- Back to Home »
- mahar , mahar di pakistan , pakistan »
- AHMAD SAINUL: MAHAR PAKISTAN
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
BAB
I
Pendahuluan
A. latar Belakang
Pada mata
kuliah Hukum pekawinan dan perceraian di Indonesia, pemakalahakan membahas UU Perkawinan
di Pakistan. Agar diskusi nanti dapat efektif serta membuahkan hasil, maka penulis memfokuskan pada UU mahar.
Sebagaimana
yang kita tahu, UU maharPakistan berbeda dengan Negara muslim lainya. Di
Pakistan,ada semacam ketentuan ‘maksimal’ dalam memberi mahar, sedangkan negara
mayoritas muslim lainnya, seperti Indonesia, Malaysia,tidak ada ketentuan
seperti itu.[1]
Berdasarkan
penjelasan di atas, menurut penulis akan menjadi sesuatu yang menarik untuk
dikaji UU mahar Pakistan ditinjau dari fiqh munakahat, lalu kita bandingkan
dengan ketentuan mahar di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa permasalahan yang akan
dibahas dalam tulisan ini dapat di identifikasikan sebagai berikut:
1.
Bagaimana UU Mahar Pakistan di
Tinjau dari Fiqh Munakahat ?
2.
Bagaimana
perbandingan antara kedudukan Mahar di Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Indonesiadengan UU di Pakistan?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang
menjadi tujuan pembahasan ini sebagai berikut:
Untuk
mengetahui dan memahami hakikat mahar dalam perkawinan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perundang-undangan Mahar di Pakistan
Di antara isi
UU batasan Mahar Pakistan, pasal 3 disebutkan, bahwa jumlah maksimal mahar
adalah 5000 rupee, Pasal 4, hadiah/kado yang boleh diberikan tidak lebih 1000
rupee, dan para pejabat Negara tidak boleh menerima hadiah/kado untuk
perkawinan anaknya (laki-laki atau perempuan), yang pemberiannya berhubungan
dengan jabatan; Pasal 5, semua hak yang diberikan sebagai mahar, pemberian yang
berhubungan dengan perkawinan, atau hadiah (kado) yang diberikan menjadi hak mutlak
isteri, dan untuk kepentingannya tidak boleh dibatasi dengan sesuatu apapun;
Pasal 6, jumlah mahar dan kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan danganperkawinan
(seperti untuk upacarawalimahan dan semacamnya) tidak boleh leih dari 2500
rupee; pasal 8, bapak atau yang mewakilinya, dalam waktu 15 hari setelah akad
nikah harus melaporkan kepada Pegawai Pencatat tentang jumlah yang dihabiskan
untuk perkawinan yang bersangkutan; Pasal 9, seorang yang melanggar aturan yang
ada dalam UU ini dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal 6 bulan.[2]
B.
Mahar dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam, disamping ada bahasan tersendiri, pada
bab ke 5, ‘mahar’, pasal 30-38, juga masalah mahar disinggung dalam bab ke 1,
‘ketentuan umum’, pasal 1d. isi dari pasal ini adalah definisi mahar.[3]
Dalam pembahasan khusus mahar Diwali dengan penegasan kewajiban
calon suami memberikan mahar kepada calon isteri.[4]Kemudian
ditetapkan atas asas mahar adalah sederhana dan mudah.[5]Selanjutnya
ditegaskan pula kepemilikan mahar adalah menjadi hak milik iseri.[6]Adapun
penyerahannya pada prinsipnya adalah tunai.Tetapi ada kemungkinan
ditangguhkan.Demikian juga boleh lunas seluruhnya atau sebagian.[7]Kemudian
ditegaskan bahwa mahar bukanlah rukun nikah.[8]
Penjelasan selanjutnya adalah akibat talak, bahwa suami yang
mentalak isteri sebelum hubungan badan wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan.Dalam kasus suami meninggal dunia sebelum hubungan badan, mahar yang
diberikan menjadi hak penuh isteri.Sementara kalau perceraian terjadi sebelum
hubungan dan jumlah mahar belum ditentukan, maka wajib membayar mahar mitsil.[9]
Dalam kasus mahar hilang sebelum diserahkan, wajib diganti.[10]Kalau
terjadi perbedaan pendapat tentang jenis dan nilai mahar, diselesaikan oleh
hakim di pengadilan.[11]Dalam
kasus mahar mempunyai cacat tergantung sikap mempelai wanita.[12]
C.
Mahar dalam perspektif fiqh Munakahat
1.
Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar, secara
etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,mahar ialah pemberian wajib
dari calon suami kepada calon istrinyadalam shigat akad nikah yang
merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami
isteri.[13]Atau
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Para ulama
sependapat bahwa mahar merupakan syarat sahnya nikah, dan tidak diperbolehkan
mengadakan persetujuan untuk meniadakannya.
Adapun dasar
hukum mengenai kewajiban memberi mahar tercantum dalam firman Allah QS. An-Nisaa’
24:
$yJsùLäê÷ètGôJtGó$#¾ÏmÎ/£`åk÷]ÏB£`èdqè?$t«sù Æèduqã_é&ZpÒÌsù
Artinya: Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban.
Selanjutnya
dalam firman Allah QS. An-Nisaa’ 25:
£`èdqßsÅ3R$$sùÈbøÎ*Î/£`ÎgÎ=÷dr& Æèdqè?#uäur£`èduqã_é&Å$rá÷èyJø9$$Î/
Dan Rasulullah
SAW bersabda :
تَزَوَّجَ
وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ ( رواه البخارى(
Artinya:
Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari)
Dari ayat dan
hadits tersebut diperoleh suatu pengertian bahwa mas kawin itu adalah harta
pemberian wajib dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh bagi istri.[14]
2. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang
diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Harga
berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah
disebut mahar.
b.
Barangnya
suci dan bisa diambil manfaat.
c.
Barangnya
bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa
seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah,
tetapi akadnya tetap sah.
d.
Bukan
barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang
yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
3. Kadar (Jumlah) Mahar
Mengenai
besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas
tertinggi.Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas rendahnya.
Imam Syafi’i,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat
bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga
bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain
berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para
pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas
murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding
berat emas perak tersebut.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan
empat puluh dirham.[15]
4. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar
sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس
عن النبى صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيىأ, فقال :
ماعندى شيء, فقال : فاين درعك الحطمية : فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى
والحاكم وصححه (
Artinya:
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai
memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka
sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada
Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas menunjukkan bahwa
larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum
dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
Dalam
hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat
dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak
boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan
bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar
sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang
membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk
tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya.Demikian pendapat Imam Malik.[16]
5. Macam-macam Mahar
Apabila dalam akad nikah atau sesudahnya diadakan ketentuan tentang
wujud dan kadar mahar yang diberikan kepada istri, mahar tersebut dinamakan
mahar tertentu (mahar musamma). Apabila tidak ada ketentuan tentang
wujud dan kadar mahar dalam akad nikah atau sesudahnya, kewajiban suami adalah
memberikan “mahar sepadan” atau “mahar pantas” (mahar mitsil). Mahar
tertentu dapat dibayar tunai dalam akad nikah atau sesudahnya dan dapat pula
dibayar bertangguh, sesuai persetujuan dua belah pihak.
Mahar mitsil biasanya dibayar beberapa waktu kemudian
setelah akad nikah.Untuk menentukan kepantasan wujud dan akar mahar mitsil,
tidak ada ukuran yang pasti.Namun demikian, dapat disesuaikan dengan keadaan
dan kedudukan istri ditengah-tengah masyarakatnya.Dapat pula disesuaikan dengan
mahar yang pernah diterima oleh perempuan yang sederajat atau oleh
saudara-saudara atau sanak keluarganya.
Sebagaimana firman Allah Swt. di dalam QS.An-nisaa’ ayat 4:
(#qè?#uäuruä!$|¡ÏiY9$#£`ÍkÉJ»s%ß|¹\'s#øtÏU
Ayat ini menjelaskan tentang mewajibkan suami membayar mahar kepada
isterinya sebagai sesuatu pemberian wajib.Seseorang perempuan telah menjadi
istri seseorang laki-laki apabila akad nikah telah terlaksana.Dengan demikian,
hak istri atas mahar itu adalah sejak akad nikah selesai dilakukan.
Namun, hak istri atas mahar tersebut baru meliputi seluruh mahar
apabila telah tejadi salah satu dari dua hal sebagai berikut:
a.
Apabila
benar-benar telah terjadi persetubuhan. beralalasan pada QS. An-Nisaa’:20-21
yang mengajarkan, “apabila kamu akan mengganti istri dengan istri lain, padahal
kamu telah membarikan mahar kepada salah seorang istri-istri itu, betapapun
jumlahnya, janganlah kamu mengambil kembali seikitpun dari mahar itu; apakah
kamu akan mengambil kembali dengan jalan tuduhan dusta dengan menanggung dosa
yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal antara kamu suami
istri telah bergaul (bercampur); dan istri-istri itu telah mengambil janji yang
kuat dari kamu?”.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 237 yang berisi tentang mengerjakan, “
apabila kamu mentalak istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal
telah kamu tentukan mahar yang engkau bayarkan, hak mereka adalah separuh mahar
dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali apabila istri-istri kamu atau
walinya merelakan untuk tdak usah menerima mahar sama sekali; tetapi apabila
kamu merelakan (tidak usah menerima kembali separoh mahar) adalah suatu
perbuatan yang lebih dekat kepada takwa. Jangan engkau abaikan nilai-nilai
keutamaan di antara kamu.Sungguh Allah Maha Melihat segala apa yang kamu
kerjakan.”
Dari dua ayat tersebut dapat kita peroleh ketentuan bahwa hak istri
atas mahar adalah sejak setelah akad nikah terjadi.Namun, sebelum terjadi
percampuran suami istri, hak istri atas mahar hanya separohnya, dan setelah
terjadi percvampuran, istri berhak atas mahar penuh.
Dalam hal mahar tidak ditentukan dalam atau setelah terjadi akad
nikah.Apabila tiba-tiba terjadi perceraian sebelum bercampur, menurut ketentuan
QS. al-Baqarah : 236, istri berhak “mut’ah”, yaitu tanda pemberian sejumlah
harta yang pantas, bergantung kepada kekuatan suami; yang kaya memberikan
sepatutnya dan yang miskin sekuatnya.
b.
Apabila
terjadi kematian salah satu, suami atau istri sebelum terjadi bercampur. Dengan
demikian, apabila suami meninggal sebelum memenuhi wajib maharnya, pembayaran
mahar itu diambil dari harta peninggalannya, sebagai pelunasan hutang. Apabila
istri meninggal sebelum menerima hak atas mahar, harus dipenuhi oleh suami dan
merupakan sebagian dari harta peninggalannya.[17]
BAB III
ANALISIS
A.
Analisis
Dari ayat-ayat
tersebut ada empat kesimpulan yang dapat dicatat.Pertama, ada istilah
yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kewajiban membayar mahar, yakni: فريضة,اجر,صدق
. istilah pertama digunakan untuk menunjuk kasus perceraian yang terjadi
sebelum melakukan hubungan seksual dengan istri, sementara istilah kedua untuk
menunjukkan kalau akad nikah, dan istilah ketiga untuk menjelaskan status
mahar. Kedua, status mahar adalah nihlah.Ketiga, bahwa jumlah
mahar adalah sesuai dengan kepatutan, kebiasaan atau adat (al-ma’ruf).Keempat,
mahar hukumnya wajib.
Jadi, dapat dipahami
dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits diatas, tidak ada ketentuan batasan
maksimal sebagaimana dinegara Pakistan.Yang ada dalam Al-Qur’an, kata Al-Ma’ruf
.kata ma’ruf ini dapat diartikan menurut ukuran masyarakat dan tidak
memberatkan.[18]
Dalam hal ini, pemakalah
lebih sepakat kepada KHI Indonesia, yang ditegaskan dalam pasal 31 KHI, yang berbunyi:
“penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan
oleh agama Islam”. Landasan KHI ini didasarkan
pada Fiqh as-Sunnah Juz 2 halaman 138, dan didasarkan hadits Nabi
yang menjelaskan: “bahwa pernikahan yang paling diberkahi adalah pernikahan
yang paling mudah“.[19]
Melihat permasalahan yang ada di atas, kurang lebih dapat disimpulkan bahwa
UU batasan mahar di Pakistan pada dasarnya tidak sesuai dengan Fiqh munakahat, namun penulis tidak begitu saja
menyalahkannya,karena ada temuan yang
melatar belakangi lahirnya UU mahar di Pakistan, yaitu: adanya praktek yang
dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama Islam.[20]Dalam berita detiknews.com telah dikabarkan, adanya berita 4 wanita Pakistan bunuh diri karena orang tuanya
tidak bisa memberikan mahar.Hal ini terjadi mengingat bahwasannya tradisi di Pakistan yang wajib memberi mahar adalah seorang wanita, sehingga menjadi
permasalahan serius bagi keluarga miskin di Pakistan.[21]
Dari kasus ini,
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa adanya adat
istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran islam, sepertihalnya kasus yang terjadi di Pakistan
tersebut,maka di bentuklah UU mahar yang dapat dijadikan sebagai aturan untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Penetapan UU Mahar Pakistan ini, jika kita lihat dari konsep Ushul Fiqh
dalam membuat hukum, sesuai dengan teorimaslahah, lebih mengerucutnya
kepadamaslahah mursalah, karena dalam al-Qur’an dan hadits tidak ada
secara eksplisit yang menjelaskan batasan maksimal mahar.[22]Dan UU ini sejalan dengan konsep Maqashid
as-Syari’ah, untuk menjaga keturunan.Hifdzun nasl.[23]
Bab IV
Penutup
A.
Kesimpulan
Jumlah mahar
dalam al-Qur’an menggunakan istilah yang fleksibel, dalam artima’ruf, yang dapat
diartikan sepantasnya, sewajarnya, semampunya, atau sesuai dengan ketentuan
adat istiadat yang berlaku.Jaditidak ada batasan maksimal dalam memberikan mahar,
sebagaimana UU Pakistan.Dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia
yang membahas mengenai masalah mahar, lebih sesuai dengan fiqh munakahat.
B.
Penutup
Demilianlah
makalah yang dapat penulis paparkan mengenai UU mahar Pakistan ditinjau dari
Fiqh Munakahat yang di ulas secara singkat.Semoga uraian secara ringkas ini bisa menambah
sedikit wawasan keilmuan.Tak ada gading yang tak retak oleh karena itu kritik
dan saran yang konstruktif selalu penulis harapkan untuk kebaikan makalah
selanjutnya.
[1] Khoiruddin
Nasution, HUKUM PERKAWINAN 1, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004,
h.146-151.
[2] Tahir Mahmood,
PERSONAL LAW IN ISLAMIC COUNTRIES, New Delhi: Academy of Law and
Religion, 1987,149-151.
[4]KHI pasal 30.
[5]KHI pasal 31.
[6]KHI pasal 32.
[7]KHI pasal 33.
[8]KHI pasal 34.
[9]KHI pasal 35.
[10]KHI pasal 36.
[11]KHI pasal 37.
[12]KHI pasal 38.
[13] Soemiyati, HUKUM
PERKAWINAN ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN, Yogyakarta: LIBERTY, 2007,
h. 56.
[14] Abdul Rahman
Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2003, h. 84-87.
[15] Ibnu Rusyd, BIDAYATUL
MUJTAHID,terj,. : Buku Islam Rahmatan, h.13-14.
[16]Abdul Rahman
Ghozali. Op.cit. h. 88-89.
[17] Abdul Ghofur
Anshori, HUKUM PERKAWINAN ISLAM Perspektif Fikih dan Hukum Positif,
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011, 86-88.
[18] M. Quraish
Shihab, TAFSIR AL-MISHBAH Pesan,Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
Tangerang: Lantera Hati, 2005, h. 407, Vol. 2.
[19] DEPARTEMEN
AGAMA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN KELEMBAGAAN AGAM ISLAM, ALASAN SYAR’I
TENTANG PENERAPAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, 1998. h. 27.
[20]Khairuddin
Nasution. op. cit h. 148-149.
[21]“Ayah Tak Mampu
Bayar Mas Kawin, 4 Wanita Pakistan Bunuh Diri,” dalam www.Detiknews.com akses tanggal 28 Oktober 2013.
[22]Satria Effendi,
Ushul Fiqh, Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2005, h. 150.
[23]Mukhtar Yahya,
Fatchur Rahamn, DASAR-DASAR PEMBINAAN HUKUM FIQH ISLAM, Bandung: Al-Ma’arif,
1986, h. 334.