Posted by : Unknown Jumat, 17 Oktober 2014



MANUSIA ITU BINATANG BUTUH REVOLUSI

Manusia adalah makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia juga disebut binatang yang berfikir (al-hayawan al-natiq). Karena manusia bisa berfikir maka otomatis dapat berubah sesuai apa yang difikirkannya. Bisa menjadi lebih baik melebihi malaikat, dan bisa menjadi lebih buruk melebihi binatang. Jika sifat manusia sebagai  binatang yang berfikir (al-hayawan al-natiq), ini tidak diawasi dengan baik, besar kemungkinan perubahan lebih buruk yang akan terjadi. Mengingat perkembangan globalisasi saat ini, dengan didukung kemajuan tekhnologi. Artinya sangat mudah mendapatkan sesuatu hanya dari kamar tidur, termasuk bisa selingkuh….hehehehe bagi yang punya hobi.
Antara lain solusi yang ditawarkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, revolusi mental. Sebuah istilah yang dipopulerkan oleh presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi sapaan akrabnya ketika bertarung memperebutkan kursi nomor satu di Republik Indonesia ini beberapa bulan yang lalu. Pertanyaannya apa itu “revolusi mental”? Perlu diingat tulisan ini bersifat objektif, maksudnya tidak memihak siapapun, hanya menjelaskan teori yang ditawarkan.
Revolusi mental terdiri dari dua kata di mana pengertian kata yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan makna. Revolusi artinya “menyerang penjajah”. Sedangkan mental artinya “sifat atau karakteristik”. Adapun sifat atau karakteristik masyarakat Indonesia terkenal dengan sifatnya yang sopan, akrab, baik, memiliki etos kerja yang tinggi, toleransi beragama, saling gotong-royong, peduli terhadap orang lain, hormat kepada yang tua dan sayang kepada yang muda dan lain-lain. Setidaknya itu yang dapat dilihat pada leluhur terdahulu kita. Namun saat ini, karakteristik masyarakat Indonesia malah sebaliknya dari yang dijelaskan di atas. Sehingga menimbulkan sifat korupsi, mencuri, merampok, memperkosa hak orang lain, toleransi beragama hilang, semangat gotong-royong terabaikan dan lain-lain. Toleransi beragama hilang misalnya, dapat dilihat kasus pergantian gubernur DKI Jakarta antara front Pembela Islam dengan Basuki Cahaya Purnama atau dipanggil Ahok (sekarang menjabat gubernur tapi belum dilantik). Anehnya FPI melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam tidak demikian, Islam agama yang rahmatan lil’alamin. Tidak ada satu pun ayat al-qur’an yang menjelaskan bahwa pemimpin itu harus beragama Islam. Tuhan hanya menginginkan dan menganjurkan sebuah negara yang amanah yang menjamin hak warga negaranya (baladin amin surat at-tin), tanpa kejahatan (baladan aminan), dan negara yang mendapatkan ampunan dari Allah karena tidak ada kejahatan (baldatun toyyibatun wa robbun gofur).
Merosotnya akhlak seperti yang dijelaskan di atas, menimbulkan pertanyaan: apakah karena fitrah manusia sebagai binatang yang berfikir (al-hayawan al-natiq), atau karena perkembangan globalisasi.?
Jika revolusi mental yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini, hemat penulis seharusnya revolusi mental tersebut tidak hanya dari orang yang berhak mengeluarkan hukum (pemerintah) seperti yang digadang-gadangkan selama ini. Namun setidaknya melibatkan tiga unsure: (1) individu, (2) masyarakat dan (3) pemerintah. Individu misalnya, harus benar-benar ada keinginan untuk merubah diri menjadi lebih baik. Kedua Masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat harus memberikan sanksi social langsung ketika terjadi ke-merosot-an akhlak. Misalnya, di Sirambas Kabupaten Mandailing Natal Sumatra Utara, tempat tinggal penulis. Jika ada pasangan suami-isteri tidak menghormati orang tuanya (ibu bapak) maka masyarakat langsung memberikan hukuman sanksi social. Dalam hal ini berupa ejekan dari mulut ke-mulut. Apalagi jika pasangan suami isteri tersebut masih tinggal satu rumah dengan orang tuanya.
Terakhir, Ketiga Pemerintah. Pemerintah sebagai produk hukum, seharusnya ketika mengeluarkan aturan harus memperhatikan apa yang disebut “sosiologi hukum”. Maksudnya, pemerintah tidak hanya membahas norma-norma hukum, akan tetapi memahami institusinya dan social masyarakat, dengan melihat budayanya dan seberapa jauh tingkat kepatuhan atau kesesuaian hukum. Sehingga hukum bisa dijalankan oleh masyarakat dengan penuh “kegembiraan”. Intinya, memahami hukum tidak boleh dilepaskan dari substansi hukum (substantive law), sturuktur hukum (legal structure) dan budaya hukum di masyarakat (legal culture).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -