Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Arsip Blog
-
▼
2014
(22)
-
▼
Desember
(14)
- NATAL TANDINGAN
- Pengertian, Hakekat dan Ruang Lingkup Hukum Kelua...
- TUJUAN PERNIKAHAN
- USIA PERKAWINAN DI MESIR DAN INDONESIA
- SUMBER HUKUM KELUARGA
- LARANGAN KAWIN
- HUKUM KELUARGA ISLAM: TUJUAN DAN APLIKASINYA
- TRANSFORMASI HUKUM KELUARGA MUSLIM: TANGGUNGJAWAB...
- POLIGAMI
- KELUARGA IDEAL
- AHMAD SAINUL: MAHAR PAKISTAN
- KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA DAN KEKERASAN DALAM R...
- PERSIAPAN PERKAWINAN
- KONFLIK ELITE POLITIK KIH DAN KMP
-
▼
Desember
(14)
NATAL TANDINGAN
NATAL TANDINGAN
Hari ini Sabtu tanggal 20,
Desember, 2014. Itu artinya dalam beberapa hari kemudian aka nada perayaan
besar Natal. Yakni hari raya umat Kristiani dalam menyambut kelahiran anak
tuhan (Yesus). Perayaan Natal ini sebenarnya sudah lama beribu-ribu tahun lalu.
Namun di kalangan umat Islam sendiri khususnya Indonesia dalam menyambut
perayaan Natal ini, selalu terjadi pro-kontra yang tidak berkesudahan. Terutama
dalam hal mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Solusi yang
ditawarkan dalam tulisan ini dengan membuat “Natal Tandingan”. Jadi, penggunaan
kata “tandingan” tidak hanya ada dalam dunia perpolitikan Indonesia. Misalnya
yang sudah menjadi pengetahuan umum, DPR Tandingan antara KMP dengan KIH, PPP tandingan
antara kubu Suryadarma Ali melawan Romahumurhuzy, dan baru-baru ini Golkar
Tandingan antara kubu Ical melawan Agung Laksono.
Golongan pertama yang mengatakan
mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani diharamkan dengan banyak alasan
antara lain: dengan mengaitkan perintah bagimu agamamu bagiku agamaku (surat
al-kafirun). Selain itu perintah melalui hadis Nabi Muhammad mengatakan “siapa
yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk di dalamnya” (mantasyabbaha biqoumin
pahua minhu). Kelemahan alasan ini, mereka tanpa melihat asbabunnuzul ayat dan
asbabulwurud hadis. Asbabunnuzul surat al-kafirun misalnya, hal itu terjadi
karena pertentangan antara kaum Quraisy yang tidak suka dakwah nabi Muhammad,
lalu mereka membuat perjanjian yang menguntungkan mereka (Quraisy). Merasa dirugikan,
Nabi Muhammad mengatakan bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Selain alasan
dalil, golongan yang tidak membolehkan mengucapkan selamat Natal ini, karena
khawatir akidah umat Islam luntur dengan sendirinya mengakui Natal hari
kelahiran anak tuhan.
Sedangkan golongan yang
membolehkan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani, beralasan karena
toleransi agama. Mengingat Indonesia tidak hanya satu agama di dalamnya,
melainkan ada enam agama yang diakui termasuk agama Kristen. Ditambah dengan
intraksi antara Islam dengan non-Muslim tidak dapat dielakkan.
Posisi penulis sendiri dalam hal mengucapkan
selamat natal ini, tidak berpihak di antara keduanya. Namun lebih menganjurkan
seharusnya umat Islam tidak hanya disuruh untuk mengucapkan selamat Natal,
tetapi juga ikut merayakannya. Argument ini tentunya dimulai dari pengertian
Natal itu sendiri, bahwa kata Natal berasal dari bahasa Portugis artinya hari
kelahiran. Dalam al-qur’an Natal ini diakui dengan bunyi ayat “assalamu alaika
yauma wulidtu”, artinya keselamatan atas hari kelahiranku (Q.S. Maryam:33). Kata
tunjuk ayat ini adalah bercerita tentang kelahiran Nabi Isya. Hal ini sama
dengan kata Maulid atau Milad, artinya kelahiran. Penggunaan kata Milad ini
khusus kepada hari kelahiran Nabi Muhammad, yang sering dirayakan oleh umat
Muslim setiap tahunnya. Jika merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dibolehkan
karena untuk membangkitkan gairah ke-Islaman, sama halnya dengan merayakan
kelahiran Nabi Isya (Natal). Intinya, sah-sah saja umat Islam mengucapkan dan
merayakan Natal selama tujuannya untuk menyambut kelahiran Nabi Isya sebagai
Rasul bukan sebagai anak tuhan seperti yang diyakini umat Kristiani.
Membuat perayaan “Natal Tandingan”,
itu artinya umat Islam berusaha kembali merebut dan memutar sejarah yang
sebenarnya bahwa Natal adalah hari kelahiran Nabi Isya, bukan kelahiran anak
tuhan, yang selama ini dimanipulasi oleh umat Kristiani. Sudah terlalu lama umat Islam
terdiam, tertidur sambil bermimpi, dan terlena tanpa melakukan perlawanan
tentang manipulasi sejarah Natal. Akibatnya sangat fatal sekali, bahwa sekarang
kata “Natal” yang lebih populer adalah kelahiran anak tuhan, bukan kelahiran
Isya. Hal ini bisa dibuktikan, misalnya ketika ditanya anak Sekolah Dasar (SD)
apa itu Natal.? Jawabannya pasti berhubungan dengan perayaan hari besar umat
Kristiani. Tidak hanya anak SD, yang sudah kuliah S1 dan S2 pun masih banyak
memahami seperti itu, apalagi orang masyarakat umum (awam). Pemahaman seperti
inilah yang harus diubah dengan membuat “Natal Tandingan”.
#semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshowab.
Sorowajan, 20, Desember, 2014.
Pengertian, Hakekat dan Ruang Lingkup Hukum KeluargaIslam
Pengertian, Hakekat dan Ruang Lingkup
Hukum
KeluargaIslam
A. Pendahuluan
Hukumsebagaimerupakan suatu rahmatdan karunia dari Tuhanyang sudah dimulaisejakdahulu. Pada dasarnya, manusiamemilikikodrat yangsalahsatunyaadalahsebagaimakhluktataaturan.
Dengan adanya kodratsebagaimakluksosial, manusiatidakbisahidupsendiri. Kodratmanusiasebagimahluktataaturankemudian
dilembagakan,sehinggaterwujudkebaikannyata dan kualitaskehidupan yang baik.
Selain itu, manusia merupakan mahlukekonomi yang memenuhikebutuhannya, dimanakebutuhannyatersebutterbatas oleh berbagai macam hal. Selain itu, manusiajuga tidakakanbisahiduptanpa sebuahaturan.
Islam telah banyak mengatur
perihal berbagai lini kehidupan umat manusia, sehingga tidak salah disebut
sebagai agama yang komprehensif dengan ajarannya yang bersifat sholihun fii
kullizzaman wal makan. Termasukjugadidalamnyamengaturmengenaipenangananterhadap
setiappermasalahandalamsuatukeluarga.Perbedaanpendapatbahkankonflikdi dalam
suatu hubungan rumah tangga pastiadadanhal ini seringterjadi.
Hukum keluarga Islam sebagai
tawaran dalam menyelesaikan beberapa permasalahan.Pada hakikatnya bukan
dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga
dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya
hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga
yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat
dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum
Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata
keluarga Islam.
Istilah hukum keluarga
berasal dari kata Familierecht yang diterjemahkan dari bahasa Belanda,
atau dari bahasa Inggris law of familie. Hukum keluarga diartikan
sebagai “keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena suatu hubungan perkawinan”
Makalah ini akan membahas tentang pengertian, hakekat dan
ruang lingkup dari hukum keluarga Islam, sehinggakita dapat memahami hikmah-hikmah
tersebut dan kemudian dapat berhujjah atas hukum Islam sebagai solusi yang
tepat dalam menyelesaikan permasalahan keluarga.Tidak hanya keluarga Islam saja,
tetapi bagi umat manusia.Terlebihkitaharusmengetahuihal yang
mendasardalamfilsafathukumdalamkeluargaIslam.
B. Perumusan Masalah
1.
Apakah pengertian hukum keluarga Islam?Apakah masih sama
seperti dalam pandangan ilmu fikih? Apakah sesuai dengan hukum aturan Allah
(Kitabullah)?
2.
Apakah Hakekat hukum keluarga Islam? Dan apakah itu
merupakan kehendak Tuhan?
3.
Apasaja ruang lingkup dalam hukum keluarga Islam? Apakah
termasuk Hukum Anak?
C. Pembahasan
Sebelum
kita melangkah ke pembahasan mengenai pengertian hukum keluarga Islam, alangkah
lebih baik jika kita mengetahui beberapa istilah-istilah yang banyak digunkan
untuk menyebut hukum keluarga Islam.Dalam Bahasa Arab, istilah hukum keluarga
Islam adalah Al-Ahwal al Syakhsiyah dan kadang juga disebut dengan Nidham
al-Usrah, dan al-Usrah sendiri disini mempunyai arti keluarga
inti/kecil. Arti pada penggunaan Bahasa Indonesia sendiri, istilah yang
digunakan tidak hanya hukum keluarga Islam, akan tetapi terkadang juga disebut
dengan Hukum Perkawinan ataupun Hukum Perorangan. Dalam bahasa Inggris biasa
disebut Personal Law atau Family Law[1].
Pengertian
hukum keluarga Islam menurut Prof Subekti yang menggunakan istilah “hukum
kekeluargaan” adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan. Sehingga, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur
hubungan antar anggota keluarga. Maksud keluarga disini adalah keluarga pokok,
yakni: bapak, ibu, dan anak, baik ketika masih sama-sama hidup dalam satu rumah
tangga maupun setelah terjadi perpisahan yang disebabkan oleh perceraian
ataupun kematian.
Banyak
dari para ahli Fiqih kontemporer berbeda pendapat mengenai pengertian hukum keluarga.Berikut adalah
sebagian pendapat mengenai pengertian hukum keluarga. Menurut Abdul Wahhab
Khollaf, hukum keluarga “al-ahwal as-syakhsiyah” adalah hukum yang
mengatur kehidupan keluarga, yang dimulai dari awal pembentukan keluarga.
Adapun tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami, istri dan anggota
keluarga[2]. Menurut
Wahbah az-Zuhaili, hukum keluarga adalah hukum tentang hubungan manusia dengan
keluarganya, yang dimulai dari perkawinan hingga berakhir pada suatu pembagian
warisan karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia[3].
Definisi lainnya
mengkaji dua hal, yaitu mengenai prinsip hukum dan ruang lingkupnya. Prinsip
hukum adalah penilaian berdasarkan ketaatan keluarga dalam beragama. Sedangakan
ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban
dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.
Definisi ini sangat luas karena juga mencakup pembahasan pembagian warisan
dalam keluarga, padahal di dalam hukum perdata barat warisan tersebut merupakan
bagian dari hukum benda.
Pendapat lain menyebutkan
bahwa hukum keluarga hanya difokuskan pada peraturan perkawinan, peraturan
kekuasaan orang tua, dan perwalian yang bersumber dari hukum tertulis.Sedangkan
hal yang berkaitan dengan peraturan perkawinan tidak tertulis maupun tidak
mendapat perhatian khusus, padahal dalam masyarakat Indonesia masih mengenal
hukum adat, sehingga definisi diatas perlu dilengkapi dan disempurnakan.
Hukum keluarga
adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis).
Hukum keluarga tertulis adalah kaedah-kaedah hukum yang bersumber dari UU,
yurisprudensi, dan lain sebagainya. Sedangkan hukum keluarga tidak tertulis
adalah kaedah-kaedah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat (merupakan suatu kebiasaan). Misalnya, kegiatan Marari
dalam kehidupan masyarakat suku Sasak.
Apakah definisi
hukum keluarga tersebut masih sama seperti dalam pandangan ilmu fikih? Apakah
sesuai dengan hukum aturan Allah (Kitabullah)?
Mengkaji Hukum
keluarga Islam di Indonesia ataupun di negara lain yang mayoritas penduduknya
beragama Islam memiliki daya tarik tersendiri.Dalam hukum keluarga itulah yang
paling mendapatkan prioritas dan terdapat jiwa wahyu Ilahi dan sunnah
Rasulillah, sedangkan pada hukum lain, pada umumnya jiwa tersebut mengalami penurunanyang
signifikan.
Di
Indonesia perkembangan hukum keluarga Islam cukup terbuka, hal ini antara lain
disebabkan oleh adanya Undang-Undang Dasar, juga Kompilasi Hukum Islam.Konstitusi
sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum
keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan
masyarakat, terutama kehidupan wanita, istri, ibu dan anak-anak di dalamnya
dapat terlindungi dengan adanya kepastian hukum.
Di Indonesia
sendiri ada beberapa Undang-Undang yang
sumbernya berasal dari Hukum Islam, misalnya: Undang-Undang No. 1/1974 mengenaiperkawinan,
dan Undang-Undang no.41/2004 tentang Wakaf. Peranan hukum Islam dalam persoalan
perkawinan bagi muslim Indonesia dengan jelas tercantum dalam pasal 2 ayat (1)
yang berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Undang-undang
Perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah, dan
prinsip hukum Islam seperti dalam masalah menentukan calon, khitbah, akad
nikah, nafkah, perceraian, rujuk, dan sebagainya.Jika kita melihat
undang-undang tersebut, maka sesungguhnya sebagian undang-undang perkawinan di
Indonesia sama dengan apa yang ada dalam fikih klasik, walaupun “mungkin” ada
yang berbeda dari apa yang ada dalam fikih klasik.
Akan tetapi,
jika kita meninjau ulang apa yang ada dalam fikih klasik, hampir semua Madzhab
berbeda pendapat.Maka dari itu, jika ada undang-undang Hukum Keluarga di
Indonesia yang berbeda dengan fikih klasik bukan berarti undang-undang tersebut
tidak dibenarkan “menurut Islam”. Asalkan undang-undang tersebut berdasar pada
kaidah-kaidah hukum Islam (sebagaimanahal tersebut dapat dianggap maslahat
ataupun yang lain), maka undang-undang tersebut walaupun terlihat tidak sama
dengan dengan fikih klasik, akan tetapi bisa saja undang-undang tersebut
mengacu pada tujuan syariat “al-Maqosidas-Syari’ah”, asalkan undang-undang
tersebut dibuat untuk kemaslahatan rakyat dan bukan atas dasar politik semata, serta
kemaslahatan pemimpin.
Apakah ini sudah sesuai dengan Al-Qur’an (kitabulloh)?
Fikih bukanlah Al-Qur’an, akan tetapi fikih
merupakan kitab hukum yang penggalian hukumnya bersumber dari Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Jika kita melihat pengertian pernikahan dalam undang-undang di
Indonesia dan kita bandingkan dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, kita akan
melihat suatu kesamaan. Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang di Indonesia adalah: Pasal 1
UU Perkawinan disebutkan:Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa[4].
Didalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum 21 disebutkan:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di
antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].
Jika kita
mengamati ayat tersebut dan pengertian perkawinan pada undang-undang di
Indonesia, maka kita akan melihat kesamaannya, yaitu sama-sama bertujuan untuk
menentramkan, serta untuk mencapai kebahagiaan.
Hakikat Hukum Keluarga
Awal
terbentuk Keluarga adalah dari hubungan pernikahan. Pernikahan dibangun oleh
rasa saling cinta dan kasih sayang antara laki-laki dengan perempuan.
Pernikahan berorientasi membentuk keluarga sakinah, yang berlandaskan cinta dan
kasih sayang. Pernikahan merupakan perjanjian yang kuat antara sesama
pengantin.Keluarga berada dalam pengalaman manusia. Fungsi hidup dan kehidupan
seseorang, demikian pula interaksi dengan individu lain, senantiasa berada
dalam fakta keluarga.
Persepsi
nilai-nilai didalam hukum keluarga tidak selalu dipahami dalam kualitas yang
sama oleh setiap orang.Sebenarnya, adanya hukum keluarga disini adalah untuk
mengatur mengenai baik dan buruk dari aspek moral atau etika, disamping juga
mengenai manfaat. Berpangkal dari keluarga yang terbentuk atas dasar ikatan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, menimbulkan
hubungan kekeluargaan yang kemudian dibedakanatas dasar keturunan darah maupun
karena hubungan perkawinan. Demikian pula akan timbul suatuhubungan kewarisan, yang juga
menjadi kepentingan negara untuk mengaturnya dalam hukum positif.
Sedangkan
kerangka normatif hukum positif negara pada dasarnya adalah aturan yang
diciptakan atas dasar kepentingan negara dalam mengatur kehidupan masyarakat
agar tertib, damai dan aman sesuai dengan asas bahwa setiap aturan hukum
hendaknya dibentuk dengan memenuhi asas keadilan kepastian hukum, dan
kemanfaatan.
Dalam hal hukum
keluarga, maka bagaimana dan akan seperti apa aturan hukum itu dirumuskan,
sepenuhya tergantung kepada kebutuhan dan perkembangan hidup bermasyarakat dan
bernegara serta mengacu pada landasan filosofisnya. Landasan filosofis ini
penting bagi sesuatu aturan hukum positif, karena aturan hukum positif akan berlaku
efektif bila memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat itu adalah berupa keabsahan
secara sosiologis, yuridis, dan absah secara filosofis.
Hukum keluarga Islam mempunyai
penawaran khusus dalam menyelesaikan beberapa permasalahan.Pada hakikatnya
bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah
tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif,
artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan
keluarga yang terjadi. Akan tetapi, terkadang hukum-hukum yang telah ada belum
dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya sehingga berakibat kepada
anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara
perdata keluarga Islam.
Jika kita melihat undang-undang
dasar tentang hukum keluarga, sebagian ahli berpendapat bahwasanya ini adalah
kehendak dari negara, atau ini semua demi kemaslahatan negara untuk kita
warganya. Namun, apabila memang undang-undang hukum keluarg di Indonesia ini
dibuat atas dasar maslahat, maka ini tidak melenceng dari tuntunan hukum syari’at
Islam, dan juga seperti yang kita tau, sebagian undang-undang hukum keluarga di
Indonesia adalah bersumber dari hukum Islam.
Islam adalah agama yang rahmatan
lil alamin, dan Allah juga berfirman:
@è%`yJÏj9$¨BÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#ÇÚöF{$#ur(@è%°!4|=tGx.4n?tãÏmÅ¡øÿtRspyJôm§9$#4öNä3¨ZyèyJôfus94n<Î)ÏQöqtÏpyJ»uÉ)ø9$#w|=÷uÏmÏù4úïÏ%©!$#(#ÿrçÅ£yzöNåk|¦àÿRr&óOßgsùwcqãZÏB÷sãÇÊËÈ
“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di
bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah “menetapkan”
atas Diri-Nya kasih sayang. dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat
yang tidak ada keraguan padanya. Orangorang
yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.”
Dalam
ayat ini, Allah SWT menetapkan dirinya bersifat Rahmat, kasih sayang. Walaupun
Undang-Undang di Indonesia merupakan kehendaknegaraatau pemerintah, akan tetapi
jika Undang-Undang tersebut penuh rahmat bagi rakyat, walaupun itu bukan
kehendak Tuhan, hal ini tidak melenceng dari apa yang “mungkin” di kehendakkan
oleh Tuhan.
Ruang Lingkup
Hukum Keluarga Islam
Dalam
pembahasan ini akan mengupasmengenai apa saja ruang lingkup Hukum Keluarga.
Adapun cakupan pembahasan Hukum keluarga Islam dalam kitab-kitab fikih klasik
dapat digambarkan sebagai berikut. Salah satu seorang ulama’ dari madzhab
Maliki yaitu Ibnu Jaza al-Maliki memasukkan perkawinan dan perceraian, wakaf,
wasiat, dan fara’id (pembagian harga pusaka) dalam kelompok Mu’amalah.
Adapun
Ulama’ syafi’iyah menjadikan hukum keluarga menjadi bahasan tersendiri, yaitu ‘munakahat’.
Bab ini menjadi bagian sendiri dari empat bagian, yakni: Ibadah “hukum
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah”. Mu’amalah “hukum
yang mengatur hubungan sesama manusia di bidang kebendaan dan pengalihannya.”Munakahat
“hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga”,‘Uqubah “hukum yang
mengatur tentang keselamatan, jaminan jiwa dan harta benda, serta urusan publik
dan kenegaraan[5].
Salah
seorang Ulama’ kontemporer, yaitu Mustafa Ahmad al-Zarqa, kemudian membagifikih
menjadi dua kelompok besar, yaitu ‘ibadah dan Mu’amalah, kemudian membagi lebih
rinci menjadi tujuh kelompok, dan salah satunya adalah hukum keluarga “al-ahwal
al-syakhsiyah”, yaitu hukum perkawinan (nikah), perceraian (talak, khuluk
dll.), nasab, nafkah, wasiat, dan waris[6].
Sedangkan
Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum dalam
al-Qur’an menjadi tiga bagian, yaitu, Akidah, Akhlak, dan Mu’amalah.Kemudian
mengkelompokkan mu’amalah menjadi dua kelompok besar, yakni, Ibadah dan
Mu’amalah. Sedangkan mu’amalah dibagi lagi menjadi tujuh bagian dan salah
satunya yaitu bidang Hukum Keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah”.
Wahbah
al-Zuhaili menjadikan bab tersendiri Hukum Keluarga Islam, dengan menggunakan
istilah “al-ahwal al-syakhsiyah”, sama dengan yang digunakan Jawad Mughniyah.
Dalam satu kitab al-Mughniyah membahas dua bahasa pokok, yakni: al-Ibadat, dan
al-Ahwal as-Syakhsiyah.
Secara
umum, cakupan dari Hukum Keluarga Jika kita mengacu pada definisi Hukum
Keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah” dari Wahbah az-Zuhaili dan Abdul Wahhab
Khallaf, yaitu:
1.
HukumKeluarga (usrah) yang
dimulaidaripeminangansampaiperpisahan, baikkarenaada yang
wafatmaupunkarenaterjadiperceraian.
2.
Hukumkekayaankeluarga (amwal); yang
mencakupwaris, wasiyat, wakafdansejenisnya yang
berkaitandenganpenerimaandanataupemberian.
3.
HukumPerwalianterhadapanak yang
belumdewasa.
Adapun
cakupan Hukum Keluarga “al-ahwal as-syakhsiyah” menurut pandangan
umumnya ahli hukum Islam (fuqaha’) dalam kitab2 fikih adalah:
1. Tata
carameminang
2. Syarat-syaratdanrukun-rukunnikah:
a). Akadnikah. b). WaliNikah. c). Saksidalamperkawinan. d). Mempelai.
3. Mahar.
4.
Mahram.
5. Nikah
yang sahdannikahtidaksah.
6.
Poligami.
7.
Hakdankewajibansuamidanistri.
8.
Nafkah.
9.
Perceraian.
10. ‘Iddah.
11. Ruju’.
12. Hubungananakdan
orang tua.
13. Pemeliharaandanpendidikananak
(hadhanah).
14. Subyek-subyek
yang berhubungandengankehidupanrumahtangga.
15. Masalahwaris:
a). Ahliwaris. b). Besarnyabagianwarisan. c). Auldan rad. d). Hibah[7].
Jika
kita melihat pendapat para ahli di bidang hukum Islam terutama di bidang hukum
keluarga, memang disini banyak sekali perbedaan pendapat terhadap ruang
lingkup/cakupan hukum keluarga Islam, ada yang berpendapat cakupan hukum keluarga
hanya tiga pokok bahasan (Perkawinan, perceraian dan warisan), ada juga yang
menambahkan wakaf dalam cakupannya,dan ada juga yang menambahkan perwalian di
dalamnya.
Akan tetapi, jika kita melihat pendapat umumnya ahli Hukum Islam
(fuqaha’) maka kita bisa melihat bahwasanya cakupan atau ruang lingkup Hukum
Keluarga Islam tidak hanya sebatas hukum perkawinan dan warisan saja, akan
tetapi mencakup semua aspek-aspek hukum keluarga/kekeluargaan, dan disitu
termasuk juga hukum yang menjelaskan tentang wanita dan juga tentang anak
(perwalian, dan hadlonah misalanya).
Setelah
kita melihat pendapat-pendapat para ahli di bidang hukum keluarga Islam
mengenai ruang lingkup/cakupannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwasanya
cakupan hukum keluarga Islam adalah :
1.
Perkawinan, yang mencakup: peminangan,
syaratdanrukunnikah, termasukmahar, mahramdan status nikah
(sahatautidaknyaperkawinantersebut).
2.
Kehidupanrumahtangga, yang mencakup:
hakdankewajibansuami, istridananak,
bisajugadiartikanbahwasanyainimencakupurusanhubungan orang tuadananak-anaknya.
Dan point keduainijugamencakuppoligami, dannafkah.
3.
Perceraian, atau proses
penyelesaianpermasalahandalamrumahtangga (danbukanberartipenyelesaianataujalankeluarnyaharuscerai),
disinimencakup: percekcokanantarasuamiistridanjuganusyuz “durhaka”.
Termasukjuga di dalamnyaadalahTalaq (haksuami) dankhuluk (istri). Dan
jugamasapenantian (iddah) dankembalidamai/tidakjadipisah “cerai” (ruju’).
4.
Hadlonah/pengasuhandanpemeliharaananak.
5.
Tentangwaris, ataudengan kata lain
adalahpnyelesaianmasalahhartasetelahterjadinyakematian/penyelesaianurusanhartaakibatwarismewarisi,
disinimencakup: waris, wasiyat, wakaf, dantransaksipenyerahan/penerimaan lain[8].
Adapun undang-undang di Indonesia seperti misalnya undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang mencakup seluruh aspek dalam
permasalahan prkawinan dan perceraian. Dilengkapi pula dengan Kompilasi Hukum
Islam(KHI) buku I-II dan III yang mencakup
tentang perkawinan, perceraian, waris dan wakaf.
D. Kesimpulan
1. Para ahli berbeda pendapat
tentang definisi Hukum Keluarga Islam, dan salah satu definisi yang dikemukaan
oleh salah satu ahli itu adalah: Menurut Abdul Wahhab Khollaf, hukum keluarga “al-ahwal
as-syakhsiyah” adalah hukum yang mengatur kehidupan keluarga, yang dimulai
dari awal pembentukan keluarga. Adapuntujuannyaadalahuntukmengaturhubungansuami,
istridananggotakeluarga. MenurutWahbahaz-Zuhaili,
hukumkeluargaadalahhukumtentanghubunganmanusiadengankeluarganya, yang
dimulaidariperkawinansampaiberakhirpadapembagianwarisankarenaadaanggotakeluarga
yang meninggaldunia. Dan walaupunkadang “mungkin” adaHukumkeluarga di Indonesia
yang berbedadengankonsepfikihklasik, akantetapiasalkanberdasarkanTujuanSyari’at
Islam, makaitutidakdianggapsalah (secara agama), karenaHukum agama Islam
bukanhanya yang adadalamFikihklasiksemata,
danmungkinituadalahpengembangandarifikihtersebutmelaluiijtihadparaahli/pakarhukumtersebut.
2. Pada
hakikatnyahukumkeluargabersifat solutif, artinya hukum
Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang
terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami
terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam
yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga
Islam.
3. Mengenairuanglingkup/cakupanHukumKeluarga,
banyakperbedaanpendapatmengenaihaltersebut. Akan tetapi, umumnyaparaahlihukum
Islam (fuqoha’), berpendapatbahwasanyaruanglingkupHukumKeluarga Islam
tidakhanyasekedarperkawinan,perceraian, danwaris.
akantetapididalamnyajugadibahastentanganak (hadlonahdll).
DAFTAR
PUSTAKA
1.
NasutionKhoiruddin, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga
(Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010.
2.
Khallaf‘Abd al-Wahhab, ‘Ilm-Usul al-Fiqh, cet ke-8 (ttp.:
Maktabah al-da’wah al-Islamiyah, t.t.),
3.
Wahbah,al-Fiqh al-Islam wa Adillatullah, Beirut: Dar
al-Fikr,1989.
4.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
cet. Ke-5. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.
5.
Al-ZarqaMustafa Ahmad, al-Fiqh al-Islam fi Thaubihi al-Jadid:
al-Madkhal al-Fiqih al-Amm. Beirut: Dar al Fikr, t.t.
[1] Khoiruddin
Nasution, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
(Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 5-7
[2] ‘Abd al-Wahhab
Khallaf, ‘Ilm-Usul al-Fiqh, cet ke-8 (ttp.: Maktabah al-da’wah al-Islamiyah,
t.t.), hlm. 32
[3] Wahbah alal-Fiqh
al-Islam wa Adillatullah, (Beirut: Dar al-Fikr,1989), VI:6.
[4] Soemiyati,
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. Ke-5 (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2007) hlm. 138
[5]Khoiruddin
Nasution, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
(Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 9
[6] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islam fi Thaubihi al-Jadid:
al-Madkhal al-Fiqih al-Amm (Beirut: Dar al Fikr, t.t.)hlm. 55-56.
[7]Khoiruddin
Nasution, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
(Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 13-14.
[8] Ibid., hlm. 14