- Back to Home »
- POLIGAMI »
- POLIGAMI
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Poligami adalah suatu tindakan yang sampai saat ini
menjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena perbedaan
pendapat atau pandangan masyarakat. Sebagian mereka banyak yang menganggap
kalau poligami itu merupakan suatu perbuatan negative, padahal pada hakekatnya
poligami itu diperbolehkan dalam Islam. Poligami dianggap menyakiti wanita dan
hanya menguntungkan kaum lelaki saja. Mereka memahami dengan melaksanakan
poligami tujuan yang seharusnya dalam perkawinan untuk mewujudkan rumah tangga mawaddah, sakinah dan rahmah[1]
itu tidak akan tercapai. Kemudian mereka berpendapat tujuan berkeluarga adalah
mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Poligami,
kebahagiaan dalam keluarga dapat sirna. Hal ini tentunya merugikan bagi istri
dan anak-anaknya karena mereka khawatir suami tidak akan bisa berlaku adil
terhadap istri- istrinya. Pandangan masyarakat umum terhadap poligami beragam,
ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju dengan poligami terlebih dengan
wanita yang merasa dirugikan karna harus berbagi dengan orang lain.
Dalam
kondisi tertentu poligami diperbolehkan bagi seseorang, namun dengan ketentuan syarat yang berlaku. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba memaparkan
tentang poligami, baik dari pendapat para ulama, termasuk tata cara
pelaksanaannya di Indonesia. Semua perbuatan pasti memiliki dampak bagi
pelakunya, begitupun dengan poligami. Poligami membawa dampak tersendiri bagi
orang yang berpoligami baik positif maupun negatife.
Berdasarkan uraian diatas penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai poligami
ini dengan mengambil judul “Poligami Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latarbelakang di atas maka, rumusan masalah yang akan uraikan dalam makalah ini
adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan poligami?
2. Bagaimana
perspektif
poligami menurut Al-qur’an, Al-Hadits dan undang-undang?
C. Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini sesuai
dengan rumusan masalah di atas yaitu untuk mengetahui:
1.
Pengertian poligami.!
2.
Perspektif poligami menurut Al-qur’an,
Al-Hadits dan undang-undang.!
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian poligami
Poligami
berasal dari bahasa Yunani, yaitu apoulus
yang mempunyai arti banyak serta gamos
yang mempunyai arti perkawinan. Maka ketika kata ini digabungkan akan berarti
suatu perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam
jumlah yang tidak terbatas.[2] Kata poligami hampir sama dengan poligini, dimana poligini
berasal dari kata polus yang berarti
banyak dan gene yang berarti
perempuan. Dari pengertian itu dapat di pahami bahwa yang dimaksud dengan poligami
dan poligini ialah suatu sistem perkawinan dimana yang salah satu pihak (suami)
mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya istri-istri
tersebut masih dalam tanggungan suami tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi
istrinya.[3]
Ada juga istilah poliandri, dimana yang menjadi pelaku poliandri adalah sang istri.
Jika dibandingkan dengan poliandri, lebih banyak orang yang mempraktekkan
poligami. Kebalikkan dari poligami yaitu monogami, dimana di dalam perkawinan
tersebut suami hanya mempunyai satu istri. Monogami pada kenyataanya lebih sesuai
dengan perilaku manusia.
Menurut
syari’at islam, kata poligami berasal dari ta’addud
az-zaujat mempunyai arti seorang laki-laki diperbolehkan mengawini perempuan sebanyak dua,
tiga, atau empat jika mampu berlaku adil. Jumhur ulama berpendapat bahwa
batasannya yaitu hanya empat. Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami
pergeseran sehinggah poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak,
sedangkan kata poligini sendiri tidak lazim dipakai.[4]
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja
pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada
yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa
nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil
sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang
makin tinggi kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita.[5]
Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman
perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.
B.
Poligami perspektif Al-Qur’an
dan Al-Hadits
Islam adalah agama fitrah yang yang mengatur semua
keperluan dan kehendak manusia dalam hidup berpasangan. Berasaskan kepada keadaan inilah
Islam membenarkan poligami yang merupakan amalan masyarakat turun-temurun sejak
sebelum kedatangan Islam. Karena dapat dipastikan amalan poligami lebih adil
dan dapat menjamin kesejahteraan hidup ummah seluruhnya, Islam telah menetapkan
syarat-syarat tertentu yang melaksanakan amalan yang bebas sebelum ini dan
mengambil jalan pertengahan yang lebih wajar. Syariat Islam menetapkan bahwa
seorang lelaki boleh kawin dengan lebih dari seorang perempuan tetapi tidak
melebihi empat orang.
Asas pensyariatan yang menjadi dalil utama di dalam
keharusan berpoligami ialah firman Allah SWT dalam surah An-Nisa` ayat 3 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[6]
Maksud ayat di atas berlaku adil ialah perlakuan yang sama dalam meladeni
isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun
ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum
nabi Muhammad SAW.
Poligami juga dijelaskan dalam hadits Nabi Saw di antaranya berkenaan dengan
ketidakadilan suami terhadap istri-istrinya, Nabi bersabda:
عن أَبِي هُريْرَة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله على
وسلمَ قال: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَ أَتَان فَمَالَ اِلَى اِحْدَاهُمَا جَاءَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقَهُ مَائِلُ (رواه ابودا ود والترمذى والنسائ وابن
حبَان)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW
bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah
satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring.[7]
Ajaran islam menghalalkan poligami apabila mengarah pada keadilan, dan
melarang keras atau “haram” poligami jika menimbulkan keresahan, sakit hati dan
penderitaan sang isteri yang disebabkan tindak ketidakadilan dari suaminya.
Berlaku adil terhadap para isteri merupakan sebuah kewajiban yang bersifat
mengikat dalam kesadaran pelakunya.[8]
Aturan poligami yang mengacu pada al-quran surat an-nisa’ ayat 3 ini,
diwahyukan kepada nabi Muhammad setelah perang Uhud yang mana akibat perang itu
telah menewaskan banyak laki-laki dari kaum muslimin, yang menelan korban 70
pejuan laki-laki atau jumlah itu 10% dari 700 jumlah laki-laki yang ada dan
mayoritas mereka sebagai tulang punggung keluarga.
Menurut kebanyakan mufassir surat an-nisa’ ayat 3 ini mencerminkan
realitas kedudukan perempuan dan anak yatim yang ditinggal mati oleh orangtua
dan suami mereka ketika itu. Riffat Hasan menjelaskan bahwa ayat itu merupakan azbabunnuzul
‘am (makro) yang berbicara tentang poligami. Namun Wahidi bahwa asbabunnuzul
khas (mikro) berkaitan dengan seseorang yang menikahi perempuan yatim, tapi
ia tidak dapat berbuat adil dan tidak dapat mempergauli isteri secara makruf.[9]
Batas laki-laki mau menikah lagi ada empat isteri, menurut jumhur ulama
penafsiran wa dalam kalimat wa tsulatsa wa ruba’a bermakna “atau”
bukan “dan”, yaitu dua, tiga dan empat, yang menurut arti aslinya adalah dua-dua,
tiga-tiga, empat-empat, memang menyimpang dari makna asli yang memuat qarinah,
yang menjadi qarinah untuk meninggalkan makna asal dari huruf wa dari
masna, tsulatsa, ruba’a juga dapat dijadikan sebagai bayan jika
ayat tersebut dianggap mujmal, sebab adanya kebolehan pemaknaan yaitu
boleh melebihi empat isteri bagi orang yang tidak mengakui mafhum ‘adad.[10]
Hal ini sesuai apa yang dikatakan Imam Syafi’i bahwa diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar tentang Gailan bin Salamah
al-Saqafi, seorang sahabat nabi yang masuk Islam dengan membawa sepuluh
istrinya, kemudian diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat dari mereka
adalah sebagai dalil akan kebolehan poligami. Bilangan empat yang dimaksud
adalah sebagai batas maksimal bagi seorang yang ingin melakukan poligami.[11]
Oleh karena itu Imam Syafi’I telah menetapkan persyaratan di bawah ini bagi
seorang suami yang ingin melangsungkan pernikahan poligami:
1.
Seorang laki-laki harus mempunyai
dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri
yang dinikahi.
2.
Seorang suami harus memperlakukan
isterinya dengan baik, adil tiap isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi
hak perkawinan dan juga hak-hak yang lain.[12]
Menurut
imam syafi’I yang dimaksud adil itu adalah jika suami berada ditempat isteri
yang sedang mendapat jatah untuk digilir walaupun si isteri menutup pintu dan
menolaknya dalam arti si suami wajib tidur di depan pintu pada saat itu.
Kemudian imam syafii menyebutkan bahwa suami wajib memulai menggilir istrinya
dengan mengundi, kecuali jika semua mereka rela suami memlih salah satu dari
mereka. Kemudian dalam menetapkan lama waktu menginap menurut imam Syafi’I
membolehkan suami dua atau tiga malam setiap isteri.[13]
Hal yang sama juga Imam Malik berpendapat bahwa orang yang melakukan poligami
hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini berlaku bagi suami yang
merdeka.[14]
Ahmad bin Hanbal menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki berpoligami
hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian
giliran terhadap istri-istri sehingga
tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri.
Dilain pihak seperti mazhab Zahiri, dijelaskan bahwa poligami boleh
sampai Sembilan isteri. Argumentasi mereka didasari pada huruf waw yang
tetap berpegang pada makna asli yaitu fungsinya untuk menambahkan bilangan, masna,
tsulatsa dan ruba’a tidak dapat dimaknai dengan asli, dua-dua,
tiga-tiga dan empat-empat. Waw disitu dimaknai dengan dua tambah tiga
tambah empat samadengan Sembilan. Hal ini sesuai dengan perilaku Rasulullah
yang mempunyai isteri Sembilan, qarinah yang menunjukkan arti yang
dimaksud dari masna, tsulasa, ruba’a adalah sunnah rasul yang patut
diikuti, apabila beristeri kurang dari Sembilan bukan mengikuti sunnahnya.
Khawarij berpendapat boleh berpoligami hingga delapan belas, alasannya masna
adalah dua-dua, sebab ia menunjukkan berulang-ulang hingga dua kali, tsulatsa
adalah tiga-tiga sama dengan enam dan ruba’a empat-empat sama dengan
delapan. Jadi jumlah keseluruhan adalah delapan belas, posisi waw untuk
menambahkan bilangan.[15]
Berdasarkan pemahaman di atas perkawinan lebih dari satu isteri adalah rukhsoh,
artinya kebolehan itu hanya dalam keadaan darurat. Sedangkan darurat
terbagi dua yaitu, darurat fadiyyah (individual) dan ijtimaiyah (sosial).
Parameternya adalah jika perempuan menderita penyakit yang sulit disembuhkan
atau mandul, sehingga isteri tersebut tidak bisa melakukan hubungan seks.
Banyaknya janda yang menanggung anak-anak yatim, sehingga janda dan anak-anak
itu membutuhkan suami yang mampu melindunginya. Kemudian apabila jumlah
laki-laki lebih sedikit dari jumlah perempuan. Namun demikian inisiatif untuk
menikah lagi itu bukan semata-mata ditentukan oleh pihak suami, tapi atas
persetujuan isteri pertama. Menurut ulama rukhsoh itu dikaidkan sanggup
berlaku adil.[16]
Al-qur’an surat Nisa’ ayat 3 ini seringkali ditafsirkan bergandengan
dengan ayat 129, dalam surat yang sama untuk berbicara
tentang keadilan berpoligami, interpretasi kedua ayat tersebut seringkali memunculkan kontroversi. Ada dua
pendapat yang sering kali dijadikan sumber rujukan oleh ulama klasik dan
kontemporer dalam menafsirkan ayat 3 sebagai alat yang membolehkan
poligami dan apabila khawatir untuk tidak bisa berbuat adil, maka jalan
tengahnya cukup satu isteri saja. Sedangkan ayat 129 adalah tidak ada
seorangpun manusia yang bisa berbuat adil sekalipun berusaha untuk mencapainya.
Jika realitasnya demikian, maka otomatis poligami “haram” dengan illat hukum
larangan, berpoligami adalah menghindari kecurangan artinya larangan itu
sebagai azimah. Namun sebagai ulama klasik membolehkan poligami sesuai
batasan yang telah ditetapkan dalam al-quran, yaitu seseorang bisa berbuat adil
adalah rukhsah, atas alasan darurat.[17]
Muhammad abduh pun menilai bahwa poligami itu boleh jika si suami bisa
berbuat adil, tapi jika ia ragu untuk bisa berbuat adil cukup satu saja.[18]
Penafsiran kata ankihu
mempunyai makna perintah, tetapi bukan menunjukkan bahwa poligami adalah
wajib, melainkan hanya mubah. Imam syafi’I dalam ahkamulqur’an menyebutkan bahwa ayat ini mensyaratkan kemampuan
memberi nafkah kepada isteri dan anak, sehingga kata alla ta’ulu mengandung arti “kamu tidak perlu bersusah payah
menanggung nafkah pada isteri jika kamu hanya beristeri satu saja”. Namun jika
seseorang berpoligami maka beban nafkah semakin berat. Ayat 129 menunjukkan
bahwa adil dalam membagi cinta adalah sulit, konsekwensinya suami tidak boleh mengabaikan
isteri terdahulu, tetapi tetap menggaulinya dengan cara yang ma’ruf. Perlakuan
yang baik dan adil terhadap istripun sangat dianjurkan nabi dan selalu berdo’a
“ya Allah inilah keadilan yang aku mampu maka janganlah engkau mencelakakan
karena sesuatu yang engkau mampu namun aku tidak mampu”.[19]
Keadilan secara hati nurani tidak seorangpun
mengetahuinya kecuali peribadinya sendiri dan Allah. Dalam al-quran surat Nisa’
4[20]
yaitu menjelaskan perkawinan monogami dan menjernihkan perkawinan dari unsur
hawanafsu yang bersifat sementara dan hal-hal yang menimbulkan kejemuan.
Disamping itu berlaku adil dalam mengatur waktu untuk para istri, memberi
nafkah dan lemah lembut dalam berbicara dengan mereka. Realisasi dari keadilan
tersebut dijelaskan dalam surat Yunus 10 :67[21]
yaitu lebih mengutamakan hubungan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga berdasarkan
ketentraman.
Di dalam jiwa yang satu merasa lega karena jiwa yang
lain dengan perasaan cinta dan kasih dan itulah hakekat hidup berumah tangga,
karena setiap manusia mengharapkan kehidupan yang layak dalam membina dan
memikul tanggungjawab rumahtangga, baik untuk pasangan suami isteri dan anak,
sehingga kehidupan rumah tangga
menghasilkan kualitas keluarga yang harmonis sesuai yang dicita-citakan
Q.S al-Mu’minun[22]
ayat 5-6, memuat persoalan yang urgen, pertama
halal menikah dengan perempuan merdeka dan budak kedua boleh melakukan hubungan seks dengan manusia tapi tidak
dengan binatang.[23]
C. Poligami perspektif Perundang-undangan
Kendatipun
dalam undang-undang perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di
dalam pasal 3 menyatakan “seorang peria
hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang isteri hanya boleh memiliki
seorang suami” namun pada bagian yang lain dijelaskan pada bagian tertentu
poligami diperbolehkan.
Kemudian dalam
perundang-undangan di Indonesia meskipun Islam membolehkan berpoligami, namun
tidak berarti Islam memberikan dispensasi itu secara bebas kepada setiap pria.
Dalam hal ini ada aturan-aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh mereka
yang akan melakukan poligami seperti tersebut dalam kitab-kitab Fiqh. Di
Indonesia, ketentuan tentang poligami ini diatur oleh Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan khususnya bab 1 pasal 3 sampai dengan pasal 5 dan
peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya termaktub dalam Peraturan
pemerintah No. 9 tahun 1975, bab VII, pasal 40 sampai dengan pasal 44, yang
mana kesemuanya itu mengacu pada tujuan menjaga kehormatan wanita agar tidak
terjadi adanya tindakan diluar ketentuan hukum, dengan jelas bahwa di dalam
pasal 3 Undang-undang Perkawinan tahun 1974 termaktub dengan bunyi: “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh memiliki
seorang suami.” Ungkapan ini tidak jauh dari pemahaman al-Qur’an. Artinya,
prinsip dasar dalam sistem perkawinan Islam itu adalah beristri satu
(monogami).[24]
Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang menjelaskan poligami dan tata cara pelaksanaannya
tercantum dalam beberapa pasal sebagai berikut yaitu:[25]
1.
Pasal 40 “Apabila seorang suami bermaksud
untuk beristeria lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan
secara tertulis ke Pengadilan Agama”.
2. Pasal
41 “Pengadilan selanjutnya berkewajiban
memeriksa mengenai beberapa hal yang terkait dengan pemberian izin bagi suami
untuk menikah lagi (poligami), hal-hal antara lain:
a. Ada
tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
1) bahwa
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2) bahwa
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3) bahwa
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari
isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu
merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Sidang
Pengadilan.
c. Ada
atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Surat
keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
kerja atau
2) Surat
keterangan pajak penghasilan
3) Surat
keteranagan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan
pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk
itu.
3. Pasal 42 “Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40
dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan, dan Pemeriksaan Pengadilan untuk itu
dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya”.
4. Pasal 43 “Apabila pengadilan berpendapat bahwa
cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristeri lebih dari seorang, maka
pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari
seorang”.
5.
Pasal 44 “Pegawai pencatat dilarang untuk
melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43”.
Sementara
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang mengakomudasi dari hukum
fiqh Islam yang bisa dipakai oleh umat Islam Indonesia, disebutkan pada pasal
55 ayat (2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anaknya dan (3) Apabila syarat utama
yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
BAB III
KESIMPULAN
A. Penutup
Dari
beberapa penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa pengertian poligami ialah suatu sistem
perkawinan dimana yang salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri
pada waktu bersamaan, artinya istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami
tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi istrinya, dimana kata poligami itu sendiri berasal
bahasa Yunani, yaitu apoulus yang
mempunyai arti banyak; serta gamos
yang mempunyai arti perkawinan.
Al-Qur’an dan Al-Hadits memperbolehkan melangsungkan poligami hanya dalam
keadaan rukhsoh, dengan syarat jika
suami bisa berlaku adil terhadap isterinya. Berlaku adil ialah perlakuan yang
sama dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang
bersifat lahiriyah. Namun demikian prinsip dasar dalam perkawinan dalam
al-Qur’an, al-Hadits dan Perundang-undangan
adalah seorang
suami hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang isteri hanya boleh
memiliki seorang suami (monogami), karena ditakutkan si suami tidak bisa
berlaku adil terhadap isteri-isterinya, sehingga menimbulkan keresahan,
sakit hati dan penderitaan sang isteri yang disebabkan tindak ketidakadilan
dari suaminya, jika demikian halnya maka perkawinan poligami menjadi “haram”.
DAFTAR PUSTAKA
Albani. Nashiruddin, Shahih Sunan At-Tirmidzi, kitab nikah, Jakarta:
PustakaAzam, 2006
al-qosami.
Jamaluddin, Tafsir al-qosami, Beirut:
Dar al-Fikr, t,t
Al-siba’i.
Mustafa, terj, Muhammad Muhson, Mengapa
Poligami, Jakarta: Penerbit Azan, 2002
al-Wahidi.
Ahmad, asbabunnuzul, Beirut: Maktabah
ats-tsaqafah, 1989
Andalusia.
Muhammad, Ruhulma’ani fi Tafsirilqur’an, Beirut:
dar alkutub, t.t.
Anshori. Abdul Ghofur, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fiqih dan
Hukum Positif, Yogyakarta: UII Press, 2011
Badhri. Mudofar,
Panduan Pengajaran Piqih Perempuan di
Psanteren, Yogyakarta: Yayasan Kesejahtraan Patayat, 2002
bin Anas. Malik,
Al-Muatta’, Beirut: Dar Al-Kutub
Ilmiyah, t.t
Dahlan. Aisyah, Membina
Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. Jakarta: Jamunu, 1969.
Departemen Agama RI, Al-qura’an dan Terjemahnya, Bandung:
Citra Umbara, 2005.
Departemen Agama RI, Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan dan KHI, Bandung: Citra Umbara, 2007.
Hosen. Ibrahim, Piqih Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta:
Pustaka Pirdau, 2003
Kuzari. Achmad, nikah sebagai perikatan, Jakarta: PT
Raja Grafindo, 1995.
Muhammad bin
Suah. Abu Isya, Sunan
Turmuzi, (Beirut: Dar alfikr, t.
MZ. Labib, Pembelaan Ummat Manusia, Surabaya: Bentang Pelajar, 1986.
Nasution. Khairuddin, Perdebatan
Seputar Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Kajian Tradisional dan
Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA,2004.
Nurdin. Asep, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif
Jender, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Nurdin. Asep, Hadis-hadis Tentang
Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender, Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2003
Setyaningsih. Eko Eni, Skripsi Poligami dalam Perspektif Hukum
Islam di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007.
Syafi’I. Imam, Al-Umm, Beirut: Dar Al-kutub Ilmiyah,
1993
[1] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fiqih dan
Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 6.
[2] Labib MZ, Pembelaan Ummat Manusia, (Surabaya:
Bentang Pelajar, 1986), hlm.15.
[3] Eko Eni
Setyaningsih, Skripsi Poligami dalam
Perspektif Hukum Islam di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), hlm.
26.
[6] Departemen
Agama RI, Al-qura’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Citra Umbara, 2005), hlm. 155.
[7] Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan
At-Tirmidzi, kitab nikah, (Jakarta: PustakaAzam, 2006), hal.210
[10] Muhammad
Andalusia, Ruhulma’ani fi Tafsirilqur’an,
(Beirut: dar alkutub, t.t), hlm. 401-402.
[11] Asep Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi
Pemahaman Hadis Berprespektif Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2003), hlm. 70
[12] Imam Syafi’I, Al-Umm, (Beirut: Dar Al-kutub Ilmiyah,
1993), hlm. 67.
[13] Ibid
[14] Malik bin Anas,
Al-Muatta’, (Beirut: Dar Al-Kutub
Ilmiyah, t.t), hlm. 29.
[15] Jamaluddin
al-qosami, Tafsir al-qosami, (Beirut:
Dar al-Fikr, t,t), hlm. 19.
[16] Ibrahim Hosen, Piqih Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta:
Pustaka Pirdau, 2003), hlm. 145.
[17] Ibrahim Hosen, Piqih Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta:
Pustaka Pirdau, 2003), hlm. 149.
[18] Mudofar Badhri,
Panduan Pengajaran Piqih Perempuan di
Psanteren, (Yogyakarta: Yayasan Kesejahtraan Patayat, 2002), hlm. 137.
[19] Mustafa
Al-siba’I, terj, Muhammad Muhson, Mengapa
Poligami, (Jakarta: Penerbit Azan, 2002), hlm. 61.
[20] Artinya “hendaklah
kalian para suami bergaul dengan isteri dengan cara yang ma’ruf, jika kalian
tidak menykai mereka hendaklah kalian ingat bahwa, mungkin kalian tidak
menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan di dalamnya banyak kelebihan.
[21] Artinya “dialah
yang menjadikan malam bagimu supaya kamu beristirahat di dlamnya dan menjadikan
siang untuk mencari nafkah, sesungguhnya pada demikian terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi orang yang mendengarnya.
[22] Artinya “dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri mereka atau budak
yang mereka miliki, maka mereka tiada terhina.
[23] Khairuddin
Nasution, Perdebatan Seputar Poligami
Dalam Perspektif Hukum Islam Kajian Tradisional dan Kontemporer, (Yogyakarta:
ACAdeMIA,2004).hlm.3
[24] Eko Eni
Setyaningsih, Skripsi Poligami dalam
Perspektif Hukum Islam di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), hal 39.
[25] Departemen
Agama RI, Undang-undang Republik
Indonesia No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, (Bandung: Citra
Umbara, 2007), hlm. 58.