Posted by : Unknown Rabu, 15 Oktober 2014



SI-KULIT PUTIH SEDIKIT BERKERUT


Tanggal 15 Oktober 2014, aku diajak oleh seorang sahabat keliling Malioboro. Aku memanggilnya “Ariel”, karena wajahnya yang mirip dengan artis fenomenal Indonesia bernama “ariel”. Nama sebenarnya Abdul al-Muzammi. Malioboro sebuah tempat pusat perbenlanjaan dan icon—nya kota Yogyakarta. Tempat ini terkenal tidak hanya di Indonesia namun sampai ke Mancanegara. Di sinilah semua ekonomi kreatif masyarakat dipasarkan, sebahagian diekspor ke seluruh Indonesia, bahkan ke berbagai negara Malaysia, Tailand, misalnya. Sebetulnya tempat ini, sudah tidak asing lagi bagiku. Artinya tidak terhitung lagi dengan jari berapa kali saya berkunjung ke Malioboro, lupa. Namun ada yang berbeda dengan perjalanan kali ini, di mana saya tidak langsung dibawa ke Malioboro. Tapi saya terlebih dahulu diajak minum es, masih daerah Malioboro itu sendiri. Katanya haus, dan aku juga merasakan demikian. Maklum kota Yogyakarta lagi musim kemarau, sudah hampir tiga bulan tidak turun hujan. Bahkan di daerah-daerah lain ada yang sudah kekeringan.
Aku sih manut saja, soalnya ke Malioboro juga bukan niat mau belanja, cuma ingin lihat-lihat saja. Maklum, bulan tua. Akhirnya es sudah dipesan dua porsi, dan kami minum bersama. Dinginnya es membuat tenggorokanku terasa plong, seakan-akan membuatku lupa bahwa kota Yogyakarta sudah tiga bulan dilanda musim kemarau. Kemudian menghilangkan rasa prihatinku bahwa saudara-saudaraku di daerah yang lain dilanda kekeringan. Bahkan, menghilangkan ingatakanku akan musibah meletusnya gunung Sinabung di tempat asalku, Medan. Sesaat aku terhenti, “astagfirullah” ucapku. Tidak bisa membantu dengan tangan minimal dengan do’a. semoga mereka mendapatkan kesabaran dan musibah dihilangkan. Hanya itu yang ada dalam benak do’aku.
Tanpa sengaja, aku melihat ke grobak kecil tempat pembuatan es. Saya melihat sepasang manusia dengan sibuknya melayani pelanggan. Selain kami berdua, di sampingku ada seorang bapak-bapak memakai baju kaos sederhana, memiliki kulit putih sedikit berkerut, kira-kira berumur 52 tahun. Si kulit putih sedikit berkerut itulah yang punya grobak es berwarna biru tersebut. Sedangkan sepasang manusia yang sibuk memarut es sampai halus, sibuk melayani pelanggan adalah karyawannya. Sesekali karyawan tersebut saya lihat menghela nafas, sambil mengusap dahi, capek. Lalu saya beranikan diri bertanya kepada pemiliknya:
“baru jualan pak ya”? Tanyaku dengan lembut. Pertanyaan yang cukup simple.
Saya bertanya demikian bukan tanpa alasan, karena saya melihat si kulit putih sedikit berkerut itu, jualan hanya bermodalkan grobak kecil dan dua orang karyawan. Sedang peralatan lainnya yang seharusnya ada seperti bangku, meja, alat tikar tidak ada. si kulit putih sedikit berkerut itu, hanya berjualan di pinggir jalan. Para pelanggan yang membeli, minum sambil duduk di teras rumah di dekatnya sambil menghadap ke jalan. Bahkan ada yang jongkok, termasuk kami.
Cukup lama si kulit putih sedikit berkerut itu, menjawab pertanyaanku. Saya melihat dia malah tersenyum mendengar pertanyaanku. Padahal jawabannya cuma “ya atau tidak”, seperti lagunya Iwan Fals. Saya heran ia belum menjawab pertanyaanku. Sesaat kemudian dia malah balik bertanya:
“kamu kelahiran berapa nak” ucapnya dengan bahasa jawa. Tetap masih tersenyum.
“07 Pebruari 1989 pak” jawabku singkat dengan bahasa Indonesia. Maklum sejak saya tinggal di Yogyakarta 17 Juni 2013 lebih satu tahun saya belum bisa bahasa Jawa.
“berarti umurmu masih 25 tahun toh, saya itu jualan dari tahun 1976. Jadi kalau mau tahu berapa lama saya jualan hitung sendiri”. Jawabnya sedikit sombong.
Dari jawabannya tersebut akhirnya aku paham, kenapa ia lama menjawab pertanyaan simpelku.
“huh….belum tahu siapa saya”. Mungkin itu yang ada dalam pikirannya ketika pertama kali mendengar pertanyaanku.
Ada satu jawaban dari pertanyaanku kepada si kulit putih sedikit berkerut itu, yang membuatku terharu. Di mana, alasan kenapa ia berjualan di pinggir jalan padahal pelanggannya cukup ramai, ternyata pelanggannya sendiri yang meminta, agar supaya konsumen tersebut bisa minum es hasil racikannya sambil menghadap ke jalan, melihat lalu lalang kendaraan.
Tidak hanya itu, sejak ia berjualan es, ia masih belum punya rumah. Itu artinya selama 38 tahun ini, hanya memiliki rumah kontrakan. Mungkin karena harga esnya yang cukup murah. Ada satu penjelasan yang sangat melekat dalam pikiranku, ia berkata “kita hidup di dunia ini hanya sementara. Tujuan sesungguhnya akhirat. Saya berjualan es juga begitu, tidak hanya tujuan materi (dunia), namun agar bisa membantu orang lain yang kehausan. Tentunya dengan harga yang lebih murah, itu bagian dari tujuan akhirat”. Seakan memberi nasehat kepada kami.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12. 00 Wib, itu artinya sudah hampir setengah jam kami berdua saling tukar pikiran dengan si kulit putih sedikit berkerut itu. Akhirnya kami pamit mau ke tujuan asal (Malioboro).
“pamit pak ya”
“nggeh, matursuwun”
“sami-sami”

Di tengah jalan, di atas motor posisiku di bonceng, sejenak aku berpikir ternyata masih ada orang yang pendidikannya rendah namun memiliki hati yang sangat mulia. Sebaliknya ada orang yang memiliki pendidikan yang sangat tinggi sampai gelar “prof”, jangankan peduli, malah sebagian merampas hak orang lain (koruptor). Apakah mungkin gelar “prof” nya sudah diganti dengan “provokotor”? bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -