- Back to Home »
- USIA , USIA PERKAWINAN DI MESIR DAN INDONESIA »
- USIA PERKAWINAN DI MESIR DAN INDONESIA
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
PENDAHULUAN
Mesir merupakan salah satu negara
muslim yang melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam di periode awal. Periode
awal ini berkisar antara tahun 1915 – 1950.[1]
Selain Mesir, negara-negara muslim lain yang juga melakukan pembaharuan hukum keluarga
Islam di periode awal adalah Turki, Lebanon, Sudan, Iran, dan Yaman Selatan. Dibandingkan
dengan Mesir, Indonesia tegolong negara muslim yang baru melakukan pembaharuan
hukum keluarga muslim. Meskipun merdeka sejak tahun 1945, Indonesia baru
melakukan pembaharuan hukum keluarga Muslim pada tahun 1974 dengan adanya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Itu artinya bahwa pembaharuan hukum keluarga
Islam di negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, banyak terinspirasi
dari negara-negara muslim yang melakukan pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di
periode awal. Meskipun banyak perbedaan antara Mesir dan Indonesia dari
berbagai aspeknya, keduanya nyaris memiliki kesamaan dalam hal pembaharuan
hukum keluarga Islam menyangkut batas minimal usia perkawinan antara laki-laki
dan perempuan.
Dalam pembahasan berikut, akan dipaparkan
bagaimana perbandingan hukum keluarga Islam di Mesir dan Indonesia dalam hal
batas minimal umur perkawinan. Dibalik sejarah bahwa pembatasan minimal usia
perkawinan belum diatur dalam fiqh konvensional, namun kini telah diatur oleh
undang-undang kedua negara tersebut.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Fikih
Konvensional
Dalam fikih
konvensional, tidak ada ketentuan secara pasti batas minimal umur perkawinan. Fikih
konvensional hanya memberi ketentuan bahwa seseorang baru dikenakan kewajiban
melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf.[2]
Perkawinan adalah bagian dari perbuatan hukum tersebut. Diantara ukuran
seseorang telah mukallaf adalah balig (dewasa). Hukum Islam menentukan tingkat
kedewasaan dengan indikasi adanya kematangan jiwa yang disyaratkan dengan
keluar darah haid bagi wanita dan ihtilam (mimpi basah) laki-laki.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa umumnya imam mazhab membolehkan nikah dini. Secara
tersirat imam Malik mengakui perkawinan wanita belum dewasa. Pandangan yang
sama dikemukakan Kasani, dari mazhab Hanafi. Dasarnya adalah tindakan rasul
yang menikahi Aisyah pada usia enam tahun, dan rasul menikahkan anaknya Ummu
Kalsum dengan Ali pada waktu masih kecil, demikian juga Abdullah bin Umar
menikahkan anaknya ketika masih kecil dan sahabat-sahabat lain.[3]
Meskipun
ketentuan seseorang menikah hanya disyaratkan ia telah dewasa, beberapa ulama
mazhab mencoba untuk menentukan batas masa dewasa tersebut. Misalnya ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah menentukan batas masa dewasa itu pada saat usia 15
tahun baik laki-laki maupun wanita. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan
itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita,
sedangkan imam Malim menetapkan menetapkan kedewasaan laki-laki dan wanita
adalah sama yaitu 18 tahun.[4]
Namun demikian tidak ada aturan yang baku dalam hukum Islam tentrang batas
minimal umur perkawinan.
B.
Undang-Undang
Perkawinan di Mesir
Mesir adalah
negara muslim yang melakukan pembaharuan hukum keluarga pada fase awal.
Pembaharuan tersebut tidak terlepas dari sejarah terlepasnya Mesir dari
kekuasaan Ottoman dan kemudian munculnya tokoh-tokoh pembaharu yang modernis.
Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh pembaharu Mesir. Muhammad Abduh (d.
1905) is one of the most studied muslim modernist. He began his career in
Egypt, the most important intellectual hub for muslims at the time.[5]
Selain Muhammad Abduh, ada pula Syekh Rasyid Ridha dan Qasim Amin. Para
reformis menyadari bahwa prinsip-prinsip hukum keluarga yang terdapat pada
mazhab tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Mesir,
untuk itu tahun 1915 dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin oleh Rektor
Universitas Al-Azhar, Syekh Al-Maraghi untuk mereformasi hukum keluarga di
Mesir.[6]
Dari sekian
cakupan perundang-undangan perkawinan, masalah pembatasan umur minimal
perkawinan merupakan salah satu hal yang mengalami perubahan atau terjadi
pembaharuan. Peraturan tentang batas minimal umur perkawinan di Mesir diatur
dalam UU No. 56 tahun 1923, yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita.
Perkawinan yang melanggar batas usia minimal ini tidak akan dicatat (tidak
terdaftar) dan pengadilan tidak mengakui dalam hal pemberian bantuan dalam hal
apapun.[7]
Di Mesir, ada
dua hal untuk mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU, yaitu:
Akte Kelahiran atau berupa surat resmi yang dapat menaksir tanggal kelahiran
seseorang, dan sertifikat kesehatan yang memperlihatkan taksiran tanggal atau
data kelahiran yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan
setempat. Jika keduanya atau salah satu pihak calon suami atau istri tidak
memenuhi ketentuan umur perkawinan dalam UU tersebut, maka dilarang untuk
melakukan pendaftaran perkawinan.[8]
Ada catatan lain tentang resiko pernikahan di bawah usia yang telah
diberlakukan di dalam UU Mesir. Pasal 17 dari konstitusi menyatakan bahwa:
Tidak menerima komplain yang timbul dari akad pernikahan jika usia istri kurang dari enam belas tahun kalender atau usia pasangan setidaknya delapan belas tahun. Kecuali pernikahan tersebut resmi.[9]
Tidak menerima komplain yang timbul dari akad pernikahan jika usia istri kurang dari enam belas tahun kalender atau usia pasangan setidaknya delapan belas tahun. Kecuali pernikahan tersebut resmi.[9]
C.
Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia
Jika di Mesir
diatur batas minimal umur perkawinan 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
wanita, maka tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Undan-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan mengatur bahwa umur minimal boleh kawin adalah 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Disamping itu, bagi calon yang belum
mencapai umur 21 tahun diharuskan mendapat izin dari kedua orangtua atau
pengadilan, seperti disebutkan pada pasal 6 ayat (2) dan (5) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974. Adapun isi ayat (2) : “Untuk melangsungkan perkawinan seseorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orangtua”. Sedang isi ayat (5) adalah :
Dalam hal ada perbedaan pendapat
antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) (orangtua dan
wali, pen.), atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan
(4) pasal ini.[10]
Dengan
demikian, apabila izin tidak didapatkan dari orangtua, pengadilan dapat memberi
izin.[11]
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip, bahwa calon suami isteri
harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah
adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih di bawah umur.
Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka
undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun
wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun
bagi wanita.[12]
D.
Analisis
Terhadap Undang-Undang Batas Minimal Usia Perkawinan di Mesir dan Indonesia
Mesir dan
Indonesia adalah dua negara yang berbeda satu sama lain. tidak hanya dari aspek
geografis, dari aspek-aspek yang lainpun keduanya berbeda, bahkan sangat
berbeda. Dari sekian banyak perbedaan, dalam makalah ini pemakalah berusaha
untuk menganalisis perbedaan tersebut dari aspek perundang-undangan.
Perundang-undanganpun pemakalah mempersempit pembahasan pada Undang-Undang
tentang perkawinan. Dan fokus pembahasannya adalah batas minimal umur
perkawinan di kedua negara tersebut.
Sebelum
melangkah lebih jauh, barangkali perlu diketahui bersama bahwa di balik semua
perbedaan yang ada, Mesir dan Indonesia memiliki kemiripan tentang batas
minimal umur perkawinan. Di Mesir 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Sedangkan di Indonesia
19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Keduanya memiliki persamaan
dalam batas minimal umur perkawinan untuk wanita, sedangkan perbedaan hanya
terpaut satu tahun untuk batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki.
Seperti yang
pemakalah sebut sebelumnya, bahwa Mesir adalah negara muslim yang melakukan
pembaharuan hukum keluarga Islam pada fase awal. Sejalan dengan perkembangan
zaman, pembaharuan tersebut diikuti oleh negara-negara muslim lainnya. Artinya,
banyak negara-negara muslim yang terinspirasi untuk melakukan pembaharuan hukum
keluarga. Negara-negara di Asia Tenggara pun menjadi gencar untuk melakukan
pembaharuan, termasuk diantaranya Indonesia.
Jika dilihat
dari aspek historis, maka Indonesia
memiliki kaitan erat dengan Mesir. Keduanya sama-sama sebagai negara yang
dijajah. Keduanya pun sama-sama menjadi negara muslim yang berpaham sunni.
Pemahaman keagamaan di Indonesia khususnya dalam hal pembaharuan banyak
dipengaruhi oleh pembaharu-pembaharu dari Mesir. Contohnya adalah KH. Ahmad
Dahlan dengan organisasi yang didirikannya bernama Muhammadiyah. Muhammadiyah
dikenal sebagai gerakan modernis yang banyak melakukan pembaharuan. Jiwa
pembaharuan Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh pembaharu-pembaharu Mesir,
seperti Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan Jamaluddin Al-Afgani dari Afganistan.
Sebagai negara
berkembang, Mesir dan Indonesia mencoba untuk membuat peraturan tentang
perkawinan, khususnya pembatasan umur minimal perkawinan dengan tujuan
kemaslahatan bagi kedua negara sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing
negara. Tidak bisa dipaksakan keduanya harus memiliki kesamaan. Sebaliknya, tidak
mungkin juga keduanya dipaksakan untuk berbeda. Untuk perundang-undangan yang berlaku saat ini
di masing-masing negara adalah pilihan yang semuanya baik dan telah
mengakomodir keinginan masing-masing negara.
KESIMPULAN
Ø Mesir dan Indonesia adalah dua negara muslim
yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga. Dibandingkan dengan Indonesia,
Mesir lebih awal melakukan pembahruan hukum keluarga. Negara-negara muslim di
Asia Tenggara banyak terinspirasi dari Mesir untuk melakukan pembaharuan hukum
keluarga. Salah satu diantara negara yang terinspirasi Mesir adalah Indonesia
Ø Peraturan tentang batas minimal umur
perkawinan antara Mesir dan Indonesia tidak jauh berbeda, bahkan ada kesamaan.
Kesamaan tersebut terletak pada umur wanita, yakni 16 tahun bagi wanita.
Perbedaannya pun hanya terbpaut satu tahun, yakni 18 tahun bagi laki-laki di
Indonesia dan 19 tahun bagi laki-laki di Indonesia.
Ø Jika di Indonesia pelanggaran terhadap batas
minimal usia perkawinan tersebut tidak menimbulkan sanksi hukum, maka di Mesir
ada sanksi yang diberikan berupa tidak adanya bantuan dari pemerintah
berdasarkan pada UU No. 56 tahun 1923. Dan tidak adanya komplain jika terjadi
pemasalahan dalam rumah tangga sesuai dengan UU Perkawinan Mesir. Pasal 17 dari konstitusi menyatakan bahwa: Tidak
menerima komplain yang timbul dari akad pernikahan jika usia istri kurang dari
enam belas tahun kalender atau usia pasangan setidaknya delapan belas tahun. Kecuali
pernikahan tersebut resmi.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata Islam)
Islam Indonesia, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2007)
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata Islam Indonesia
dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia
Tazzafa, 2009)
Supriatna, Fatma Almilia, Yasin Baidi, Fiqih Munakahat
II, (Yogyakarta:Bidang Akademik UIN Suka, 2008)
Saeed, Abdullah, Islamic Thought An Introduction,
(New York: Routledge, 2006)
Somae, Erik Tauvani, Pandangan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah Kota Yogyakarta Terhadap Batas Minimal Usia Perkawinan Tinjauan
Maslahah, (Yogyakarta: UIN, 2012), skripsi tidak diterbitkan.
www.google.com, Hukum Keluarga Islam di
Negara Mesir, Sebuah Resume - ciani, diakses pada 3 Desember 2013.
www.google.com, Hukum Islam Di Negara
Republik Arab Mesir – Catatan Afandi, diakses pada 5 Desember 2013.
http://www.egypt.gov.eg/arabic/laws/personal/chp_three/part_one.aspx
[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata Islam)
Islam Indonesia, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2007), hlm. 32
[2] Erik Tauvani Somae, Pandangan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah Kota Yogyakarta Terhadap Batas Minimal Usia Perkawinan Tinjauan
Maslahah, (Yogyakarta: UIN, 2012), skripsi tidak diterbitkan.
[3] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia
dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia
Tazzafa, 2009), hlm. 371-372.
[4] Erik Tauvani Somae, Pandangan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah Kota Yogyakarta Terhadap Batas Minimal Usia Perkawinan Tinjauan
Maslahah, (Yogyakarta: UIN, 2012), skripsi tidak diterbitkan.
[5] Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction,
(New York: Routledge, 2006), hlm. 137.
[6] www.google.com, Hukum Keluarga Islam di Negara Mesir,
Sebuah Resume - ciani, diakses pada 3 Desember 2013.
[7] Ibid.
[8] www.google.com, Hukum Islam Di Negara Republik Arab Mesir
– Catatan Afandi, diakses pada 5 Desember 2013.
[9]http://www.egypt.gov.eg/arabic/laws/personal/chp_three/part_one.aspx
[10] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam Indonesia
dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia
Tazzafa, 2009), hlm. 374.
[11] Ibid.
[12] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Lih Fiqih Munakahat II, (Yogyakarta:Bidang Akademik UIN
Suka, 2008), hlm. 115-116.