Posted by : Unknown Minggu, 07 Desember 2014



PERNIKAHAN BUKAN SEKEDAR PEMENUH HASRAT SEMATA




 

















Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas 
Studi Qur’an Dan Hadits Tentang Hukum Keluarga







OLEH:
MAYLISSABET
NIM: 1320310013



KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PRODI HUKUM ISLAM
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI............................................................................................................ i

BAB   I    PENDAHULUAN
A.  LatarBelakangMasalah................................................................................... 1
B.  PokokMasalah................................................................................................ 3
C.  TujuandanKegunaanPembahasan................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Pernikahan.................................................................................... 4
B.  Asas-asas Pernikahan..................................................................................... 5
C.  Tujuan Pernikahan.......................................................................................... 8

BAB III ANALISIS MENURUT PARADIGMA AL-QUR’AN DAN SUNNAH
A.    Analisis Asas-Asas Pernikahan...................................................................... 13
B.     Analisis Tujuan Pernikahan............................................................................ 15

BAB IV KESIMPULAN......................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 19

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sunnah Rasul yang dilakukan oleh makhluk-Nya. Tidak hanya makhluk-Nya yang berupa manusia, hewan serta tumbuh-tumbuhan pun melakukan perkawinan. Perkawinan yang merupakan sunnah Rasul merupakan perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, sehingga disebut dengan زوج(pasangan).
Makna perkawinan sangatlah beraneka ragam. Istilah Perkawinan terkadang disebut juga dengan “pernikahan”. Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang artinya menikah.[1]Berbeda dengan pernikahan, pernikahan berasal dari kata “nikah” yang artinya perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi)[2]. Dari pengertian di atas menunjukkan bahwa perkawinan lebih umum daripada pernikahan. Bahwa perkawinan dapat digunakan untuk tumbuhan, hewan, manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa istilah pernikahan lebih cocok dipakai untuk manusia, tidak untuk makhluk-Nya yang lain.[3]
Pernikahan merupakan awal dari terbentunya sebuah keluarga. Keluarga yang baik adalah keluarga yang selalu berpedoman kepada al-Qur’an maupun hadis. Pedoman mengenai pernikahan di dalam al-qur’an meliputi segala aspek, mulai dari sebelum terjadinya pernikahan, ketika dalam pernikahan bahkan sampai pasca pernikahan. Hal-ihwal pernikahan juga banyak diterangkan melalui hadits. Peran Hadis adalah menerangkan hal-hal yang belum dijelaskan secara terperinci di dalam al-qur’an, yang dalam hal ini adalah pernikahan.
Keluarga yang diharapkan oleh al-Qur’an adalah keluarga sakinah. Untuk mencapai keluarga yang sakinah, dibutuhkan beberapa pengetahuan mendasar sebelum melaksanakan pernikahan, baik dari aspek pengertian pernikahan, asas-asas pernikahan, tujuan pernikahan, rukun dan syarat sah pernikahan dan lain-lain. Bukan berarti menafikan pengetahuan-pengetahuan yang lain, pengetahuan di atas menurut penulis makalah dianggap penting, karena merupakan langkah dasar untuk menciptakan keluarga yang sakinah.
Memahami asas dan tujuan merupakan sebuah keharusan bagi pasangan yang memutuskan untuk menikah. Hal ini ditandai dari banyaknya tokoh-tokoh yang membicarakan asas dan tujuan pernikahan. Asas dan tujuan juga dipaparkan di dalam perundang-undangan di Indonesia. Asas dan tujuan pernikahan akan menuntun manusia menuju pernikahan yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Dengan tanpa memperhatikan asas dan tujuan pernikahan, banyak yang beranggapan hal yang terpenting dalam pernikahan hanya untuk memenuhi hasrat (seks) antara laki-laki dan perempuan dengan jalan yang telah dihalalkan.
Indonesia sebagai negara hukum, harus tunduk terhadap aturan-aturan yang berlaku. Aturan-aturan tersebut bisa dalam bentuk Undang-Undang, Instruksi Presiden dll. Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam menuntut perundang-undangan yang ada tidak bertentangan dengna ajaran Islam yang berdasar pada al-Qur’an dan Hadis. Terkait dengan perkawinan, maka Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lah yang menjadi rujukan pokok warga Indonesia mengenai perkawinan.
Dari fenomena di atas, penulis makalah ingin mengetahui sudahkah asas-asas dan tujuan pernikahan yang telah dipaparkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinansesuai dengan al-Qur’an dan Hadis?. Inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini. Asas dan tujuan pernikahan yang disampaikan dalam makalahini juga di lihat melalui paradigma al-Qur’an dan Hadits, agar tercipta Keluarga yang sakinah sebagaimana diterangkan di dalam al-Qur’an.
ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها و جعل بينكم مودة و رحمة[4]


B.  Pokok Masalah
1.    Bagaimana asas-asas dan tujuan pernikahan menurut paradigma al-Qur’an dan sunnah?
2.    Apakah asas-asas dan tujuan pernikahan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  telah sesuai dengan asas-asas dan tujuan pernikahan menurut paradigma al-Qur’an dan Hadis?

C.  Tujuan Pembahasan
1.    Untuk mengetahui dan memahami asas-asas dan tujuan pernikahan menurut paradigma al-Qur’an dan sunnah.
2.    Untuk mengetahui dan memahami kesesuaian asas-asas dan tujuan pernikahan saat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  dengan asas-asas dan tujuan pernikahan menurut al-Qur’an dan Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Pernikahan
Pernikahan terkait dengan makna mempunyai banyak versi, diantaranya pengertian pernikahan menurut Hukum Islam, menurut Undang Undang Perkawinan, dan menurut Kompilasi Hukum Islam.
Pernikahan menurut Hukum Islam berasal dari kata nikah. Nikah menurut bahasa adalahal-jam’u dan ad}-d}ammuyang artinya kumpul. Pernikahan juga dapat dimaknai ‘aqdu at-tazwi>j  yang artinya akad nikah. Makna lain dari yang telah disubutkan adalah wat}’u az-zaujah, bermakna menyetubuhi istri. Kata nikah juga sering digunakan karena telah masuk dalam bahasa Indonesia.[5]
Adapun menurut syara’, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lain dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Pengertian yang lain juga diungkapkan oleh Zakiyah, bahwa pernikahan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya.[6]
Imam Asy-Syafi’i juga memaparkan pendapatnya mengenai penegertian pernikahan, bahwa:
النكاح بأنه عقد يتضمن ملك وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما[7]
Pengertian perkawinan juga dipaparkan di dalam Undang-Undang Perkawinan, bahwa:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8]

Kompilasi Hukum Islam menyumbangkan pengertian yang hampir sama dengan pengertian dalam Undang-Undang Perkawinan, bahwa:
Perkawinan dalam hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>ts|a>qon g}}ali>z}an untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[9]

Pengertian yang telah dipaparkan di dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi hukum Islam sebenarnya juga merujuk terhadap pengertian-pengertian yang telah dipaparkan di dalam al-Qur’an, hanya saja redaksinya berbeda-beda walaupun pada intinya bahwa pernikahan itu merupakan ikatan yang kokoh antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari pernikahan itu sendiri. Jika dilihat kembali pengertian-pengertian-pengertian di atas, maka pengertian secara hukum Islam lebih identik dengan hubungan suami isteri. Hal ini yang selalu terekam di benak masyarakat, sehingga dibutuhkan pengarahan yang benar terkait dengan hakikat dari pernikahan itu sendiri.

B.  Asas-Asas Pernikahan
Asas dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti “dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir)”.[10]Asas pernikahan berarti “sesuatu yang menjadi dasar dari sebuah pernikahan”. Asas-asas pernikahan merupakan sebuah pegangan yang harus dilaksanakan oleh pasangan suami isteri untuk menciptakan keluarga yang sakinah serta penuh kasih dan sayang.
Asas-asas pernikahan tersebut di antaranya adalah:[11]
1.        Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.
2.        Memperhatikan ketentuan-ketentuan larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan
3.        Harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan
4.        Hak dan kewajiban suami dan isteri adalah seimbang dalam rumah tangga
5.        Ada persaksian dalam pernikahan
6.        Perkawinan tidak ditentukan dalam waktu tertentu
7.        Kewajiban membayar mas kawin untuk suami
8.        Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah
9.        Kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan berumah tangga.
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai asas-asas perkawinan, walaupun tidak dikemukakan secara jelas di dalam pasal tertentu, dapat dilihat bahwa di dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengandung tujuh asas, yakni:[12]
1.    Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.[13]
2.    Asas keabsahan perkawinan didasarkan atas hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan.[14]
3.    Asas monogami terbuka.[15]
4.    Asas calon suami dan calon isteri telah matang jiwa raganya.[16]
5.    Asas mempersulit terjadinya perceraian.[17]
6.    Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban antara suami dan isteri.[18]
7.    Asas pencatatan perkawinan.[19]
Khoiruddin juga memaparkan bahwa ada beberapa nash baik al-Qur’an maupun as-Sunnah yang membahas tentang asas-asas/ prinsip-prinsip pernikahan. Nash-nash tersebut adalah al-Baqarah(2): 187, 228, dan 233, an-Nisa>’(4): 9, 19, 32, dan 58,an-Nah}l(16): 90, dan at}-T{ala>q(65):7. Adapula nash-nash dari sunnah Nabi Muhammad SAW.[20]
Ayat-ayat di atas dapat mengumpulkan beberapa prinsip-prinsip pernikahan, yakni:[21]
1.    Musyawarah dan Demokrasi
Musyawarah berarti bahwa dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri, bisa juga melibatkan seluruh anggota keluarga. Demokrasi berarti suami dan isteri harus saling terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangan. Hal ini dapat dilihat pada Q.S. at}-Tala>q(65):7:
وأتممروا بينكم بمعروف[22]
Selain ayat di atas, terdapat hadis Nabi yang menerangkan mengenai pentinganya musyawarah untuk pembagian tugas dalam keluarga, yakni:
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيّته فالإمام الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيّته والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عن رعيّته والمرأة راعية على أهل بيتزوجها
وولده وهي مسئولة عنهم[23]
2.    Menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga
Hal ini berarti berarti bahwa dalam kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana yang merasa saling kasih, saling sayang, saling asih, saling cinta, saling melindungi, dan saling sayang. Hal ini sesuia dengan apa yanga disebutkan dalam Q.S. ar-Ru>m (30): 21:
و من اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها و جعل بينكم مودة و رحمة[24]
3.    Menghindari adanya kekerasan
Hal ini berarti terhindar dari kekerasan fisik maupun psikis. Terhindar dari kekerasan fisik berarti bahwa jangan sampai ada pihak dalam keluarga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindak kekerasan lain dalam bentuk apapun, dengan alasan apapun, termasuk alasan agama, baik kepada antar pasangan (suami dan isteri)maupun antara pasangan dengan anak-anak. Terhindar dari kekerasan psikis berarti bahwa suami dan isteri harus mampu menciptakan suasana kejiwaanyang aman merdeka, tentram dan bebas dari segala bentuk ancaman yang bersifat kejiwaan, baik dalam bentuk kata-kata atau kalimat setiap hari ataupun panggilan dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan Q.S. an-Nisa>’ (4): 19:
وعاشروهن بالمعروف[25]
4.    Hubungan suami dan isteri sebagai hubungan partner
Implikasi dari pasangan yang bermitra dan sejajar ini muncul sikap saling, yakni saling mengerti, saling menerima, saling menghormati, saling mempercayai, saling mencintai. Hal ini dapat dilihat dalam Q.S. al-Baqarah(2): 228:
ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف[26]
5.    Prinsip keadilan
Hal ini masih mengandung banyak perdebatan, akan tetapi dalam hal ini berarti bahwa menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya (proporsional). Contohnya, jika ada di anatara pasangan atau anggota keluarga (anak-anak) yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri harus didukung tanpa memandang dan membedakan berdasarkan jenis kelamin. Nash dalam ayat al-Qur’an menerangkan tentang keadilan walaupun tidak secara jelas dikhususkan dalam bahasan rumah tangga, yakni di antaranya Q.S. an-Nah}l(16): 90:
إن الله يأمربالعدل والإحسان[27]

C.  Tujuan pernikahan
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pastilah memilik tujuan, begitupun dengna pernikahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tujuan mempunyai makna“arah/ maksud (yang dituntut)”.[28]Tujuan Pernikahan berarti “arah/maksud dari sebuah pernikahan”. Tujuan pernikahan disampaikan oleh banyak tokohdan dengan pernyataan yang berbeda-beda pula. Beberapa pandangan para ahli terkait tujuan pernikahan adalah sebagai berikut:
Zakiyah Darajat menyampaikan bahwa tujuan perkawinan ada lima, yakni:[29]
1.    Mendapatkan dan melangsungkan keturunan,
2.    Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya,
3.    Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan,
4.    Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, bersungguh-sungguh untuk memperolehharta kekayaan yang halal,
5.    Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Ny. Soemiati menyatkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi hajat tabi’at kemanusiaan, yakni hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan keluarga yang bahagia, atas dasar kasih dan sayang. Tujuan lainnya adalah untuk memperoleh keturunan dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari’ah.[30]
Mahmud Yunus merumuskan secara singkat terkait tujuan perkawinan yakni untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.[31]
Al-ghazali sebagai seorang filosof Islam memapakarkan tentang tujuan perkawinan, yakni:[32]
1.    Untuk memperoleh keturunan yang sah, yang akan melangsungkan serta mengembangkan keturunan suku-suku bangsa Manusia (Q.S. al-Furqan (35): 74.
2.    Untuk memenuhi tuntunan naluriah hidup manusia (Q.S. al-Baqarah (2): 187)
3.    Untuk memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan (Q.S. an-Nisa’ (4): 28.
4.    Untuk membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang (Q.S. ar-Rum (30): 21)\
5.    Untuk membubuhkan kesungguhan berusaha untuk mencari rizki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab (Q.S. an-Nisa’ (4): 34)
Tujuan perkawinan juga dipaparkan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[33]
Khoiruddin juga menjelaskan secara rinci terkait tujuan-tujuan perkawinan. Menurut Khoiruddin tujuan-tujuan perkawinan dapat disimpulkan menjadi lima tujuan, yakni:
1.    Memperoleh ketenangan yang penuh cinta dan kasih sayang.
Hubungan suami isteri tidak cukup jika hanya dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis semata, akan tetapi butuh cinta, kasih dan sayang dalam hubungan suami isteri ini.Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa hubungan suami dan isteri merupakan hubungan cinta dan kasih sayang, misalnya dalam Q.S.al-Baqarah (2): 187:
هن لباس لكم وأنتم لباس لهن[34]
Tujuan yang pertama merupakan tujuan paling pokok dalam perkawinan. Tujuan pokok ini dapat tercipta secara utuh dengan dukungan tujuan-tujuan yang lain. Tujuan-tujuan yang lain adalah tujuan-tujuan yang dipaparkan di bawah ini.
2.    Reproduksi.
Tujuan pentingnya reproduksi agar umat Islam kelak menjadi umat yang banyak, dan berkualitas. Nabi mengajak untuk hidup berkeluarga dan menurunkan serta mengasuh anak-anak mereka menjadi warga dan umat Islam yang shaleh. Tujuan lain di balik umat yang banyak tersebut agar mereka dapatmenyiarkan Islam, dan orang yang dapat menyiarkan Islam adalah orang yang berilmu. Karena ini, tujuan reproduksi adalah melahirkan generasi yang kuat dan banyak. Sebagaimana dalam Q.S. an-Nah}l (16): 72:
والله جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بنين و حفدة[35]
Selain ayat yang telah disebutkan di atas juga terdapat hadis Nabi yang berkaitan dengan reproduksi, yakni:
تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الامم يوم القيامة
3.    Pemenuhan kebutuhan biologis
Seorang laki-laki dan perempuan yang melakukan pernikahan, tidak dipungkiri bertujuan agar dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara yang halal. Tujuan ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah (2): 223:
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم[36]
Selain ayat yang telah disebutkan di atas, terdapat hadis Nabi yang berkaitan dengan hal ini, yakni:
يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض بالبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء[37]
4.    Menjaga kehormatan
Kehormatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kehormatan diri sendiri, anak dan keluarganya. Menjaga kehormatan harus menjadi satu kesatuan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan biologis, artinya, di samping untuk memenuhi kebutuhan biologi, juga untuk menjaga kehormatan. Jika tidak untuk menjaga kehormatan, maka hubungan biologis dapat dilakukan oleh siapapun meskipun bukan suami isteri yang sah.Tujuan ini dapat dilihat pada Q.S.an-Nisa>’ (4): 24:
و احل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين[38]
5.    Ibadah
Tujuan ini untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, karena menikah adalah bagian dari agama. Melakukan perintah dan ajaran agama tentu bagian dari agama. Di antara nash yang menerangkan hal ini adalah hadits Nabi yang menyatakan:
ومن تزوج فقد احرز شطر دينه فليتق الله في الشطر الباقي


BAB III
ANALISIS

A.  Analisis Asas-Asas Perkawinan
Asas-asas perkawinan dan tujuan perkawinan merupakan hal yang saling mendukung. Dengan memperhatikan dan menjalankan asas-asas perkawinan secara baik, maka tujuan perkawinan akan terlaksana. Asas-asas perkawinan merupakan petunjuk bagi pasangan suami isteri untuk mencapai tujuan dari sebuah perkawinan. Oleh karenanya, mengetahui dan memahami asas-asas dan tujuan perkawinan sangatlah penting bagi pasangan yang memutuskan untuk melangsungkan pernikahan.
Asas-asas perkawinan yang telah disampaikan oleh para tokoh bisa dikatakan berbeda-beda, akan tetapi pada hakikatnya sama-sama untuk mewujudkan tujuan perkawinan yakni menciptakan keluarga yang saki>nah, mawaddah wa rah}mah. Keluarga yang sakinah pun tidak dapat berdiri sendiri tanpa pendukung-pendukung yang lain. Artinya, tidak cukup sakinah jika sebuah keluarga tidak mengaplikasikan tujuan-tujuan yang lain.
Asas-asas perkawinan yang telah disebutkan pada bab sebelumnya sempat menyinggung adanya asas monigami terbuka.[39]Hal ini dapat berimplikasi seakan-akan asas perkawinan adalah poligami,padahal asas yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah monogami. Poligami hanya sebagai pilihan dalam keadaan yang benar-benar mendesak dan dengan syarat-syarat yang ketat.
Mengutip pendapat Maria Ulfa Anshor, ketua umum PP Fatayat NU, bahwa “poligami seharusnya tidak dimasukkan dalam bab I UUP tentang dasar perkawinan, karena prinsip dasar perkawinan dalam syari’ah bukan poligami. Poligami sebagai pengecualian yang amat sangat darurat, sehingga harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sangsinya”.[40]
Nash al-Qur’an yang sering dibuat alasan kebolehan poligami yakni Q.S.an-Nisa>’ (4): 3:
وان خفتم الا تقسطوافي اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة او ما ملكت ايمانكم[41]
Ayat di atas sebenarnya tidak menunjukkan prinsip monogami terbuka, justru ayat di atas menunjukkan bahwa asas perkawinan adalah monogami. Ayat ini sebenarnya menjelaskan tentang sikap seseorang terhadap pribadi anak-anak yatim. Ayat sebelum an-Nisa>’ (4): 3: berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menerangkan tentang larangan mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya.[42]
Tujuan yang ingin disampaikan dalam QS.an-Nisa>’ (4): 3: sebenarnya jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka nikahi saja seorang isteri saja. Menurut Quraish Shihab, karena yang lebih mengantarkan kamu terhadap keadilan dan tidak membuat aniaya adalah mencukupkan dirimu dengan satu isteri, bukan dua, tiga atau empat.[43]
Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa bolehnya poligami hanya dalam keadaan tertentu, bukan membolehkan secara umum, apalagi menganjurkan. Menurut Asghar Ali Engineer menyatakan penekanan ayat ini sebenarnya adalah keadilan kepada perempuan secara umum, khususunya kepada janda dan anak yatim. Ayat ini juga berkaitan dengan perlakuan terhadap anak yatim, yakni wali pria yang bertanggung jawab mengurus kekayaan anak perempuan yatim.[44]
QS an-Nisa>’ (4): 3 juga seharusnya dikaitkan denganQ.S.an-Nisa>’ (4): 129:
ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم[45]
Q.S.an-Nisa>’ (4): 3 dan Q.S.an-Nisa>’ (4): 129 terdapat kata عدلyang artinya “adil”. Pada Q.S.an-Nisa>’ (4): 3 terdapat kata قسطyang juga berarti “adil”. Kedua kata tersebut sama-sama memiliki arti adil, akan tetapi memiliki perbedaan bahwa adil untuk kata عدلberarti “adil dalam hal yang bersifat immateri”, sedangkan adil dalam kata قسطberarti “adil dalam hal yang bersifat materi”.
Contoh adil yang bersifat immateri bisa berupa rasa cinta, rasa kasih, dan rasa sayang, sedangkan contoh adil yang bersifat materi berupa hal-hal yang dapat dibagi secara nyata dan dapat dihitung seperti harta, rumah, tanah dan lain-lain. Dalam Q.S.an-Nisa>’ (4): 129 dijelaskan bahwa tidak mungkin seseorang dapat membagi rata rasa cinta, kasih dan sayangnya terhadap isteri-isterinya, akan tetapi suami harus tetap berusaha agar berlaku proposional terhadap isteri-isterinya dan tidak boleh membuat salah satu isteri merasa digantungkan.
Dari ayat-ayat di atas, terlihat jelas bahwa adil untuk urusan yang bersifat immateri memang sangat susah dan bahkan tidak akan pernah bisa, oleh karena itu di dalam al-Qur’an menganjurkan untuk hanya menikahi satu perempuan jika memang tidak mampu berlaku adil, agar tidak ada pihak yang dirugikan di dalamnya. Inilah asas yang seringkali diabaikan oleh banyak laki-laki yang hanya ingin memenuhi hasratnya, dengan menggunakan dasar yang sebenarnya tidak tepat untuk berpoligami.
B.  Analisis Tujuan Perkawinan
Tujuan pernikahan merupakan hal yang sangat penting, karena jika tujuan pernikahan tidak terpenuhi seperti tidak berguna pernikahan yang telah dilakukan. Tujuan pernikahan merupakan arah sebuah pernikahan berjalan. Jika tidak ada tujuan yang akan dicapai, maka sebaiknya pernikahan jangan dulu dilaksanakan demi kemaslahatan.
Jika dilihat dari tujuaan-tujuan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, sebenarnya tujuan-tujuan perkawinan yang dirumuskan oleh para tokoh hanya bermuara pada satu tujuan yakni untuk menciptakan keluarga yang sakinah berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang antara pasangan suami dan isteri bahkan anak.
Mayoritas tokohmengemukakan bahwa tujuan perkawinan ini adalah untuk menyalurkan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Jika tidak dipahami secara cermat, maka akan banyak orang yang beranggapan bahwa tujuan paling penting dalam perkawinan adalah hal tersebut. Dengan perkawinan,hubungan antara suami dan isteri merupakan hal yang paling dituju dalam perkawinan, sehingga ada sebagian pasangan suami isteri yang mengabaikan tujuan-tujuan perkawinan yang lain.
Ada satu tujuan yang sebenarnya sangat penting di samping tujuan untuk menciptakan keluarga sakinah, yakni tujuan menjaga kehormatan diri. Dari beberapa tujuan yang telah di sebutkan di bab sebelumnya, hanya Khoiruddin yang memaparkan tujuan ini. Tidak menutup kemungkinan menjaga kehormatan diri ini memang erat kaitannya dengan menyalurkan syahwat. Dengan jalan perkawinan, pasangan suami isteri diharapkan dapat menjaga kehormatan diri baik suami maupun isteri bahkan anaknya, yakni misalnya dengan menyalurkan syahwatnya kepada orang yang telah dihalalkan, dengan cara mencatatkan pernikahannya sehingga tidak ada pihak yang dapat. Dengan adanya perkawinan justru akan menjaga kehormatan pasangan bahkan mengangkat derajat pasangan, bukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Q.S. an-Nisa>’ (4): 24.
          و احل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحينفما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة[46]
Jika tidak untuk menjaga kehormatan, maka berhubungan suami isteri sebenarnya telah dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan, walaupun tanpa ikatan suami isteri.
Menjaga kehormatan tidak selalu dikaitkan dengan hubungan suami isteri, terkait pencatatan pernikahan juga dapat dilakukan untuk menjaga kehormatan, agar antara suami, isteri maupun anak-anak tidak ada yang merasa dilemahkan. Mereka sama-sama memiliki kekuatan hukum, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya sebuah pernikahan.
BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan-pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Asas-asas perkawinan menurut paradigma al-Qur’an dan Hadis adalah:
1.    Asas monogami, sesuai Q.S.an-Nisa>’ (4): 3 dan Q.S.an-Nisa>’ (4): 129.
2.    Asas musyawarah dan demokrasi, sesuai Q.S. at}-Tala>q(65):7 dan HR Imam Bukhari.
3.    Asas menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga, sesuaiQ.S. ar-Ru>m (30): 21dan Q.S. an-Nisa>’ (4): 19
4.    Asas hubungan suami dan isteri sebagai hubungan Patner, sesuai Q.S. al-Baqarah(2): 228.
5.    Asas Keadilan, sesuai  Q.S. an-Nah}l(16): 90.
Tujuan-tujuan perkawinan menurut paradigma al-Qur’an dan Hadis adalah:
1.    Untuk Menciptakan keluarga saki>nah, mawaddah wa rah}mah, sesuai Q.S. ar-Ru>m (30): 21.
2.    Untuk menjaga kehormatan, sesuai Q.S. an-Nisa>’ (4): 24.
3.    Untuk pemenuhan kebutuhan biologis, sesuai Q.S. al-Baqarah (2): 223 dan HR Imam Bukhari.
4.    Untuk reproduksi, sesuai Q.S. an-Nah}l (16): 72.
5.    Untuk ibadah.
Asas dan tujuan yang telah dipaparkan dalam UUP N0 1 Tahun 1974 tentang Perkawinantelah berusaha untuk mewujudkan asas dan tujuan yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadis, hanya saja asas monogami terbuka dalam UUP N0 1 Tahun 1974 perlu ditinjau kembali, karena poligami bukanlah dasar dari sebuah pernikahan.Poligami hanya merupakan pengecualian dalam keadaan yang benar-benar mendesak.


DAFTAR PUSTAKA

I.          Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI,Al-Qur’an danTerjemahannya, Bandung: CC J-ART, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2001.

II.          Kelompok Al-Hadis/Ilmu Hadis
Bukhārī,Imam al-, S}ahīh  al-Bukhārī, Beirut: Dar Al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 2006.

Bukhārī,Imam al-, S}ahīh  al-Bukhārī, Kairo: Matba’ah al-Bahiyah al-Misriyah, 1937.

III.          Kelompok Fiqh/ Ushul al-fiqh
Anshori, Abdul Ghafur, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press, 2011
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar grafika, 2006.

Juzairy, Abdurrhman Al-, al-Fiqh ‘Ala> al-Maz|a>hib al-Arba’ah, Kairo: Maktabah As|-S|aqafah ad-diniyyah, 2005.

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Yogyakrta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004.

                                        ,“Perdebatan Sekitar Status Poligami: Ditinjau Dari Perspektif Syari’ah Islam”, Musa>wa, Vol. 1, No. 1, (Maret 2002).

Nuroniyah, Wasman dan Wardah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Perbandingan Fiqih Dan Hukum Positif, Yogyakarta: Teras, 2011.

Sahrani, Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pres, 2010.

IV.          Kelompok Perundang-undangan
Anonim, Undang-undang Perkawinan Edisi Lengkap, Citra Media Wacana, 2008

V.          Kelompok Kamus
Depdikbud Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.


[1]Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1992) hlm 216.
[2]Ibid., hlm. 304.
[3]Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), hlm 7.
[4]Ar-Ru>m (30): 21.
[5]Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hlm 7.
[6]Ibid, hlm 8.
[7]Abdurrhman Al-Juzairy, al-Fiqh ‘Ala> al-Maz|a>hib al-Arba’ah, (Kairo: Maktabah As|-S|aqafah ad-diniyyah, 2005), hlm. 5.
[8]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
[9]Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2.
[10]Depdikbud Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm 52.
[11]Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Perbandingan Fiqih Dan Hukum Positif (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 35-36.
[12]Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta, Sinar grafika, 2006), hlm 7-8.
[13]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
[14]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2.
[15]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 3.
[16]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7.
[17]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 39.
[18]Kompilasi Hukum Islam, Pasal 79 ayat (2).
[19]Kompilasi Hukum Islam, Pasal 5.
[20]Khairuddin nasution, Hukum Perkawinan I (Yogyakrta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004), hlm 55.
[21]Ibid, hlm 56-68
[22]Q.S. at}-Tala>q (65):7.
[23]Imam al-Bukhārī, S}ahīh  al-Bukhārī, (Kairo: Matba’ah al-Bahiyah al-Misriyah, 1937), XXIV: 192, hadis nomor 6704, “Kitāb al-Aḥkām”, “Bāb QS an-Nisā’ (4): 59”.Hadis dari Isma’īl  Abdullah ibn Uwais, Mālik ibn Anas ibn Mālik ibn abi ‘Amir, ‘Abdullah ibn Dīnār, ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaṭṭab, Hadis Hasan Sahih.
[24]Q.S. ar-Ru>m (30): 21.
[25]Q.S. an-Nisa>’ (4): 19.
[26]Q.S. al-Baqarah (2): 228.
[27]Q.S. an-Nah}l (16): 90.
[28]Depdikbud Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia , hlm 965.
[29]Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hlm 15.
[30]Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam, hlm 37.
[31]Ibid, hlm 38.
[32]Ibid.
[33]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
[34]Q.S. al-Baqarah (2): 187.
[35]Q.S. an-Nah}l (16): 72.
[36]Q.S. al-Baqarah (2): 223.
[37]Imam al-Bukhārī, S}ahīh  al-Bukhārī, (Beirut: Dar Al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 2006), III: 362, hadis nomor 5065, “Kitāb an-Nika>h}”, Hadis dari ‘Umar bin Hafs, Hafs, al-A’masy, Ibrahim, ‘Alqomah.
[38]Q.S. an-Nisa>’ (4): 24.
[39]Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan , Pasal 3 ayat (2), bahwa:”Pengadilan dapat memberi izin kepada  seorang suami untuk beristeri lebih daris seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
[40]Abdul Ghafur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm 208.
[41]Q.S. an-Nisa>’ (4): 3.
[42]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), hlm 338.
[43]Ibid, hlm 338.
[44]Khoiruddin Nasution,“Perdebatan Sekitar Status Poligami: Ditinjau Dari Perspektif Syari’ah Islam”, Musa>wa,Vol. 1, No. 1, (Maret 2002), hlm 63-69.
[45]Q.S. an-Nisa>’ (4): 129.
[46]Q.S. an-Nisa>’ (4): 24.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -