Posted by : Unknown Minggu, 07 Desember 2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yangmengatur segala aspek kehidupan. Tidak hanya terbatas pada aspek akidah dan ibadah saja, lebih dari itu Islam juga mengatur dan memberi rambu-rambu kehidupan dalam aspek akhlak dan muamalat. Baik itu aspek akidah, ibadah, akhlak maupun muamalat, semua diatur dari sumber yang sama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula Rasulullah SAW menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok risalah Islam.[1]
Aspek kehidupan yang diatur di dalam agama Islam sebagian diantaranya adalah persoalan persiapan perkawinan. Segala pernak-pernik tentangpersiapan perkawinan dari memilih pasangan, pacaran/ta’aruf, tunangan hingga lamaransemua telah diatur di dalam fikih munakahatyang telah disusun oleh fukaha yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Meskipun di dalam fikih munakahat telah banyak dijelaskan tantang pernak-pernik perkawinan oleh fuqaha, satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa perkembangan zaman merupakan keniscayaan. Beriringan dengan perkembangan zaman tersebut berkembang pula situasi dan kondisi masyarakat yang pada akhirnya akan memunculkan persoalan-persoalan baru. Persoalan-persoalan baru tersebut tidak mendapatkan jawaban yang cukup dari fikih munakahat yang telah ada karena perbedaan situasi dan kondisi dengan zaman disusunnya fikih munakahat tersebut. Meskipun demikian Al-Qur’an dan Sunnah telah memberi rambu-rambu kehidupan agar manusia senantiasa berada pada jalan yang lurus.
Salah satu contoh persoalan yang menjadi perdebatan hingga kini adalah persoalan pacaran/ta’aruf. Meskipun sudah biasa kita mendengar dari sebagian orang bahwa pacaran itu dilarang karena dekat dengan zina, namun di sebagian kalangan khususnya pemuda-pemudi ada anggapan bahwa pacaran adalah sarana untuk saling kenal-mengenal (ta’aruf), berbagi kasih sayang, saling memotivasi, bahkan pacaran juga dikatakan sebagai wujud cinta yang Allah anugerahkan kepada umat manusia dengan berpasang-pasangan.
Persoalan tersebut tidak pula diatur secara jelas dan gamblang dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dari uraian di atas muncullah pertanyaan-pertanyaantentang persiapan perkawinan yang penyusun coba untuk membahasnya dalam makalah yang singkat ini, yaitu; pertama, bagaimana Islam memberi arahan dalam hal memilih pasangan; kedua, apa urgensi pacaran dan ta’aruf itu; ketiga,bagaimana pula Islam memberi arahan dalam hal tunangan dan lamaran.

B.       Pokok Masalah
1.      Bagaimana menurutal-Qur’an dan Sunnah tentang persiapan perkawinan ?
2.      Bagaimana mengkontekstualisasikan persiapan perkawinan yang sesuai dengan paradigma al-Qur’an dan Sunnah denganmasa kini?

C.      Tujuan Pembahasan
1.         Untuk mengetahui dan memahami persiapan perkawinan menurut al-Qur’an dan Sunnah.
2.         Untuk mengetahui dan memahami paradigma al-Qur’an dan Sunnah tentangpersiapan perkawinandalam konteks masa kini.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Persiapan Perkawinan
Persiapan perkawinan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki sebagai calon suami dan seorang wanita sebagai calon isteri beserta keluarga masing-masing calon dalam rangka mempersiapkan segala sesuatunya untuk mempertemukan dua insan (calon suami dan calon isteri) dalam ikatan cinta yang sah.
Dalammakalahyang sederhana ini,penyusunmencoba untuk mengklasifikasikanmateripersiapan perkawinan sebagaiberikut:

1.        Memilih Pasangan
Dalam pandangan Islam, perkawinan bukanlah sekedar urusan perdata semata. Bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya. Tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hayat. Oleh karena itu, sesoorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.
Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang wanita untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah: karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan anak keturunan, karena kekayaannya, karena kebangsawanannya dan karena keberagamaannya. Di antara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya.[2] Hal ini dijelaskan Nabi dalam hadisnya yang muttafaq alaih berasal dari Abu Hurairah, ucapan Nabi yang berbunyi:
تنكح المرأة لاربع لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
Perempuan itu dinikahikarenaempathal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, danagamanya. Dapatkanlahwanita yang taatberagama, engkauakanbahagia.[3]
Yang dimaksud dengan keberagamaannya di sini adalah komitmen keagamaanya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan, suatu ketika akan hilang.[4] Bahkan dalam surat al-Baqarah ayat 221 dinyatakan bahwa sekalipun wanita itu statusnya hanyalah hamba sahaya namun kalau dia mukmin maka lebih bagus dan lebih baik untuk dikawini daripada seorang wanita merdeka yang demikian indah mempesona dan cantik menawan namun ia seorang musyrik penyembah berhala.[5]
Jika ada faktor yang menjadi motivasi seorang laki-laki memilih seorang wanita untuk dijadikan pasangan hidupnya, maka begitu pula sebaliknya dengan wanita, suami merupakan teman hidup isteri, tempat berlindung dan bernaung yang dapat mendamaikan hati isteri, pemimpin dan penanggung jawab tegak teguhnya sebuah rumah tangga. Suami adalah sosok yang harus memiliki kelebihan dari isteri, sebagaimana dinyatakan dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
الرّجال قوّامون على النّساء
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita
Oleh karena fungsinya seperti itu maka dalam memilih calon suami hendaklah diperhatikan beberapa ketentuan sebagaimana berikut:pertama, aspek agama, faktor agama ini bagi calon suami harus dijadikan faktor utama dan faktor nomor satu demi terwujudnya rumah tangga yang marhamah dan diridlai Allah.  Telahbersepakatseluruhulama (ijma’) bahwawanita Islam tidakdiperkenankankawindenganlelaki yang tidakberagama Islam.[6]Kedua, aspekkafaah, artikufuialahpersamaanatauperbandingan, maksudnyadalamperkawinanhendaknyasuamisekufudenganisterinya, setarafkedudukanmerekadansebandingtingkatsosialnya, bersamaanderajatakhlakdanbudipekertinyasertasetarafperihalhartabendanya.[7]
Aspekkafaahinisekalipunbukantermasukdalamsyaratperkawinanakan tetapimerupakanpersoalan yang pentinguntukmembangunrumahtangga yang terbebaskandariperasaan minder di antarakeduanya. Itusebabnyaperludiperhatikandenganbaikdanmenjadikannyasebagaipertimbanganuntukmemilihpasangan.

2.        PacarandanTa’aruf
Pacaran merupakan satu persoalan yang hingga kini masih diperdebatkan hukum melakukannya. Ada yang berpendapat bahwa tidak ada pacaran di dalam Islam. Karena didasarkan dengan ayat “jangan engkau dekati zina”. Ada pula yang berpendapat bahwa pacaran itu boleh-boleh saja karena pacaran adalah sarana untuk mengenal (lita’arafu) lebih lanjut calon pasangan hidup, sesuai dengan anjuran Allah SWT dalam surat al-Hujurat ayat 13:

$pkšr'¯»tƒâ¨$¨Z9$#$¯RÎ)/ä3»oYø)n=yz`ÏiB9x.sŒ4Ós\Ré&uröNä3»oYù=yèy_ur$\/qãèä©Ÿ@ͬ!$t7s%ur(#þqèùu$yètGÏ94¨bÎ)ö/ä3tBtò2r&yYÏã«!$#öNä39s)ø?r&4¨bÎ)©!$#îLìÎ=tã׎Î7yzÇÊÌÈ

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadiantarakamudisisi Allah ialah orang yang paling taqwadiantarakamu.Sesungguhnya Allah MahamengetahuilagiMahaMengenal".
Melihat perbedaan pandangan tersebut, tentang hukum kebolehan dan tidaknya pacaran, penulis mencoba untuk membedakan antara ta’aruf dengan pacaran:
a)        Ta’aruf
Ta’arufyang dimaksud di sini adalah saling mengenal satu sama lain untuk sebuah komitmen berupa ikatan cinta yang sah. Tidak hanya ta’aruffisik atau biografi ringkas semata, tapi lebih jauh lagi juga ta’aruf latar belakang pendidikan, budaya, keagamaan; ta’arufpemikiran, ide-ide, cita-cita; dan ta’aruf problem kehidupan yang dihadapi.[8]
Dalam sebuah hadis diceritakan, al-Mughira, sahabat rasul, melapor kepada Nabi saw bahwa ia baru selesai melamar (khitbah) seorang wanita anshar. Rasul bertanya, “apa sudah engkau lihat wanita itu?” Mughirah menjawab, “belum”. Rasul bersabda lagi, “lihatlah dulu, sebab kalau engkau sudah melihat, maka bisa diharapkan langgeng perjodohanmu dan hidup rukun.” Setelah mendengar sabda rasul tersebut, Mughirah mendatangi rumah tunangannya dan menyampaikan sabda Rasulullah tersebut kepada orangtua maupun kepada si gadis. Si wanita itu berkata, dekatkanlah pria itu kepadaku” Mughirah mendekat dan gadis itu berkata, “jika Rasulullah memerintahkanmu untuk melihatku, maka lihatlah! Inilah diriku!kalau engkau tidak mau masuk, biarkanlah aku keluar, agar kamu bisa melihatku.” Mughirah lalu melihat dengan jelas wajah dan bentuk tubuh perempuan itu.[9]
b)        Pacaran (khalwah)
Pacar memiliki arti teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Berpacaranberarti bercintaan; berkasih-kasihan.[10] Pacaran yang dimaksud di sini adalah suatu aktivitas yang identik dengan khalwah yang itu artinya berdua-duaan antara pria dan wanita yang tidak punya hubungan suami isteri dan tidak pula mahram tanpa ada orang ketiga. Termasuk khalwah berdua-duaan di tempat umum yang antara mereka dengan pasangan itu saling tidak kenal-mengenal, atau saling kenal tapi tidak punya kepedulian, atau tidak punya kontak komunikasi sama sekali, sekalipun berada dalam area yang sama, seperti di pantai, pasar, restoran, apalagi di bioskop dan tempat-tampat hiburan tertutup lainnya.[11]
Rasulullah saw bersabda:
Jauhilah berkhalwah dengan wanita. Demi Allah yang diriku berada dalam genggamanNya, tidaklah berkhalwah seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali syaitan akan masuk di antara keduanya. (HR. Thabrani)
Dalam banyak kasus muda-mudi (bahkan yang tua sekalipun) mudah sekali jatuh ke dalam perzinaan apabila sudah berdua-duaan, tidak hanya di rumah-rumah bahkan juga di tempat-tempat umum seperti tempat rekreasi. Jadi larangan berpacaran adalah tindakan pencegahan supaya tidak terjatuh ke lembah dosa yang lebih dalam lagi.Ada empat pintu yang seringkali menjadi jalan masuk maksiat bagi manusia, yakni pandangan, fikiran, ucapan, langkah.[12] Dan keempat pintu itu terbuka peluangnya dengan lebar di dalam aktifitas pacaran.

3.        Lamaran
Dalambahasa Indonesia, lamaran – melamarjugadisebutmeminangataukhitbahdalambahasa Arab yang telahdiserapkedalambahasa Indonesia.DalamKompilasiHukum Islam (KHI) Bab I pasal 1 disebutkanbahwa yang dimaksuddenganpeminanganadalahkegiatan-kegiatanupayakearahterjadinyahubunganperjodohanantaraseorangpriadenganseorangwanita.
Proses lamarantersebutdilakukansetelahditentukannyapilihanpasangan yang akandikawinisesuaidengankriteriasebagaimanadisebutkan di atas, langkahselanjutnyaadalahpenyampaiankehendakuntukmenikahipilihan yang telahditentukanitu. Penyampaiankehendakuntukmenikahiseseorangitudisebutdengankhitbahataudalambahasamelayudisebut “peminangan”.[13]
a.             HukumLamaran
Tidakditemukansecarajelasdanterarahadanyaperintahataularanganmelakukanlamaran.[14]Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu. (Ibnu Rusyd II, 2).[15]
b.             Hikmah Disyariatkannya Lamaran
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah fihak dapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi dari al-Mughirah bin al-Syu’bah menurut yang dikeluarkan at-Tirmidzi dan an-Nasai yang bunyinya:
أنه قال له وقد خطب إمرأة انظر اليها فانه أحرى أن يؤدم بينكما
BahwaNabiberkatakepadaseseorang yang yangtelahmeminangseorangperempuan: “melihatlahkepadanyakarena yang demikianituakanlebihmenguatkanikatanperkawinan.”
c.         Syarat-syarat orang yang boleh dilamar/dipinang
Melakukan pinangan atau lamaran terhadap wanita diperkenankan oleh syara’ (hukum agama), dan diatur sebagai berikut:
a)         Seorang laki-laki tidak boleh meminang wanita yang dalam keadaan perkawinan dengan orang lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah.
Haram meminang wanita yang bersuami, karena dengan demikian akan membawa perceraia, dan lebih dari itu akan membawa kekacauan dan permusuhan dalam masyarakat. Demikian juga haram meminang wanita yang dalam keadaan iddah talaq raj’i.
b)        Tidak diperkenankan melamar wanita yang yang ditinggal mati suaminya atau melamar wanita yang ditalak bain secara terus terang. Ia hanya dapat dibenarkan melamarnya kalau dengan menggunakan kata-kata sindiran atau kalimat yang samar. Dalam surat al-Baqarah ayat 235 dinhyatakan:

Ÿwuryy$oYã_öNä3øn=tæ$yJŠÏùOçGôʧtã¾ÏmÎ/ô`ÏBÏpt7ôÜÅzÏä!$|¡ÏiY9$#÷rr&óOçF^oYò2r&þÎûöNä3Å¡àÿRr&4zNÎ=tæª!$#öNä3¯Rr&£`ßgtRrãä.õtGy`Å3»s9uržw£`èdrßÏã#uqè?#ŽÅ HwÎ)br&(#qä9qà)s?Zwöqs%$]ùrã÷è¨B4Ÿwur(#qãBÌ÷ès?noyø)ããÇy%x6ÏiZ9$#4Ó®Lymx÷è=ö6tƒÜ=»tFÅ3ø9$#¼ã&s#y_r&4(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#ãNn=÷ètƒ$tBþÎûöNä3Å¡àÿRr&çnrâx÷n$$sù4(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#îqàÿxîÒOŠÎ=ymÇËÌÎÈ
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
[148] Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[149] Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[150] Perkataan sindiran yang baik.
c)         Tidak diperkenankan melamar wanita yang dalam lamaran laki-laki lain, keculi jika:
-          Pinangan tersebut telah ditolak oleh wanita tersebut, atau
-          Telah diizinkan oleh fihak laki-laki yang bersangkutan
d)        Sewaktu meminang diperkenankan melihat wanita yang dilamarnya, yang dicukupkan melihat wajah dan telapak tangannya saja.

4.        Tunangan
Bertunangan adalah suatu keadaan pendahuluan sebelum dilaksanakan akad nikah, dimana sudah terdapat persetujuan antara kedua belak fihak untuk mengadakan ikatan perkawinan. Dan pada umumnya pertunangan itu merupakan hasil pinangan yang telah diterima dari fihak calon isteri.[16]
Tunangan yang sesungguhnya merupakan adat itu adalah persetujuan tingkat pertama untuk kawin sebagai bukti bahwa pinangan sudah diterima. Dalam hukum adat pada umumnya ada gejala bahwa suatu persetujuan baru akan mengikat benar-benar pada fihak-fihak yang bersangkutan apabila diadakan suatu tanda yang dapat dilihat selaku bukti adanya persetujuan tersebut. Tanda itu ada yang berwujud uang atau barang yang diberikan oleh fihak laki-laki kepada fihak perempuan, atau oleh mereka masing-masing memberi atau menukar satu sama lain.
Sekalipun tunangan sudah dilakukan akan tetapi bukan berarti telah mengikat kedua belah fihak. Hanya akibat dari pelanggaran atau pemutusan persetujuan tersebut maka tanda tunangan harus dikembalikan apabila yang memutuskan dari fihak perempuan. Sedangkan jika yang memutuskan hubungan dari fihak laki-laki maka tidak perlu dikembalikan. Di samping itu perlu dimaklumi bahwa akibat adanya persetujuan tunangan bukan berarti antara calon suami dan calon isteri telah diberi kebebasan bergaul. Mereka satu sama lainnya masih berstatus sebagai orang lain.[17]


















BAB III
ANALISISTERHADAP PERSIAPAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

Jika sebelum datangnya agama Islam di jazirah Arab seorang laki-laki bisa memilih pasangan seenaknya dengan jumlah yang semaunya. Maka ketika agama Islam datang, semua aspek kehidupan diatur termasuk di dalamnya soal persiapan perkawinan.  Lebih khusus lagi, setiap negara telah membuat aturannya masing-masing yang disesuaikan dengan kemaslahatan masyarakatnya dengan merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah.
Indonesia adalah salah satu negara muslim yang telah membuat kodifikasi hukum tentang perkawinan yakni pada Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Perpres Tahun 1991 dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Jika dilihat dari maqasyid asy-syariah adanya arahan tentang persiapan perkawinan di dalam Islam, maka sesungguhnya semua itu untuk kemaslahatan umat. Arahan untuk memilih pasangan misalnya, hadis Rasulullah saw yang muttafaq alaih berasal dari Abu Hurairah berbunyi:
تنكح المرأة لاربع لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
Perempuan itu dinikahikarenaempathal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, danagamanya. Dapatkanlahwanita yang taatberagama, engkauakanbahagia.
Tanpa menafikan aspek lain, agama menjadi hal yang paling penting dalam diri seseorang untuk membangun sebuah keluarga yang diidamkan. Keluarga yang diidamkan adalah keluarga yang sikanah mawaddah warrahmah. Ketika agama Islam dikatakan sebagai agama yang rahmah, maka seseorang yang dipilih sebagai pasangan hidup karena aspek agama yang baik, diharapkan akan mengantarkan keluarga menuju kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya; bahagia, maju, sejahtera dan kekal.
Setelah memilih pasangan, maka hal lain yang diatur pula di dalam Islam adalah soal ta’aruf. Ketika penyusun sedang menyusun makalah ini, terjadi diskusi antara penyusun dengan seorang teman yang juga mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga konsentrasi Studi al-Qur’an dan Hadis. Dalam diskusi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa intilah ta’aruf yang dimaksudkan untuk persiapan perkawinan tidak sama dengan istilah pacaran yang telah dipahami masyarakat luas. Meskipun belum dilakukan research secara mendalam dan komprehensif, pemikiran tersebut setidaknya sedikit mewakili karena dapat dilihatnya fenomena yang ada di masyarakat.
Islam menghendaki agar hubungan suami isteri kekal selama-lamanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu hal yang dituntunkan adalah saling kenal-mengenal satu sama lain. Allah swt berfirman:
$pkšr'¯»tƒâ¨$¨Z9$#$¯RÎ)/ä3»oYø)n=yz`ÏiB9x.sŒ4Ós\Ré&uröNä3»oYù=yèy_ur$\/qãèä©Ÿ@ͬ!$t7s%ur(#þqèùu$yètGÏ94¨bÎ)ö/ä3tBtò2r&yYÏã«!$#öNä39s)ø?r&4¨bÎ)©!$#îLìÎ=tã׎Î7yzÇÊÌÈ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadiantarakamudisisi Allah ialah orang yang paling taqwadiantarakamu.Sesungguhnya Allah MahamengetahuilagiMahaMengenal".
Hal tersebut tidak lain juga untuk mewujudkan hidup yang baik. Yang salah satu indikatornya adalah kekal selama-lamanya. Untuk menjadikan hubungan yang kekal, maka satu sama lain harus saling mengenal dengan baik.
Setelah ta’aruf, maka tahapan lebih seriusnya adalah lamaran dan tunangan. Bisa dikata bahwa lamaran adalah ta’aruf lebih lanjut. Dalam lamaran (khitbah), seorang pelamar diperkenankan untuk melihat wanita yang dilamarnya, meskipun cukup dengan muka dan telapak tangannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Islam sesungguhnya menginginkan agar tidak terjadi kesalah pahaman dan penyesalan dikemudian hari.
Tentang Tunangan, hal tersebut sesungguhnya adalah adat istiadat. Pertunangan merupakan masa peralihan antara lamaran dengan pernikahan. Biasanya dalam pertunangan terdapat tradisi saling memberikan hadiah. Tradisi pertunangan berbeda menurut suku, agama, dan wilayah. Misalnya di India Barat pasangan itu saling tukar anak angsa, sementara wanitaTiongkok pada awal abad ke-20 dituntut memberikan hadiah yang pas bagi calon suaminya dalam waktu seminggu setelah pertunangan, kalau tidak mau pernikahannya kandas.[18]
Meskipun tunangan adalah adat istiadat, manfaat yang dapat diambil dapat mengantarkan pada maqasyid asy-syariah dari perkawinan itu sendiri. Oleh karenanya pelaksanaanya pun tidak terlepas dari peran agama. Terutama yang menjadi perhatrian adalah adab / akhlak dalam bergaul.





















BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan-pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Islam adalah agama yang sempurna, sebagaimana diutusnya Rasulullah saw untuk penyempurnaan akhlak yang mulia.
2.      Persiapan perkawinan adalah salah satu hal yang diatur di dalam agama Islam, baik itu dalam hal memilih jodoh, ta’aruf, lamaran, hingga tunangan.
3.      Dalam persiapan perkawinan tersebut sangat terkait erat dengan akhlak di dalam Islam, contohnya adalah persoalan ta’aruf dan pacaran.
4.      Meskipun Islam telah memberi rambu-rambu dalam persoalan persiapan perkawinan sejak berabad-abad yang lalu, rambu-rambu tersebut tetap relevan hingga saat ini. Relevansi tersebut terkait erat dengan upaya pencegahan madarat dan meraih maslahat.
Persiapan perkawinan dalam Islam merupakan satu hal upaya untuk mewujudkan penyempurnaan akhlak yang mulia, dalam konteks mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.











DAFTAR PUSTAKA

al-Jauziyyah,Ibnu Qoyyim, Perkelahian Dosa dan Cinta, (Yogyakarta: Diva Press, 2011). Diterjemahkan oleh Ahmad Luqman al-Hakim.
Terjemahan Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-Asqalani, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2009), hlm. 257
Kamal Pasha,Musthafa, MS. Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra KarsaMandiri,) 2009, hlm. 262
Ilyas,Yunahar,Kuliah Akhlaq,(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam – LPPI, 2007)
Syarifuddin, Amir,Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2011)
Hasbi Indra, Iskandar Ahza, Husnani, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), hlm. 109
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 6 November 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertunangan, diakses pada tanggal 6 November 2013






[1] Yunahar Ilyas,Kuliah Akhlaq,(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam – LPPI, 2007),hlm.6
[2]Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2011),hlm.48

[3]TerjemahanBulughulMaramIbnuHajar Al-Asqalani, (Jogjakarta: HikamPustaka, 2009), hlm. 257

[4]Ibid., hlm. 49

[5]Musthafa Kamal Pasha, MS. Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra KarsaMandiri,) 2009, hlm. 262

[6]Ibid., hlm.263

[7]Ibid., hlm.264
[8]Yunahar Ilyas,Kuliah Akhlaq,(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam – LPPI, 2007),hlm.223

[9]Hasbi Indra, Iskandar Ahza, Husnani, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), hlm. 109

[10]http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 6 November 2013

[11] Yunahar Ilyas,Kuliah Akhlaq,(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam – LPPI, 2007),hlm.218

[12]Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Perkelahian Dosa dan Cinta, (Yogyakarta: Diva Press, 2011). Diterjemahkan oleh Ahmad Luqman al-Hakim.

[13] Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2011),hlm.49

[14]Ibid., hlm.50

[15]Ibid., hlm.50
[16]Musthafa Kamal Pasha, MS. Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra KarsaMandiri,) 2009, hlm. 267

[17]Ibid., hlm 268
[18]http://id.wikipedia.org/wiki/Pertunangan, diakses pada tanggal 6 November 2013

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. haturnuhun pisan artikelnya! Sangat membantu saya sekaliii untuk melihat apa itu pernikahan dari sisi agama. Sukses selaluu!

    BalasHapus

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -