. Maramis (anggota)
Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum Nasionalis-Sekuler dan 4 orang dari Nasionalis-Muslim, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan:[5]
1)      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3)      Persatuan Indonesia.
4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mulai tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI mengadakan sidangnya yang terakhir untuk menyiapkan rancangan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Merdeka. Sidang tersebut membentuk panitia kecil yang bertugas melaporkan hasil karyanya kepada sidang pleno. Demikianlah sidang itu berhasil menelurkan sebuah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, sekaligus dirumuskan sebuah rencana Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan oleh sidang itu isinya berdasarkan Piagam Jakarta, termasuk rumusan dasar filsafat negaranya (Prof. Mr. H. Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 halaman 276-284).
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan suatu Proklamasi Kemerdekaan itu itu merupakan sumber daripada segala sumber di dalam negara Republik Indonesia. Proklamasi itu pula yang menjadi landasan hukum bagi Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkandung lima dasar yang kini dikenal dengan nama Pancasila, yang rumusannya telah mengalami sesuatu perubahan Sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya telah diganti dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ atas prakarsa Drs. Moh. Hatta.
Realisasi perubahan tersebut sebagai jawaban dari usul pemimpin pergerakan Indonesia bagian Timur melalui Laksamana Tadashi Maeda sebagai kepala kantor Penghubung Angkatan Laut di daerah kekuasaan Angkatan Darat. Para pemimpin dari Indonesia bagian Timur berpendapat bahwa rumusan sila pertama dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945 hanyalah mengatur satu golongan saja dari bangsa Indonesia, sedangkan golongan lain tidak mendapat tempat dengan perumusan demikian. Demikian para penggali pancasila mulai dari Mr. Moh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo, Ir. Soekarno dan panitia 9 Tokoh Nasional Indonesia tersebut, terkenal dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.[6]
2.      Keselarasan Pancasila dengan Al-Qur’an
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang dijadikan rujukan disetiap pembuatan Perundang-undangan. Begitu pula dalam islam, Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran islam dan juga sebagai dalil utama dalam fiqh. Al-Qur’an juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya. Setiap mujtahid dalam berijtihad harus merujuk kepada Al-Qur’an. Dan apabila harus menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an, maka harus sesuai atau selaras dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa sumber-sumber hukum selain al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan Pancasila yang dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, apakah bertentangan dengan al-Qur’an.
Sebelum jauh membahas tentang keselarasan Pancasila dengan Al-Qur’an, alangkah baiknya mengkaji lebih dalam tentang filosofi yang terkadung dalam Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, sebagai berikut:[7]
a.       Sila I: Ketuhanan Yang Maha Esa, terkandung nilai-nilai, a) keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan sifat-sifatNya Yang Maha Sempurna, yakni Maha Kasih, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Bijaksana dan sifat-sifat agung lainnya. b) ketaqwaan terhadap adanya Tuhan YME, yakni menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. c) nilai-nilai sila I ini meliputi dan menjiwai sila-sila lainnya.
b.      Sila II: Kemanusiaan yang adil dan beradab, terkadung nilai-nilai kemanusiaan sebagai berikut: a) pengakuan terhadap adanya martabat manusia. b) perlakuannya yang adil terhadap sesama manusia. c) pengertian manusia yang beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan keyakinan sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan. d) sila II diliputi dan dijiwai sila I, meliputi dan menjiwai sila III, IV dan V.
c.       Sila III: Persatuan Indonesia, mengandung nilai persatuan sebagai berikut: a) persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. b) bangsa Indonesia adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. c) pengakuan terhadap ‘Ke-Bhineka Tunggal Ika-an’ suku bangsa (etis) dan kebudayaan bangsa (berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan bangsa.
d.      Sila IV: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, terkandung nilai-nilai sebagai berikut: a) kedaulatan negara adalah di tangan rakyat. b) pimpinan kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi akal sehat. c) manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. d)  musyawarah untuk mufakat dicapai dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat. e) nilai sila IV ini diliputi dan dijiwai sila I, II dan III, meliputi dan menjiwai sila V.
e.       Sila V: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkandung nilai-nilai keadilan sosial sebagai berikut: a) perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia. b) keadilan dalam kehidupan sosial terutama meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan/keamanan nasional. c) cita-cita masyarakat adil dan makmur material dan spiritual yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. d) keseimbangan antara hak dan kewajiban dan menghormati hak orang lain. e) nilai-nilai sila V ini meliputi dan dijiwai oleh sila-sila I,II,III dan IV.
 Pancasila secara teoritis filosofis religius sebagai suatu kesatuan sistem ajaran filsafat, artinya Pancasila secara potensial konsepsional mengandung nilai filsafat, diungkapkan dan dijabarkan. Terdapat lima pokok pikiran tentang filsafat Pancasila, yaitu:[8]
a.       Tuhan Yang Maha Esa, suatu kebenaran objektif yang dapat dimengerti oleh manusia, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan. Dengan kata lain setiap akibat/hasil, tentu disebabkan/dihasilkan oleh sesuatu yang lain. Dalil ini dikenal dengan asas kausalitas/sebab-akibat. Apabila akal manusia mencari sebab-akibat itu dengan menarik garis vertikal sejarah proses segala kejadian, maka manusia tiba pada kesimpulan bahwa terdapat satu penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh sebab lain. filsafat menyebut sebab pertama itu sebagai causa prima. Causa prima itulah Tuhan Yang Maha Esa penyebab segala yang ada. Karenanya Tuhanlah pencipta semesta, segala yang ada baik yang terjangkau oleh rasio manusia maupun yang diluar daya pikiran manusia.
b.      Budi Nurani Manusia, pengertian manusia akan pribadinya terus berkembang sehingga manusia menyadari, bahwa eksistensi manusia adalah eksistensi theologis, yakni ada sadar bertujuan yang dibatasi oleh nilai-nilai (asas normatif). Kesadaran normatif manusia itu adalah budi nuraninya dan teologis manusia yang terakhir adalah menemukan kebenaran absolut yang universal, yakni sadar adanya eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, di mana budi nuraninya mengabdi dan menyerah kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber asalnya. Pencipta manusia dalam alam semesta, wujud kepercayaan asasi ini tersimpul dalam rumusan sila I Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Pokok pikiran budi nurani manusia merupakan pencerminan dari sifat Ketuhanan YME sebagai inti martabat manusia. Dengan sifat rasional manusia, maka manusia diberi kemampuan untuk mencari dan memperoleh pengetahuan yang bersifat obyektif dan bersifat abstrak universal, sebagai pengetahuan dan pengertian dalam ajaran agama.
c.       Tentang Kebenaran, dalam pemikiran filsafat, kebenaran (truth) dibedakan dalam beberapa teori, diantaranya: Pertama, teori correspondence. Sesuatu itu benar apabila ada persesuaian pikiran atau kesan dengan realita obyek. Kedua, teori consistency. Kriteria kebenaran tidak dapat didasarkan atas hubungan subyek dan realita saja, sebab bila menyangkut subyek (idenya, kesannya, komprehensifnya) pasti ada aspek subyektifnya. Oleh karena kebenaran pada subyek satu berbeda dengan kebenaran subyek lainnya. Ketiga, teori pragmatisme. Kebenaran ialah sesuatu yang berguna, yang praktis. Kebenaran tidak ada yang tetap, melainkan terjadi dalam suatu proses dan kondisi. Sebab itu kebenaran tidak sempurna melainkan berubah terus. Keempat, kebenaran berdasarkan wahyu (revelation) yang dipandang sebagai kebenaran dogma, kebenaran mutlak, karena bersumber dari Tuhan YME dalam wujud agama. Kebenaran suatu bangsa tersimpul dalam filsafat negara (ideologi) yang umumnya termaktub dalam konstitusi negara secara tertulis.
d.      Kebenaran dan Keadilan, kebenaran dan keadilan menurut pengertian manusia tidak selamanya benar dan adil menurut keadilan Tuhan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa manusia mustahil dapat mencari dan menemukan kebenaran Tuhan, tetapi justru sebaliknya manusia diberkati dengan kemampuan dan diharuskan mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan Tuhan sebagai diwahyukan dalam agama. Jadi kebenaran dan keadilan manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa, ialah kebenaran dan keadilan yang bersumber Ketuhanan YME. Inilah kebenaran dan keadilan yang sesuai dengan hakikat asasi manusia sebagai makhluk Tuhan yang hidup bersama dalam kehidupan sosial umat manusia.
e.       Kebenaran dan keadilan bangsa Indonesia (Pancasila sebagai kebenaran dan keadilan bangsa Indonesia). Pancasila adalah kebenaran dan keadilan bangsa Indonesia yang telah ada jauh berabad-abad sebelum digali dan dirumuskan menjadi dasar filsafat negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi kebenaran dan keadilan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila adalah kepribadian Indonesia atau kepribadian nasional yang membedakan dengan bangsa dan kebudayaan bangsa-bangsa lain.
Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME. Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas. Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut:[9]
1.      Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama;
2.      Pancasila bisa menjadi wahana implementasi dari syari’at islam;
3.      Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama islam.
Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini:
1)      Sila pertama yang berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, bermakna bahwa bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah, yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163[10]. Dalam Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.
2)      Sila kedua yang berbunyi ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’idah ayat 8[11].
3)      Sila ketiga berbunyi ‘Persatuan Indonesia’, bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah (persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103[12].
4)      Sila keempat berbunyi ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan’, bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159[13].
5)      Sila kelima berbunyi ‘Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90[14].
Jadi terlihat jelas bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum di Indonesia tidak bertentangan dan selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan sumber pertama dan utama dalam ijtihad umat muslim. Sehingga Perundang-Undangan di Indonesia yang merujuk pada nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Dan hal tersebut dapat meredam pertentangan-pertentangan mengenai Pancasila oleh sebagian kelompok muslim konservatif.
C.     Sumber Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Sumber hukum keluarga islam di Indonesia sudah tidak menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah seperti yang dilakukan oleh ulama’ terdahulu. Sumber hukum yang digunakan adalah sumber hukum dari Perundang-Undangan. Sedangkan sumber hukum keluarga Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Sumber hukum tertulis adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan Perundang-Undangan, yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan untuk sumber hukum tidak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan ditaati oleh mereka.
Yang termasuk dalam sumber hukum tertulis terdapat dalam Perundang-Undangan. Sebagai berikut;[15]
1.      Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
2.      Peraturan perkawinan campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk) Stb. 1898 nomor. 158;
3.      Ordonansi perkawinan Indonesia, Kristen, jawa, Minahasa dan Ambon, Stb. 1933 nomor. 74;
4.      UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (beragama islam);
5.      UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
6.      PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
7.      PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Ditambah lagi dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. KHI ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama islam saja.
Jadi sumber hukum keluarga islam di Indonesia sudah tidak menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah lagi sebagai rujukannya, akan tetapi menggunakan dua macam sumber hukum yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Keduanya tersebut dibuat berdasarkan dari sumber segala sumber hukum di Indonesia yakni Pancasila yang dianggap sebagai ideologi bangsa. Dan telah dibahas sebelumnya mengenai keselarasan Pancasila dengan Al-Qur’an, maka baik UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dalam islam dan selaras dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Keselarasan tersebut dapat dilihat dari tidak adanya pasal-pasal yang bertentangan dengan Al-Qur’an, bahkan sebagian besar pasal-pasal tersebut merujuk pada fiqih islam.
Berdasarkan analisis, UU Nomor 1 Tahun 1974 mengandung beberapa asas dalam hukum keluarga, yaitu:
a.       Asas monogami, bermakna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri saja, dan seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami saja dalam hidupnya.
b.      Asas konsensual, yakni asas yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau konsensus antara calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan.
c.       Asas persatuan bulat, yaitu asas dimana antara suami istri terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya.
d.      Asas proporsional, suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.
e.       Asas tidak dapat dibagi-bagi, yakni asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya terdapat seorang wali saja.
Semakin jelas bahwa meskipun hukum keluarga islam di Indonesia tidak merujuk langsung kepada sumber hukum islam seperti al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi dalam setiap pasal baik UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI mengandung nilai-nilai islami. Hal tersebut disebabkan karena para pembentuk UU dan KHI adalah mayoritas beragama islam dan juga merupakan tokoh agama islam di Indonesia. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa produk yang dihasilkan pun tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an.




PENUTUP
Sumber hukum dalam islam ada yang disepakati oleh jumhur ulama dan ada juga sumber hukum yang tidak disepakati oleh jumhur ulama. Sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Bahkan sebagian ulama masih memperdebatkan tentang Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber hukum yang diakui. Sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati oleh jumhur ulama adalah istihsan, istishab, maslahah mursalah, urf, madzhab shahabi, dan syaru man qoblana. Namun dengan seiringnya zaman, ushul fiqh terdahulu mengalami perkembangan, seperti munculnya teori limit, teori bayani, burhani dan ‘irfani. Dan kesemuanya merupakan metode yang digunakan ulama kontemporer dalam berijtihad.
Pancasila memiliki keselarasan dengan al-Qur’an. Hal tersebut tercermin dalam Pancasila.  Sila pertama, Ketuhanan YME selaras dengan ajaran islam yakni konsep Hablun min Allah yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Konsep tersebut terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 163. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab’, sila ini berkaitan dengan konsep hablun min al-nas yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Konsep sila tersebut tercermin dalam surah al-Ma’idah ayat 8. Sila ketiga, ‘persatuan Indonesia’, dalam konsep islam sesuai dengan ukhuwah Islamiyah (persatuan sesama umat islam) dan ukhuwah insaniyah (persatuan sesama umat manusia). hal tersebut terdapat dalam surah Ali Imron ayat 103. Sila keempat, ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159. Sila kelima, ‘keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia’. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.
Sumber hukum keluarga islam di Indonesia ada dua, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Keduanya baik UU maupun Inpres tersebut tidak bertentangan dan selaras dengan nilai-nilai al-Qur’an. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal yang terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991.


DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999.
Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Salam, Burhanuddin, Filsafat Pancasilaisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1988.
Syukur, Sarmin, Ilmu Ushul Fiqih Perbandingan: Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Griafinanda, Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila http://royanakmentok.blogspot.com/2013/01/sejarah-singkat-lahirnya-pancasila.html. (Diakses pada tanggal 12 April 2014).
Sumber dan Asas Hukum Keluarga, http://niotolovo.blogspot.com/2013/06/sumber-dan-asas-hukum-keluarga.html. (Diakses pada tanggal 13 April 2014).




[1]Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 42-66.
[2] Usulan lima prinsip: Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Periketuhanan, Perikerakyatan, dan Kesejahteraan rakyat.
[3] Usulan lima prinsip: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
[4] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999) hal.17-47.
[5] Griafinanda, Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila http://royanakmentok.blogspot.com/2013/01/sejarah-singkat-lahirnya-pancasila.html. (Diakses pada tanggal 12 April 2014)
[6] Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1988) hal. 8-10
[7] Burhanuddin, Filsafat... hal. 39-41
[8] Burhanuddin, Filsafat... hal. 94-108
[9] Sabillul Muttaqin, Keselarasan Nilai-Nilai Pancasila dengan Ajaran Islam, http://blog.uin-malang.ac.id/dargombes/indonesia/keselarasan-nilai-nilai-pancasila-dengan-ajaran-islam/index.html. (Diakses pada tanggal 13 April 2014).
[10]163.  Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
[11] 8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[12] 103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,...
[13] 159. ...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
[14] 90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,...
[15] Sumber dan Asas Hukum Keluarga, http://niotolovo.blogspot.com/2013/06/sumber-dan-asas-hukum-keluarga.html. (Diakses pada tanggal 13 April 2014).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -