Posted by : Unknown Minggu, 07 Desember 2014




KELUARGA IDEAL

Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas dalam mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis Tentang Hukum Keluaga

Pengampu: Dr. Hamim Ilyas


Disusun Oleh:
Murdan (1320310002)



HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013



BAB I
PENDAHULUAN
Pada hakekatnya perkawinan merupakan suatu proses, prosedur, atau perbuatan mukallap untuk menghalalkan secara hukum pertemuan atau percampuran kelamin laki-laki dengan perempuan yang bertujuan untuk memenuhi hasrat birahi naluri kemanusiaannya antara pria dan wanita. dengan terjadinya hal demikian itu (perkawinan) diharapkan akan adanya regenerai gen (keturunan) atau akan terwujud momongan dari hasil perkawinan itu, untuk menjadi penerus manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, dan dari perkawinan itu diharapkan supaya terwujudnya keluarga yang aman, damai, kasih sayang, sejahtra dan terwujudnya cita-cita masyarakat yang ideal.
Dalam buku yang berjudul nikah siri mut’ah dan kontra yang ditulis oleh Prof. Dr. Yusuf ad-Duraiwisy. Pernikahan kemudian didefinisikan oleh al-Duraiwisy sebagai perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau perempuan) memperoleh kenikmatan dengan pasangannya, berupa berhubungan badan dan cara-cara lainnya dalam bentuk yang disyari’atkan dengan ikrar tertentu secara disengaja.[1]
Selanjutnya Prof. Dr. Khairuddin Nasution, MA. lebih spesifik menggunakan istilah Hukum Keluarga dalam membahas tentang perkawinan keluarga islam, karena umat islam sudah terikat dengan negara dan budaya lokal yang ditempati oleh penganutnya dan sudah bersifat lokalitas dan temporal. sehingga dalam buku yang ditulisnya berjudul Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia mendefinisikan Hukum Keluarga atau yang sering disebut Hukum Perorangan sebagai hukum yang berkaitan dengan dan mengatur tentang orang, sejak pernikahan sebagai awal proses lahirnya generasi sampai warisan (termasuk wasiyat) akibat orang tua meninggal dunia (wafat), sebab Hukum Keluarga juga mengatur masalah warisan Sehingga Hukum keluarga pasti berkenaan dengan setiap orang tanpa terkecuali.[2]
Kemudian dipertegas oleh yuridiksi perundang-undangan Republik Indonesia tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan. dalam Undang-Undang No 1 (satu) tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan didefinisi sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Seterusnya lebih ditegaskan tentang penguraian istilah perkawinan di dalam islam bagi masyarakat Indonesia yang beragama islam, hal ini telah dituangkan dalam Kompulasi Hukum Islam (KHI) yang berkaitan dengan istilah perkawinan. Dalam KHI perkawinan didefinisikan sebagai perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miistaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[4]
Makalah yang ada di hadapan pembaca ini akan menjelaskan tentang keluarga yang ideal, dan penyusun berusaha dengan semaksimal mungkin untuk menguraikan dengan singkat tentang masalah keluarga ideal dalam tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah yang akan dianalisis dengan cara tematik holistik. Semua hasil analisis tersebut  berdasarkan sedikit dan keterbatasan pengetahuan penyusun tentang ilmu al-Qur’an, al-sunnah dan analisis tematik yang digunakan. oleh karenanya makalah ini tentu sangat banya kelemahan keilmiahannya dan oleh sebab itu mohon pembaca memakluminya, karena makalah ini merupakan proses studi penyusun yang diajukan untuk memenuhi tugas dalam studi al-Qur’an dan al-Hadis tentang Hukum Keluarga di Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam konsentrasi Hukum Keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Keluarga Ideal
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka kearah pendewasaan.[5] Dalam kamus Hukum yang ditulis oleh M. Marwan dan Jimmy keluarga dikemukakan sebagai semua orang yang memiliki hubungan darah hingga tingkatan tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana, atau keluarga sedarah merupakan garis kekeluargaan menurut hubungan darah secara garis lurus ke atas dan ke bawah, suatu pertalian keluarga antara mereka yang satu dengan dengan yang lainnya adalah keturunan yang lain atau yang semua mempunyai nenek moyang yang sama.[6]
Selanjutnya perlu disampaikan bahwa dalam tulisan ini yang difokuskan dalam istilah keluarga oleh penulis adalah hanya terbatas pada apa yang disebut dalam renah atau konteks keluarga kecil bukan keluarga dalam arti luas. Yang dimaksud dengan keluarga kecil dalam tulisan ini adalah keluarga yang terdiri hanya dari bapak, ibu, anak dalam satu ikatan darah. Keluarga sebagai organisasi, mempunyai perbedaan dari organisasi-organisasi lainnya, yang terjadi hanya sebagai suatu proses. Salah satu perbedaan yang cukup penting terlihat dari bentuk hubungan anggota-anggotanya yang lebih bersifat gemeinschaft dan merupakan ciri-ciri kelompok primer, yang antara lain : mempunyai hubungan yang lebih intim, kooperatif, face to face, masing-masing anggota memperlakukan anggota lainnya sebagai tujuan bukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Ciri-ciri lain juga dikemukakan oleh paul H. Landis, adalah : intimate, face to face warm hearted relationship.[7]
Belakangan ini beberapa orang telah berusaha mewujudkan atau mempraktikkan apa yang dicita-citakan dengan keluarga ideal. Sehingga, banyaknya wajah dan cara suatu keluarga dalam merancang dan menempuh keluarga yang ideal itu berdasarkan keahlian dan pengalaman subyektifitas dari masing-masing keluarga ketika mendayungi perahu kehidupan. Dalam realitas sosial keluarga yang ideal sudah terimplementasikan dalam berbagai corak dan telah terinterpretasi baik dalam masyarakat agraris, agamis, maupun masyarakat industrial, semua ini sudah menjadi suatu aktifitas subyektifitas suatu keluarga. Jadi, sangat menarik apa yang ditulis oleh prof. Kahiruddin Nasution tentang pembangunan bangsa seharusnya berangkat dari pembangunan terhadap keluarga. Prof. Khairuddin selanjutnya mengatakan dalam tulisannya menyampaikan bahwa: membangun negara yang baik dimulai dari bangunan keluarga yang baik. manakala keluarga sudah baik, pada gilirannya negara atau bangsa juga otomatis akan menjadi baik.[8]
Kiranya dalam makalah ini juga perlu diuraikan tentang maksud dari kata ideal. Ideal dalam Kamus Hukum yang ditulis oleh M. Marwan dan Jimmy, dari segi bahasa dia artikan sebagai “cocok atau sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki”.[9] Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer yang ditulis oleh Windy Novia kata ideal diartikan sebagai “pikiran yang diwarnai emosi dari suatu kepribadian (watak, garis, kelakuan) sebagai penggambaran atas suatu tujuan, menurut ide atau cita-cita (keinginan), angan-angan, cocok dengan ide, sesuai dengan cita-cita, sempurna dan cita-cita.[10] Dalam definisi di atas penulis kira penjelasan yang berkaitan dengan kata ideal sudah cukup jelas, sehingga pada makalah ini tidak dijelaskan lebih panjang lebar tentang kata tersebut (ideal).
B.     Mengenal Metode Penafsiran Maudhu’i (Tematik)
Tafsir maudhu’i (Tematik) diberi pengertian istilahi oleh para ulama dengan penjelasan yakni: menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujian dan tema yang sama. Setelah itu kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan  sebeb-sebab turunnya, langkah selanjutnya adalah emnguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat diselami.[11]
Tafsir Maudhu’i oleh Dr. Abdul Hayy al-Farwami dibedakan menjadi dua macam tafsir. Pertama; penafsiran yang mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagain lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Kedua; penafsiran yang menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan di bawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.[12]
Metode penafsiran maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur yang jelas sesungguhnya belum lama lahir. Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Dr. Ahmad as-Sa’id al-Kumi, ketua jurusan tafsir di Universitas al-Azhar. Lalu diikuti oleh teman-teman dan mahasiswa. Namun, sebelum itu metode yang mirip dengan maudhu’i (tematik) sudah ada sejak dahulu, tatapi belum merupakan satu metode yang memiliki prosedur jelas yang berdiri sendiri. Ada beberapa rumusan tentang prosedur metode maudhu’i tematik adalah sebagai berikut: menetapkan masalah yang akan dibahas; menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; menyususn runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai pengetahuan tentang asbab an-nuzulnya; memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing; menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line); melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok-pokok bahsan; mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum) dan yang khas (khusus, mutlak dan muqayyad (terikat)), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[13]
Dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Khairuddin Nasution, MA. Berjudul Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia pada bab kombinasi tematik dan hosistik memberikan perhatian yang khusus tentang metode maudhu’i ini, yang ditulis dibukunya adalah salah seorang tokoh abad 20 yang bernama Amin al-Khuli (1895-1966), ia adalah ilmuan mesir yang menekankan pentingnya pendekatan tematik dalam memahami isi al-Qur’an. Kemudian al-Khuli mensyaratkan dua ahl agar seseorang dapat memahami al-Qur’an secara komprehensif, yaitu: perama, memahami al-Qur’annya sendiri. Kedua, memahami di sekitar al-Qur’an atau latar belakang atau konteks. Apa yang dikatakan kuli di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Fazlur Rahman yang melatar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul) dibedakan menjadi dua, yakni: pertama, mikro adalah latar belang langsung turunnya ayat. Kedua, makro adalah sejarah kehidupan masyarakat Arab semasa pewahyuan.[14]
Kemudian Prof. Khairuddin memberikan langkah-langkah dalam aplikasi dari tafsir tematik berdasar topik atau subyek adalah sebagai berikut: Pertama, mengumpulkan semua ayat-ayat yang membahas topik atau subyek yang sama. Kedua, menggabungkan dan menghubungkan semua ayat-ayat tersebut menjadi satu pembahasan yang utuh dan menyatu. Ketika membuat hubungan antar semua ayat, ayat-ayat rersebut diurutkan secara kronologis berdasar urutan turunnya ayat. Ketiga, mendiskusikan subyek yang ada secara keseluruhan dengan mempertimbangkan konteksnya masing-masing (asbab al-nuzul), termasuk di dalamnya sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang berhubungan dengan subyek yang dibahas.[15]
C.     Mengenal Model Penafsir Holistik (kuIlli)
Adapun tafsir yang dimaksud dengan penafsiran Holistik adalah serupa dengan penafsiran hermeneutik Fazlur Rahman (1919-1988 M). Ada juga yang menyebutkan sebagai penafsiran kontekstual, Rahman sendiri tidak tidak menyebut metodenya dengan tafsir holistik, tidak juga kontekstual, tetapi disebut sebagai metode atau teori hermeneutik (hermeneutical theory). Maka penyebutan  tafsir holistik dan tafsir kontekstual lebih melihat pada penggunaan teori tersebut. Namun, baik tematik maupun holistik sama-sama menekankan pada pemahaman al-Qur’an dengan metode silang (cross referential), atau induktif. Penafsiran semacam ini sebenarnya sudah dikenal sejak masa sahabat (al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan). Al-Shatibi (w.1388 M) memiliki konsep holistik dengan kalam yang menyatu, yang oleh Ibn Taimiyah (w.1328 M) dan al-Zarkashi memandang tafsir ini sebagai tafsir terbaik. Tujuan dari penggunaan metode holistik dengan demikian adalah untuk menemukan nilai dasar, prinsip dan etika (spirit) dari nilai partikular-partikular ayat yang dipahami secara sepotong-potong (juz’i).[16]
Sebenarnya hemeneutik sudah lama dikenal di dunia para filsuf, misalnya pada era klasik atau Yunani kuno seorang filsuf ternama Aristoteles (384-322 SM) sudah memprekenalkan hal ini dalam bukunya Peri Hermenias atau De Interpretatione, dan ini mulanya berhubungan dengan masalah bahasa. Menurut Aristoteles tidak ada satupun di antara manusia mempunyai bahasa yang sama antara satu dengan yang lain. Pada perkembangan selanjutnya hermeneutika dipergunakan sebagai seni untuk menafsirkan naskah-naskah sejarah kuno dan kitab suci. Kemudian abad ke 4 dan 5 M sejarah interpretasi wahyu mengalami perkembangan melalui pemikiran teologis terhadap Yudeo Kristiani. Di tradisi agama Yahudi tafsir atas teks Taurat dilakukan oleh para ahli Kitab untuk mempelajari hukum-hukum agama. Pada tradisi kristiani juga menerapkan hemeneutika pada teks-teks dari perjanjian lama. Kemudian pada abad ke 7-17 M tradisi tafsir terus berlanjut, terutama dalam menafsirkan teks al-Qur’an oleh orang Islam di bawah tuntunan Nabi Muhammad s.a.w. pada masa ini terciptalah bermacam-macam metodelogi dan seni penafsiran dan pada abad 17 dan 18 hermeneutika sudah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.[17]
Selanjutnya Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. menjelaskan lebih lanjut dalam bukunya; Pada mitos Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos yang lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerap kali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagai mana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Secara teologis peran hermes tersebut dapat dinisbatkan sebagai mana peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotisis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam al-Qur’an, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli di bidang pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan di lingkungan agama Yahudi, Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi Mesir mesir dikenal dengan Nabi Musa a.s.[18]
Secara etimologi, kata hermeneutik atau hermeneutika berasal dari bahasa Inggris hermeneutic dan hermeneutics juga berasal dari turunan kata hermeneia bahasa Yunani, secara harpiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Dalam kosa-kata kerja, ditemukan istilah hermeneuo dan hermeneuein. Hermeneuo artinya mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata, dah hermeneuein bermakna mengartikan, menafsirkan atau menerjemahkan dan juga bertindak sebagai penafsir. Pada pengertian-pengertian di atas sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih terang.[19]
Rahman kemudian mebagi ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok, yakni: pertama, ayat-ayat yang memiliki prinsip umum; kedua, ayat-ayat yang mengandung ajaran khusus (kasuistik). Disisi lain rahman juga memberikan perhatian yang penting terhadap bahasa (sastra), misalnya dia sebutkan bahwa dalam tafsir perlu diletakkan tiga unsur, yaitu: konteks ayat, komposisi dan grametika dari ayat dan menjadikan semua teks ayat al-Qur’an menjadi satu kesatuan yang menyatu dan tidak terpisahkan. Namun, Muhammad Ayoub berkomentar dengan mengatakan bahwa al-Qur’an memiliki dua dimensi, yakni: pertama, dimensi batin yang bersifat langsung tanpa batas waktu dan tempat, dan kedua, dimensi kemanusiaan sebagai sumber moral, yang disebut dengan zahir (eaotic atau aoter dimension).[20]
D.    Wajah Keluarga Ideal
1.      Keluarga Ideal Perspektif Surah ar-Rum ayat 21
ومن ا ياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذالك لايات لقوم يتفكرون.[21]
Al-Qurthubi memberikan penjelasan kepada ayat “kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak”, maksudnya adalah, kemudian kalaian menjadi orang yang berakal, dapat berbicara dan dapat berbuat pada apa yang dapat menopang hidup kalian. Artinya, dia tidak menciptakan kalian dengan main-main, barang siapa yang ditakdirkan seperti ini maka dia pantas untuk ibadah dan tasbih. Maksud dari ayat “Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri”, Allah telah menciptakan kepada kalian perempuan-perempuan yang kalian merasa tentram kepadanya. Maksud dari jenismu sendiri adalah dari air mani kaum laki-laki dan dari jenis kalian, ada yang mengatakan maksudnya adalah Hawa yang Allah ciptakan dari tulang rusuk Adam. Demikian pendapat dari Qatadah.[22]
Maksud dari “dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”, ibnu Abbas berkata, almawaddah adalah hubungan intim dan ar-rahmah adalah anak, atau cintah seorang laki-laki kepada istrinya, dan ar-rahmah kasih sayangnya kepada istrinya bila dia terkena sesuatu yang buruk. Ada  juga yang mengatakan bahwa al-mawaddah  dan ar-rahmah adalah kasih sayang hati mereka satu sama lain. As-Suddi berkata mawaddah adalahcinta dan ar-rahmah  rasa sayang. Pendapat lainjuga mengatakan laki-laki asalnya adalah dari tanah dan pada dirinya terdapat kekuatan tanah, pada dirinya juga terdapat alat kelamin yang darinya diawali penciptaannya. Oleh karena itu, dia membutuhkan tempat. Ladu, diciptakan perempuan sebagai tempat laki-laki.[23]
Dalam tafsir ath-Thabari, firman Allah Surat ar-Rūm ayat 21 ditakwil sebagai berikut: di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya dan bukti kebesaran-Nya yaitu Dia ciptakan pasangan untuk bapak kamu (Adam) dari dirinya, agar Adam merasa tentram kepadanya, yaitu dengan menciptikan Hawa dari salah satu tulang rusuk Adam. Dalam riwayat Bisyr; Bisyr menceritakan mencertikan kepada kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang ayat “di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri” ia berkata, “Allah menciptakan pasanganmu dari salah satu tulang rusukmu”. Pada firman-Nya “dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”. Maksudnya adalah dengan menjalin hubungan kekeluargaan dengan perkawinan di antara kamu, dijadikannya kasih sayang di antara kamu. Dengan itulah kamu menjalin hubungan. Dengan itu pula dia jadikan rahmat di antara kamu, sehingga kamu saling menyukai. Sedangkan dalam firman-Nya “sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Maksudnya adalah sesungguhnya dalam tindakan Allah itu terdapat pelajaran dan nasihat bagi kaum yang mau memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah dan bukti-bukti kebenaran-Nya. Dengan itulah mereka mengetahui bahwa Allah pasti melaksanakan kehendak-Nya dan tidak ada yang dapat menghalangi kehendak-Nya.[24]
Kemudian dalam tafsir imam Syafi’i di kitab al-Umm Bab Tafri’ al-Qasm wa al-Adl Bainahum surat ar-Rūm ayat 21 di atas dijelaskan bahwa; jika seorang lelaki memiliki istri-istri muslimah yang merdeka (bukan budak) atau istri-istri dari kalangan ahli kitab yang merdeka, atau memiliki istri-istri muslimah dan Ahli Kitab, semua istri ini memiliki hak pembagian giliran yang sama. Sang suami juga harus menginap satu malam-satu malam di rumah masing-masing istrinya itu. Jika di antara istri tersebut ada yang dari kalangan budak, maka istri yang merdeka behak mendapat waktu dua malam sedangkan untuk istri yang budak hanya berhak mendapat waktu satu malam. Suami tidak boleh bermalam dengan salah seorang istrinya yang belum mendapatkan hak pembagian giliran darinya karena malam adalah dasar pembagian giliran itu. Sedangkan di siang hari, dia boleh mengunjungi istri yang belum mendapatkan hak pembagian giliran itu untuk satu keperluan saja, bukan untuk menidurinya.[25]
Kemudian Dr. H. Ali Akbar melakukan pendekatan secara biologis dalam suarat ar-Rum ayat 21 di atas. Dari segi beiologis seksual ada beberapa kesimpulan yang ia dapatkan: Pertama, laki-laki mempunyai nafsu shahwat terhadap wanita, dan syahwat ini akan bangun bila melihat wanita yang disenanginya. Wanita adalah perangsang syahwat laki-laki. Kedua,laki-laki itu bila bangun syahwatnya, hanya dibolehkan memuaskan nafsu syahwatnya pada istrinya semata. pemuasan nafsu syahwat yang dilakukan dengan disertai pengetahuan yang sempurna tentang cara-caranya yang baik, akan memberikan kepada dia beserta istrinya suatu kesenangan dan ketenangan. Ketiga, pemuasan nafsu syahwat yang dikehendaki oleh suami istri dan dikerjakan dengan kesediaan serta kerja sama yang baik antara seami dan istri, akan memberikan puncak kesenangan serta membawa ketenangan jiwa raga.[26]
Kemudian Prof. Dr. Abdul Rahman Ghazali, MA. Mengkaji surah ar-Rum di atas dengan kesimpulan bahwa; membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtra berdasarkan cinta dan kasih sayang. dalam hidup manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup, Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan, kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarga. Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga, keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban.[27]
2.      Keluarga Ideal Perspektif Surah al-Baqarah ayat 187           
أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلي نسائكم, هن لباس لكم وأنتم لباس لهن.[28]
Asbab an-Nuzul ayat ini adalah sebagai berikut: Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari jalur Abdurrahman bin Abu Laila dari Muaz bin Jabal, katanya, "Mereka biasa makan minum dan mencampuri wanita-wanita selama mereka masih belum tidur. Tetapi kalau sudah tidur, mereka tak hendak bercampur lagi. Kemudian ada seorang laki-laki Ansar, Qais bin Sharmah namanya. Setelah melakukan salat Isyak ia tidur dan tidak makan minum sampai pagi dan ia bangun pagi dalam keadaan letih. Dalam pada itu Umar telah mencampuri istrinya setelah ia bangun tidur, ia datang kepada Nabi saw. lalu menceritakan peristiwa dirinya. Maka Allah pun menurunkan, 'Dihalalkan bagi kamu mencampuri istri-istrimu, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam. (Q.S. Al-Baqarah 187).[29] Bukhari dari Barra, katanya, "Biasanya para sahabat Nabi saw. jika salah seorang di antara mereka berpuasa, lalu datang waktu berbuka, kemudian ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan semalaman dan seharian itu sampai petang lagi. Kebetulan Qais bin Sharmah berpuasa. Tatkala datang saat berbuka, dicampurinya istrinya, lalu tanyanya, 'Apakah kamu punya makanan?' Jawabnya, 'Tidak, tetapi saya akan pergi dan mencarikan makanan untukmu.' Seharian Qais bekerja, hingga ia tertidur lelap dan ketika istrinya datang dan melihatnya, ia mengatakan, 'Kasihan kamu!' Waktu tengah hari, karena terlalu lelah, ia tak sadarkan diri, lalu disampaikannya peristiwa itu kepada Nabi saw. maka turunlah ayat ini yang berbunyi, 'Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istrimu.' (Q.S. Al-Baqarah 187).[30]
Abu Ja’far menguraikan ayat di atas tentang “mereka itu adalah pakaian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka”. Maknaya, istri-istri kalian adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Sehingga timbul pertanyaan, bagaimana para istri jadi pakaian bagi suami dan suami menjadi pakaian bagi istri. Hal demikian dapat dijawab dengan dua pernyataan,. Pertama, masing-masing dari keduanya menjadikan yang lain sebagai pakaiannya, karena mereka telanjang ketika tidur dan tubuh mereka menyatu dalam satu pakaian. Kedua, dijadikannya satu sama lain pakaian adalah karena ia menjadi tempat  ketenangan baginya. Sebagai mana firman Allah dalam surat al-Furqan yang artinya “Dilah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian”. Demikian juga istri, ia menjadi tempat ketenangan bagi sang suami, sebagai mana firman Allah dalam surat al-A’rāf yang artinya “dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar ia merasa tenang kepadanya”. Demikianlah, masing-masing suami dan istri menjadi tempat ketenangan bagi yang lain. Inilah pendapat mujtahid dan lainnya atau bisa juga dikatakan, bahwa maknanya adalah masing-masing dari keduanya menjadi tirai yang menutupi mereka dari penglihatan orang lain ketika melakukan hubungan intim, karena kata “libās” berarti suatu yang menutupi.[31]
Kemudian Prof. Khairuddin memberi penjelasan terhadap ayat di atas tersebut bahwa suami dan istri adalah pasangan yang mempunyai hubungan bermitra, patner dan sejajar (equal). Seperti yang ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 187 dan 228 di atas ditegaskan “mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian (bagi mereka).”, “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang ma’ruf”. Juga dipertegas lagi dalam surat an-Nisa’ ayat 32 tentang kemitraan dan kesejajaran antara suami dan istri “dan janganlah kamu iri hati terhada apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. Implikasi dari pasangan yang bermitra dan sejajar ini muncul sikap saling mengerti, saling menerima, saling mempercayai, saling mencintai. Karena itu, prinsip bermitra dan mempunyai posisi sejajar antara suami dan istri sebagai pasangan dalam kehidupan keluarga (rumah tangga).[32]
3.      Keluaga Ideal Perspektif perundang-undangan Indonesia
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 19 ayat (2) yang memuat ketentuan Negara bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan di atas, maka pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan  tertentu berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukkan bagiwarga negara yang beragama Islam. Mengenai berlakunya hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, apabila ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka sejak 1 Oktober 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam undang-undang perkawinan Pasal 66. Yakni, dengan berlakunya Undan-Undang ini, maka Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Werboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 November. 74), Peraturan Ordonansi Campuran, Gereling op Desember Gemegde Huwelijk Stb. 1898 Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tnetang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.[33]
Undang-Undang Perkawinan mengatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal yang dilandasi dengan berketuhanan kepada Tuhan yang maha Esa. Perkawinan yang sah berdasarkan yuridiksi dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 tentang perkawinan adalah perkawinan yang dilangsungkan dengan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing dari yang melaksananakan perkawinan itu, dan perkawinan itu bisa dikatakan memiliki kekuatan hukum atau dilegalkan demi hukum oleh peraturan-peraturan pemerintahan (dalam hal ini undang-undang perkawinan yang berlaku) jikalau perkawinan tersebut dicatatkan di petugas administrasi negara yang telah diberi kewenangan penuh oleh negara tentang hal demikian itu.[34]
Undang-Undang juga memfondasikan bahwa undang-undang perkawinan menganut madzhab monogami. dalam arti bahwa, undang-unadang perkawinan no 1 tahun 1974 mensyari’atkan kepada umatnya (masyarakat Indonesia) pria dan wanita harus memiliki seorang istri bagi pria dan seorang suami bagi wanita. Undang-Undang juga mengatur tentang waktu usia atau umar dibolehkannya perkawinan terhadap penganutnya yang pria dan wanita, bagi pria perkawinan dibolehkan atau diizinkan jikalau dia sudah mencukupi atau berusia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Perkawinan itu juga harus berdasarkan persetujuan dari kedua belah mempelai antara calon memperlai pria dan calan mempelai wanita.[35]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberi gambaran tentang keluarga yang ideal adalah bahwa perkawinan dalam hukum islam adalah pernikahan, kemudian yang dimaksudkan dengan pernikahan dalam KHI adalah ikatan yang sangat kuat atau mītsāqan ghalīzhan untuk semata-mata untuk mentaati perintah Allah s.w.t. dan jika melakukannya merupakan sutu bentuk  pribadatan kepada Allah s.w.t. wujud dari perkawinan itu semata-mata bertujuan untuk membentuk atau mewujudkan keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Ditegaskan lagi dengan sejelas-jelasnya adalah, bahwa sesunggunya perkainan itu dikatakan sah apabila dilakukan dengan hukum Islam yang selaras atau sealur dengan alur pasal (2) ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam perkawinan yang diatur didalam perundang-undangan Indonesia bahwa perkainan itu baru bisa dibuktikan dengan ketentuan, hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[36]



BAB III
PENUTUP

Ketika beberapa orang ingin mengkonsepkan tentang kuluarga ideal, seyogyanya seseorang menentukan terlebih dahulu latar belakang sosial yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat dan kelompok dimana ia berpijak dan menetap, berdomisili atau bertempat tinggal baik secara sosiologis maupun antropologis. Karena, masing-masing orang ada yang dilatar belakangi oleh profesi dan lokalitas yang bersifat temporal. Tentu sangat berbeda masyarakat perkotaan yang terbiasa dengan kehidupan modernis dan isu-isu kontemporer versus masyarakat pedesaan yang kehidupannya berputas pada isu-isu primitif, masyarakat hukum versus masyarakat sosial humaniora, masyarakat agraris versus masyarakat industrial lebih-lebih yang sangat paling mencolok adalah ketika manusia sebagai pemimpin masyarakat versus masyakat yang berposisi sebagai yang dipimpin, atau masyarakat borjuis, marxis versus masyarakat proletal dan sebagainya.
 Mungkin jangan terlalu jauh-jauh mengkaji tentang perbedaan-perbedaan itu, didalam lingkaran pendidikan sekalupun perbedaan yang sering melingkari terlihat antara yang mengkaji suatu disiplin ilmu dengan gaya-gaya bermacam-macam. Misalnya; pengkajian dengan cara texs versus kontexs, atau Normatif versus Historis, atau Scientific Cum Doctrinaire versus Doctrinaire Cum Scientific, atau Normatifitas versus Historitas, atau mungkin ada yang mengatakan atau membahasakannya sebagai Normatif universal dan Normatif Temporal, atau mungkin Normatif Antropologis dan Normatif Trandentalis, dan bahasa-bahasa sebagainya. Sehingga, mengkonsepsikan sesuatu perlu kiranya untuk menggunakan multi disiplener atau inter disipliner atau memungkinkan dalam penggunaan berbagai pendekatan-pendekan yang lain untuk menghasilkan suatu konsep yang baik atau maksimal tentang suatu perkara itu.

 

DAFTAR PUSTAKA

al-Farwami, Abdul Hayy., Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, penerjemah Rosihon anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2002).
Ghazali, Abdul Rahman., Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010).
ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir., Jami’ al-Bayan an Ta’wil ayi al-Qur’an, penerjemah Ahmad Abdurrazaq al-Bakri dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
al-Farran, Ahamad Musthafa., Tafsir al-Imam al-Syafi’i, penerjemah Imam Ghazali Masykur, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2008).
Al-Qurthubi., Tafsir al-Qurthubi, penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid dkk, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009).
Akbar, Ali., Merawat Cinta Kasih., (Jakarta: Pustaka Antara, 1991).
Anshori, Abdul Ghafur., Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press,2011).
Mahali, A. Mujab., Asbabun-Nuzu.l, (Jakarta: Raja Wali Press).
Dahlan dan Shaleh, Qamaruddin., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1995).
Khairuddin., sosiologi keluarga (Yogyakarta: Nurcahay, _).
Nasution, Khairuddin., Perkawinan I, (Yogyakarta: Tazzafa, 2005).
., Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009).
., Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009).
., Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: TAZZAFA, 2007).
Marwan, M dan Jimmy., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti Publisher, 2009).
Novia, Windy., Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Wacana Intlektual, 2009).
Sidharta Arief., Hermeneutika Hukum teori penemuan hukum baru dengan interpretasi teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005).
ad-Duraiwisy, Yusuf., Nikah Sirri Mut’ah dan Kontrak dalam timbangan al-Qur’an dan al-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq, 2010).
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam, Buku I



[1] Yusuf ad-Duraiwisy., Nikah Sirri Mut’ah dan Kontrak dalam timbangan al-Qur’an dan al-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 18.

[2] Khairuddin Nasution., Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: TAZZAFA, 2007), hlm. 62
[3] Undang-Undang Republik Indonesia (UURI)., Nomor 1 (satu) tahun 1974 tentang perkawinan, BAB I pasal 1 (satu).
[4] Kompilasi Hukum Islam (KHI)., BAB II, pasal 2 (dua).
[5] Khairuddin, sosiologi keluarga (Yogyakarta: Nurcahay,_), hlm 10
[6] M. Marwan dan Jimmy., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti Publisher, 2009), hlm. 346
[7] Khairuddin, sosiologi keluarga (Yogyakarta: Nurcahay, _), 10 dan 11
[8] Khairuddin Nasution., Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: TAZZAFA, 2007), hlm. 60
[9] M. Marwan dan Jimmy., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti Publisher, 2009), hlm. 277
[10] Windy Novia., Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Wacana Intlektual, 2009), hlm. 187
[11] Abdul Hayy al-Farwami, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, penerjemah Rosihon anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 43-44
[12] Ibid., hlm 42 dan 43
[13] Ibid., hlm. 51 dan 52
[14] Baca Khairuddin Nasution, ed. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009), hlm. 181 dan 182.
[15] Khairuddin Nasution., Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009), hlm. 190
[16] Baca Khairuddin Nasution, ed. Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009), hlm. 150-154
[17] Baca Arief Sidharta, ed. Hermeneutika Hukum teori penemuan hukum baru dengan interpretasi teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 1-25.
[18] Arief Sidharta, Hermeneutika Hukum teori penemuan hukum baru dengan interpretasi teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 21
[19] Ibid., hlm. 19 dan 21.
[20] Baca Khairuddin Nasution, ed. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009), hlm. 206-208
[21] Ar-Rūm (30): 21                                                                                              
[22] Al-Qurthubi., Tafsir al-Qurthubi, penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid dkk, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009), hlm. 39.
[23] Ibid., hlm. 39 dan 40
[24] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari., Jami’ al-Bayan an Ta’wil ayi al-Qur’an, penerjemah Ahmad Abdurrazaq al-Bakri dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 625-627
[25] Ahamad Musthafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, penerjemah Imam Ghazali Masykur, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2008), hlm. 255
[26] Ali Akbar., Merawat Cinta Kasih, (Jakarta: Pustaka Antara, 1991), hlm. 74 dan 75
[27] Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 31
[28] Al-Baqārah (2): 187
[29] Baca Dahlan dan Qamaruddin Shaleh., ed.  Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1995), hlm.56-57
[30] Ibid., hlm. 57. Dan Baca Juga A. Mujab Mahali., ed. Asbabun-Nuzul, (Jakarta: Raja Wali Press), hlm. 65.
[31] Baca Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari., ed. Jami’ al-Bayan an Ta’wil ayi al-Qur’an, penerjemah Ahmad Abdurrazaq al-Bakri dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 149-151
[32] Baca Khairuddin Nasution, Perkawinan I, (Yogyakarta: Tazzafa, 2005), hlm. 63-65
[33] Abdul Ghafur Anshori., Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press,2011), hlm. 167-168.
[34] Baca Undang-Undang Perkawinan Indonesia., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tenatang Perkawinan,Bab I pasal 1-5.
[35] Ibid., Bab II, pasal 6-8.
[36] Baca Kompilasi Hukum Islam (KHI)., Buku (1) Satu tentang Hukum Perkawinan, Bab II, Pasal 2-7.

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Merkur 37C Safety Razor Review – Merkur 37C
    The Merkur 37c is an https://deccasino.com/review/merit-casino/ excellent short handled DE safety razor. ventureberg.com/ It is more suitable for both https://febcasino.com/review/merit-casino/ heavy and non-slip hands and is therefore www.jtmhub.com a poormansguidetocasinogambling.com great option for experienced

    BalasHapus

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -