- Back to Home »
- PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM »
- TRANSFORMASI HUKUM KELUARGA MUSLIM: TANGGUNGJAWAB NEGARA DAN PERAN INISIATIF INTERNAL
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
TRANSFORMASI HUKUM KELUARGA MUSLIM:
TANGGUNGJAWAB NEGARA DAN PERAN INISIATIF INTERNAL
(Terjemahan bebas dari artikel “Transforming
Islamic Family Law: State Responsibility and The Role of Internal Initiative”
oleh Andra Nahal Behrouz)
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Perkembangan Hukum Keluarga di Dunia Muslim
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Abdul Ghofur, S.H, M.H.
Disusun Oleh:
ERIK TAUVANI
SOMAE : 1320310046
KURSIA BTE
NAKKA : 1320310023
PROGRAM PASCASARJANA
STUDI HUKUM ISLAM KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
PENDAHULUAN 1
I. WANITA,
HAM DAN NEGARA 3
A. Women’s
Convention: Kewajiban
Hukum Untuk Mengubah Kebudayaan 3
B. Persamaan Hak Warisan
Menurut Konvensi 4
II. STUDI
KASUS DI NIGERIA UTARA 7
- Sumber dan Perkembangan Hukum Islam 7
B.
Hukum Waris Islam: Tradisi Klasik 9
C.
Praktek Warisan di Nigeria 12
D. Pembaharuan Hukum
Waris Malikiyah Melalui Perangkat Hukum Islam 13
III. PERAN
NEGARA DALAM TRANSFORMASI HUKUM DAN PRAKTEK ISLAM 15
- Memimpin Proses Perubahan 16
- Mendukung Proses Perubahan 18
KESIMPULAN 21
TRANSFORMASI
HUKUM KELUARGA MUSLIM: TANGGUNGJAWAB NEGARA DAN PERAN INISIATIF INTERNAL
Oleh: Andra
Nahal Behrouz
Abstraksi
Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (The Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) atau CEDAW umumnya
mengabaikan kekhususan budaya dalam mendukung standar universal tentang kesetaraan.
Oleh karenanya, konvensi tersebut mewajibkan negara-negar anggota untuk menghapuskan
semua hukum dan praktek-praktek yang bertentangan dengan standar ini. Menolak
faham universal dan argumen balik tersebut yang tidak mengkompromikan relatifitas
kultural, tulisan ini mendukung pendekatan mediasi – salah satu yang mengakui
persatuan namun tetap menghormati keragaman. Tulisan ini memaparkan
diskriminasi terhadap wanita dalam praktek warisan masyarakat Muslim di Nigeria
Utara sebagai masalah yang dapat diselesaikan dengan inisiatif internal dan
kerjasama antara Muslim dan aktor negara – yang bebas dari intervensi dogmatis,
baik dari dalam, dan khususnya dari luar. Kemajuan hak asasi manusia di dunia
Muslim terkait erat dengan kemungkinan pembaharuan hukum Islami. Tulisan ini beranggapan
bahwa umat Islam sendiri dapat melaksanakan pembaharuan tersebut dan membawa hukum
serta praktek mereka sesuai dengan standar internasional.
PENDAHULUAN
Selain tuntutan kebebasan beragama, pergerakan hak asasi internasional juga
menuntut persamaan derajat manusia serta penghapusan diskriminasi. Ketika hukum
agama memberikan perlindungan hak yang berbeda antara kelas manusia, hal ini
menjadi lahan kritikan. Hal ini terjadi di berbagai negara, di mana pelanggaran
hak asasi khususnya perempuan dimasukkan dalam ranah pribadi. Bahkan
pelanggaran hak tersebut dipertahankan dengan alasan ketaatan terhadap aturan
agama.
Hal yang banyak terjadi adalah praktek pelanggaran HAM, di mana komunitas
yang melakukan praktek tersebut merupakan bentuk kebudayaan yang bersumber dari
keyakinan agama. Melihat hal tersebut, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (Women’s Convention) langsung menyerukan
untuk meninggalkan hukum agama dan adat yang tidak memberikan keadilan bagi
wanita.
Di dunia Muslim, persyaratan untuk memberantas semua undang-undang dan
praktek yang mendiskriminasi wanita merupakan problema yang serius. Kritik
ditujukan pada konvensi yang dianggap tidak memahami dan menghormati tradisi
Islam. Komunitas Islam memiliki kode etik yang sangat spesifik dan pandangan
yang komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan. Di kalangan mereka
berpendapat bahwa orang muslim harus hidup dengan iman dan mentaati hukum Islam
yang memperlakukan laki-laki dan wanita secara berbeda.
Disebabkan karena sentralitas hukum keluarga Islam terhadap identitas
keagamaan masyarakat Muslim, Women’s Convetion seharusnya tidak memaksa
negara dan pihak berwajib untuk menghapus praktek yang dianggap mendiskriminasi
wanita. Bagaimanapun, mempertahankan hukum Islam merupakan kewajiban masyarakat
Muslim. Di sisi lain, praktek tersebut tidak bisa dibiar terus berkelanjutan,
mengingat pembatasan hak wanita tersebut tidak lagi sesuai dengan konteks masa
kini. Oleh karenanya diperlukan pembaharuan hukum keluarga Muslim yang dapat
menengahi konflik tersebut.
Tulisan ini berupaya mengeksplorasi kemungkinan penghapusan hukum waris
yang diskriminatif. Bagian I, mencakup garis besar kewajiban hukum substantif
dari negara anggota Women’s Convention. Bagian II menyajikan
bentuk-bentuk diskriminasi terhadap wanita dalam hukum waris Niegria Utara,
sebagai salah satu contoh kasus yang harus diselesaikan, dengan meyakinkan
masyarakat Muslim bahwa undang-undang yang diskriminatif tersebut bukanlah
unsur inti dari ajaran Islam. Bagian III menggunakan studi kasus Nigeria serta
peningkatan pergerakan Islamis untuk menggambarkan ketidak efektifan standar
HAM internasional, yang terkesan dipaksakan, serta dianggap non-legal oleh
masyarakat Muslim.
Tulisan ini kemudian menunjukkan bahwa
persyaratan konvensi untuk menghapuskan diskriminasi kewarisan tidak diperlukan
dan tidak efektif untuk meningkatkan hak dan status wanita. Sebuah proses
reformasi, yang dilakukan oleh masyarakat Muslim setempat dengan kerjasama negara,
dipandang akan menghasilkan hak-hak yang lebih berarti bagi wanita Muslim.
I. WANITA, HAM DAN
NEGARA
A. Women’s
Convention:
Kewajiban Hukum Untuk Mengubah Kebudayaan
Tidak ada prinsip hukum internasional yang secara umum mencegah semua
bentuk diskriminasi atas gender: sebuah negara yang berkewajiban melindungi dan
meninggikan hak wanita secara sukarela. Di antara usaha yang biasanya dilakukan
oleh negara adalah pernyataan ratifikasi atas perlindungan internasional atau
konvensi yang aplikatif. Dari semua perlindungan tersebut yang secara spesifik
ditujukan untuk perlindungan hak perempuan, dan merupakan hal yang paling
signifikan adalah Konvensi Wanita (Women’s Convention).
Women’s Convention mengemukakan
sekaligus memperluas ketentuan mengenai gender berdasarkan diskriminasi yang
terdapat dalam instrumen hak asasi. Tujuannya adalah untuk menaikkan hak wanita
yang tidak terbatas dalam semua aspek. Ruang lingkup konvensi tersebut meliputi
hak wanita dalam segala bidang usaha, sipil, politik, sosial, budaya, ekonomi,
publik dan swasta. Negara-negara yang telah meratifikasi Women’s Convention
secara hukum terikat untuk menjalankan ketentuan tersebut. Karena kewajiban alamiah
konvensi bersifat memaksa, konvensi tersebut bukan hanya menuntut negara untuk
menghargai hak-hak yang termuat di dalamnya, tetapi juga melakukan tindakan
afirmatif untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dilindungi.
Afirmasi tersebut menilai, sesuai konvensi pasal 2(f), mengharuskan
pengambilan dari “semua cara yang sesuai.... mengubah dan menghapuskan undang-undang,
peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif
terhadap perempuan. Di antara unsur-unsur pengecualian Women’s Convention
adalah tuntutan bahwa Negara-negara Anggota “memodifikasi atau menghapuskan”
pola budaya yang menghalangi untuk menikmati hak dasar kesetaraan laki-laki dan
wanita. Memang, konvensi adalah satu-satunya perlindungan hak asasi yang
mengenal dampak dari budaya dan tradisi pada sikap dan perilaku baik wanita dan
laki-laki. Konvensi lebih lanjut mengakui bahwa diskriminasi gender telah
berurat berakar dalam kehidupan sosial masyarakat global.
Ketentuan
Konvensi menargetkan semua hambatan bagi kemajuan wanita, baik kendala ini
secara resmi terdapat dalam level pemerintahan atau dibalik pintu rumah yang tertutup rapat. Women’s
Convention tidak memperjelas perbedaan antara publik dan pribadi, mentaati
negara dan pejabat publik, untuk memantau dan menyelesaikan masalah pribadi dan
keluarga. Pasal 2 mensyaratkan Negara-negara Anggota supaya bukan hanya
memastikan bahwa otoritas publik tidak melakukan diskriminasi, tetapi juga "
membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap
wanita oleh setiap orang, organisasi atau perusahaan." Pensyaratan ini
menjadikan implementasi konvensi sangat sgnifikan di negara-negara yang mana
hukum agama dan praktek umum secara pribadi dikelola oleh aktor lokal, yang
melestarikan ketidak setaraan antara laki-laki dan wanita.
B. Persamaan Hak
Warisan Menurut Konvensi
Oleh karena tidak adanya pasal atau ketentuan yang berbicara secara khusus
tentang hak wanita dalam harta warisan, Women’s Convention secara
implisit melindungi hak ini dengan menetapkan status hukum wanita dan menjamin
hak properti mereka. Artikel 15 menuntut Negara-negara Anggota untuk memberikan kecakapan hukum kepada
wanita setara dengan laki-laki di hadapan hukum khususnya dalam permasalahan
sipil seperti kapasitas kontrak, pengendalian properti, dan hak memilih tempat
tinggal dan domisili. Pasal ini mewajibkan negara untuk menjamin tidak adanya diskriminasi terhadap wanita dalam
akuisisi dan administrasi hak milik (real property). Dengan demikian,
aturan warisan tidak menghalangi wanita, berdasarkan jenis kelaminnya untuk
mewarisi tanah perkebunan dan mengambil alih administrasinya.
Selain itu, Pasal 16 dari konvensi menuntut langkah-langkah untuk menjamin
kesetaraan dalam pernikahan dan hubungan kekeluargaan, mencakup persamaan hak
atas properti. Dalam rekomendasi umum No.12, Komite Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan mengelaborasi implikasi pasal ini dalam persoalan warisan.
Tidak ada pernyataan bahwa hukum warisan dan praktek di berbagai negara sangat
mendiskriminasi wanita, Komite dengan tegas menyatakan bahwa “laki-laki dan
wanita yang memiliki derajat kekerabatan yang sama dengan almarhum/ah berhak atas
saham yang sama dalam tanah/perkebunan dan memiliki peringkat yang sama dalam
kewarisan.” Dengan demikian, komite tersebut menyatakan bahwa undang-undang dan
praktek yang mengabaikan wanita dan menyatakan perbedaan hak warisan,
“bertentangan dengan konvensi dan harus dihapuskan."
Oleh karena Rekomendasi Umum adalah pernyataan otoritatif dari Komite yang
menafsirkan dan mengelaborasi kewajiban hukum yang ditetapkan dalam konvensi,
pesan mereka sangat signifikan dalam menentukan sikap dan tanggungjawab pernyataan
tersebut. Dalam pandangan Rekomendasi Umum No.21, pembacaan yang tepat dari pasal,
ditargetkan oleh konvensi. Dengan demikian, bila negara-negara anggota memulai
reservasi bukan mengenai kewajiban untuk memberantas hukum agama atau
adat, praktek warisan yang diskriminatif
terhadap perempuan dalam negara mungkin tidak bertahan secara hukum.
Undang-undang dan akte yang mendiskriminasi atas dasar jenis kelamin atau
yang menyebabkan wanita dirugikan, tergolong dalam definisi diskriminasi
terhadap perempuan menurut Konvensi. Pasal 1 dari konvensi mendefinisikan
diskriminasi sebagai:
....segala pembedaan, pengecualian, atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mana memiliki efek atau
tujuan mengurangi atau menghapus pengakuan, kebahagiaan wanita, atau penggunaan
hak-hak azasi manusia dan kebebasan- terlepas dari status perkawinan mereka, atas
dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan terkait hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
apapun aspek lainnya.
Dengan larangan
diskriminasi baik disengaja maupun tidak disengaja, definisi ini berlaku dalam
praktek sipil maupun privat.
Secara jelasnya definisi ini, konvensi
akan melarang situasi berikut; situasi di mana perempuan tidak bisa berinvestasi
dalam real property (tanah) tetapi pria bisa; di mana perempuan
tidak menerima saham tanah yang sama dengan kolega pria mereka; di mana
perempuan diberikan tunjuangan yang terbatas dan pengendalian hak milik
terbatas atau hanya menerima penghasilan dari pendapatan properti almarhum; dan
di mana prinsip-prinsip kepemilikan yang setara dalam properti yang diperoleh
selama pernikahan tidak terefleksikan saat kematian pasangan. Rekomendasi umum
No.12 akan menghapus kesenjangan ini karena bertentangan dengan konvensi
terlepas dari sumber dan pembenaran di di balik hal tersebut.
II. STUDI KASUS: NIGERIA
UTARA
Republik Federal Nigeria menandatangani
Konvensi Wanita pada 23 April 1984, dan diratifikasi tanpa reservasi pada 13
Juni 1985. Walaupun perjanjian internasional bukanlah pelaksanaan dengan
sendirirnya di Nigeria, pemerintah melaksanakan dan menindaklanjuti beberapa ketentuan
konvensi . Rekomendasi Umum No.21 dan Respon Komite terhadap Laporan Periodik
Nigeria menekankan kebutuhan untuk menghapuskan praktek-praktek yang
bertentangan dengan konvensi dan pembagian tanah dan warisan yang setara bagi wanita.
Menanggapi laporan resmi dari komite, pemerintah federal Nigeria mengenakmen
Kebijakan Nasional tentang Wanita tahun 2000, yang membahas ketidaksetaraan
gender di bidang properti dan pembangunan ekonomi. Kebijakan ini mengakui bahwa
pembangunan nasional yang lebih substansial membutuhkan pemberdayaan ekonomi wanita,
sekitar satu - setengah dari populasi nasional. Ini menyatakan bahwa "kendala
yang ditimbulkan oleh hukum adat dan praktek untuk hak-hak perempuan atas tanah
baik dengan akuisisi atau warisan, harus dihilangkan."
Meskipun inisiatif kebijakan ini, dalam
laporan periodik pertama, kedua, dan ketiga kepada komite, masyarakat Nigeria mengakui bahwa budaya dan
tradisi di seluruh negeri menjadi hambatan bagi kemajuan wanita. Di Nigeria
bagian utara, yang dihuni lebih dari setengah Dari seluruh penduduk negeri ini,
penafsiran tradisional Maliki terhadap Islam sangat mempengaruhi dan menentukan
budaya dan tradisi. Nigeria Utara terdiri dari Ibukota Federal (Abuja),
termasuk sembilan belas dari tiga puluh
enam negara bagian Nigeria. Mayoritas penduduk Nigeria yang beragama Islam
tinggal di Nigeria Utara, rumah bagi populasi Muslim yang signifikan karena
daerah itu dimasukkan ke dalam Kekhalifaan Sakoto setelah Utsman, dan Jihad Fodio
pada tahun 1804. Masyarakat Hausa yang merupakan komunitas etnis terbesar di
Nigeria, merupakan jumlah yang cukup besar dari populasi Muslim di Nigeria Utara karena wilayah ini meliputi
beberapa negara warga berbahasa Hausa serta kerajaan-kerajaan.
Meskipun Nigeria adalah negara
sekuler, dua belas negara bagian di
Nigeria Utara telah resmi melembagakan hukum Islam. Hukum Islam mengatur semua
persoalan hukum pribadi dan keluarga untuk umat Muslim di Nigeria, namun ia
tidak secara langsung berlaku untuk non-Muslim, yang mana tetap bebas untuk
melaksanakan kegiatan keagamaan mereka sendiri dan adat istiadat tempat mereka
tinggal. Warisan adalah persoalan hukum negara, dan, bagi mereka yang menikah
di bawah hukum Islam, hukum waris Islam menentukan bagaimana harta mereka akan
dibagi antara hidup pewaris.
A. Sumber dan
Perkembangan Hukum Islam
Karena turunnya wahyu sebagai sumber hukum telah terhenti dengan wafatnya
Nabi Muhammad saw., masyarakat Muslim awal berkomitmen untuk mengembangkan
sumber-sumber hukum Islam (fiqh) dan teknik penafsiran yang tepat.
Pengaruh subyektifitas dan regional dalam proses ini memunculkan pendapat yang
berbeda, dan perbedaan termanifestasikan dengan berkembangnya berbagai madrasah
pemikiran (madzhab) dalam Hukum Islam. Seiring waktu, mazhab-mazhab ini
bersama-sama memformulasikan empat mazhab Sunni yang masih bertahan: Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
Mazhab-mazhab fikih Sunni tersebut sepakat menerima empat sumber fikih:
Al-Qur’an, sunah, ijma '(konsensus), dan qiyas (analogi).
Al-Qur'an, dipercayai orang Muslim sebagai firman Tuhan, secara progresif ditransmisi kepada manusia melalui Muhammad,
Rasul Tuhan. Teks Al-Qur'an tetap dan tidak berubah sejak pewahyuan. Sementara
beberapa hukum yang ditetapkan dalam teks, termasuk hukum waris, Al-Qur'an
bukan hanya teks hukum dan, lebih dari sekedar aturan-aturan hukum dapat
diterapkan dalam semua situasi, menetapkan prinsip-prinsip dasar untuk hidup
bahagia. Persoalan hukum dalam Al-Qur'an yang dilengkapi dan kadang-kadang dimodifikasi
oleh Sunnah – perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad, sebagaimana dicatat dalam
laporan yang dikonfirmasi (hadis ). Ijma’ adalah konsensus di antara
para ahli hukum Islam yang diterima kekuasaan hukumnya oleh komunitas Muslim dalam
praktek keagamaan dan kemampuan yuridis mereka. Konsensus pada poin hukum
menyebabkan poin yang konklusif pada ayat yang jelas dari Al Qur'an. Ketika
menggunakan qiyas, atau penalaran analogis, seorang ahli hukum
"menarik kesimpulan dari prinsip yang sudah jelas hukumnya dalam sebuah
preseden bahwa sebuah kasus baru tergolong dalam prinsip tersebut atau mirip
dengan preseden ini dalam hal kekuatan esensi dasar yang disebut juga sebagai
“alasan” (illat).
Metode klasik fikih telah dirancang untuk membatasi pengaruh nilai pendapat
independen tentang konten hukum dari wahyu. Landasan teologis fikih tradisional
ini berpendapat bahwa, sebagaimana Al-Qur'an adalah Firman Allah dan kehidupan
Nabi sebagai contoh dari praktek yang tepat, keselamatan manusia tergantung
pada kepatuhan hukum dan kewajiban mengungkapkannya. Ahli hukum klasik berusaha
mengembangkan sebuah metodologi hukum yang sistematis, yang akan mencegah upaya
manipulasi dan meminimalisir kecenderungan untuk memutarbalikkan sumber suci
dalam proses interpretasi.
Selain empat sumber dasar fiqh, masing-masing madrasah telah
mengembangkan berbagai perangkat sekunder dan teknik interpretasi. Meskipun
kejumudan mendesak pencegahan pengaruh
manusia, perangkat tersebut membutuhkan ahli hukum atau legislator untuk
melatih tingkat penalaran individual (ijtihad) dalam menetapkan hukum. Dalam
tradisi Maliki, sumber-sumber penalaran yang diperbolehkan mencakup 'urf
dan istishlah. 'Urf mengacu pada penghargaan terhadap adat yang
berlaku. Dalam rangka untuk diakui sebagai adat yang mengikat, praktek adat
tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan harus terjadi di
wilayah tertentu yang sedang dipertimbangkan.
Istishlah adalah
"proses pemilihan satu solusi alternatif yang dapat diterima dari yang
lainnya dikarenakan lebih sesuai dengan situasi saat itu, meskipun solusi
yang dipilih mungkin secara teknis lebih lemah dari yang ditolak.” Kebanyakan fuqaha
klasik Maliki beralasan bahwa, karena hukum-hukum Allah diturunkan untuk
manfaat kemanusiaan, kepedulian terhadap kesejahteraan, manusia harus berupaya menentukan
pilihan antara interpretasi yang berbeda dalam hukum. Karenanya, metode istishlah
membutuhkan fuqaha untuk memperhatikan kesejahteraan (mashlahah)
manusia dan memilih hukum yang menggalakkan kemashlahatan tersebut.
Hingga abad kesepuluh,
pembatasan penggunaan nalar individual (ijtihad) secara luas
dipraktekkan dalam empat mazhab ortodoks Sunni. Praktek ini kemudian tidak berkembang
– tergantikan dengan taqlid, sebuah metode penalaran yang diperlukan fuqaha
untuk menghormati preseden mazhab mereka. Setelah itu, muncullah pernyataan
bahwa "pintu ijtihad telah terutup."
B. Hukum Waris Islam:
Tradisi Klasik
Sehubungan dengan penyebaran sejarah Islam dan perkembangan politik
tertentu, berbagai wilayah negara di dunia
Islam telah menganut mazhab fikih tertentu, dan fuqaha di setiap
daerah telah menyelaraskan penerapan doktrin mazhab. Di Nigeria, seperti kebanyakan
negara di Afrika Barat, berlaku hukum mazhab Maliki, dan pengaruhnya akhirnya
menyebar dari Semenanjung Arab melalui Utara dan Afrika Barat, Mesir, Sudan,
dan bagian timur Arabia .
Metodologi Maliki secara historis memberikan penekanan untuk menjaga kesejahteraan
(mashlahah) masyarakat umum dan adat setempat (‘urf) di seluruh
dunia Muslim sebagai sumber hukum, selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dan ajaran Islam. Karena penekanan khusus pada sumber-sumber dan
perangkat-perangkat hukum tertentu, mazhab Maliki berbeda corak dan substansi
dari tiga madrasah Sunni ortodoks lainnya di berbagai bidang hukum,
termasuk masalah kewarisan.
Tidak sedikit hukum waris Islam (fara’idh) tercantum dalam Al-Qur'an
terlihat kompleks. Hukum dalam Al-Qur’an bertujuan untuk menggantikan sistem
suksesi agnatik murni (di mana hanya laki-laki yang dapat mewarisi) yang
berlangsung di Arab masa pra-Islam. Di tanah Arab pra-Islam, perempuan dan
sanak tidak bisa mewarisi, bahkan, perempuan dianggap sebagai bagian dari properti
yang akan diwarisi oleh ahli waris laki-laki. Selanjutnya, keturunan (far’u)
menerima bagian mereka sebelum garis sumber keturunan (ashl), sehingga
seorang ayah dalam sistem patriarki mungkin tidak dapat mewarisi. Nabi Muhammad
mengungkapkan hukum yang secara radikal mengubah praktek adat pra-Islam di
Arabia. Hukum baru tersebut menetapkan perkongsian saham untuk berbagai derajat
yang tidak mewarisi bawah sistem lama.
Ahli waris menurut hukum Islam dapat dibagi menjadi dua kategori umum, ‘ashaba
(agnasi laki-laki) dan ahl al-fara’idh (ahlu al-sahm). Kategori
pertama meliputi semua laki-laki yang berhubungan dengan almarhum secara
eksklusif melalui jalur laki-laki: anak laki-laki dan keturunannya, ayah dan
ayahnya ayah dalam urutan menaik, keturunan ayah, keturunan kakek dari pihak
ayah, dan keturunan dari ayah buyut dan kakek yang lebih tinggi dalam urutan
menaik. Kelima kelas ahli waris berhubungan satu sama lain secara hirarki.
Semakin jauh ke atas kelasnya, semakin rendah kesempatanmendapatkan warisan.
Dalam setiap derajat, ahli waris yang memiliki kekerabatan terdekat dengan
almarhum/ah, dapat meghalangi ahli waris yang memiliki kekerabatan jauh. Misalnya,
anak laki-laki menghalangi cucu laki-laki. Kategori kedua adalah ahl al-fara’id,
yaitu orang-orang yang mendapat bagian tertentu yang mana bagian ini disebutkan
dalam Al Qur'an. Mereka adalah anak-anak
perempuan, ayah, ibu, suami, istri, saudara-saudara laki-laki dan perempuan
sekandung, dan mereka yang memiliki hubungan darah atau saudara perempuan
almarhum.
Menurut aturan Al-Qur'an, perempuan
berhak mewarisi 1:2 nilai bagian ahli
waris laki-laki yang sederajat dengannya. Mengandalkan prinsip qawwama
(perwalian), yang mengatur bahwa laki-laki memiliki kewajiban untuk menafkahi
perempuan, para ahli hukum Islam dari semua empat madrasah menyepakati
perbedaan warisan ini. Meskipun ketidaksetaraan ini sering dikutip untuk
menunjukkan bahwa hukum Islam mengistimewakan laki-laki dari perempuan, banyak
Muslim menerima pembagian saham warisan Al-Qur’an sebagai bagian dari sistem
yang seimbang. Dalam sistem ini, masing-masing anggota dari unit keluarga
memiliki hak dan kewajiban dengan anggota keluarga yang lain tertentu.
Pembagian saham dalam Al-Qur’an sesuai dengan pembagian tanggung jawab dalam
unit keluarga.
Sementara kemampuan hubungan ini untuk mewarisi diakui oleh mazhab lain
atas dasar qiyas, para Maliki menegaskan bahwa qiyas tidak
memainkan fungsi dalam penentuan hukum waris.
Ahli waris yang tidak disebutkan ini, karena itu, tidak memiliki hak
untuk mewarisi dari almarhum. Selain itu, dalam keadaan tertentu, ahli waris yang
disebutkan dapat kehilangan hak mereka untuk mewarisi. kemudian, ahli waris
yang disebutkan dapat berkongsi tingkatan dengan kerabat yang jauh hak mewarisi.
Ajaran Imam Malik berpendapat bahwa ahli waris yang disebutkan yang telah
melakukan pembunuhan disengaja atau merupakan bagian dari komunitas agama yang
berbeda daripada almarhum/ah tidak dapat mewarisi. Jenis kelamin tidak
membentuk dasar untuk pengecualian dari warisan.
Dengan menggunakan dalil ‘urf,
hukum Islam dalam tradisi Maliki telah mencakup dan mengasimilasi kebiasaan
sosial dari berbagai daerah yang dikonversi ke dalam hukum tersebut. Kebiasaan
lokal, sikap, dan lembaga secara alami mempengaruhi penafsiran dan penerapan
hukum Islam sebagai hukum yang diterima suatu daerah. Sedangkan mereka sendiri
dipengaruhi oleh Islam dan hukumnya. Karena proses dinamis ini, konsepsi hukum
Islam yang berlaku telah menjadi hukum resmi daerah tersebut, yang mempengaruhi
sikap dan kebijakan mengenai hak dan status perempuan. Di utara Nigeria, baik
budaya Hausa maupun tradisi hukum Maliki tradisional digabungkan untuk
menentukan warisan dan hak milik dari perempuan.
C. Praktek Warisan di
Nigeria Utara
Hukum Maliki tidak melarang
saudara perempuan almarhum untuk mewarisi kepemilikan properti tanah. Namun dalam prakteknya, larangan ini berlaku. Daerah Hausa dan praktek
warisan telah memodifikasi substansi dan sifat alami hukum Islam di Nigeria
Utara, dan pertimbangan hukum Islam berdasarkan ‘urf dan kesejahteraan
manusia (mashlahah) mengakui praktek-praktek ini. Gaya hidup agraria
predominan di Nigeria, seperti di Afrika Barat lainnya, membuat kepemilikan
tanah sangat diperlukan untuk bertahan hidup . Karena tanah menjadi semakin
langka dan mahal, praktek adat tersebut mempertahankan nilai keluarga
perkebunan.
Dalam prakteknya, sistem Islam saham pasti menghasilkan, terutama perempuan
berkaitan dengan tanah, "baik kejadian ekstensif pemilik bersama kapal atau
fragmentasi yang berlebihan properti, menurut apakah ahli waris menuntut
pembagian atau tidak. "Karena nilai tradisional tinggi tanah di Nigeria,
fragmentasi ini adalah ekonomi suara. Selain itu, ada kesulitan praktis membagi
tanah. Sistem saham Islam, dipengaruhi oleh adat masyarakat dan Nomaden di Arab,
karya yang paling sukses di masyarakat dengan properti bergerak, yang mana
pembagiannya lebih mudah dibandingkan properti tanah.
Perempuan di Nigeria Utara biasanya menerima
bagian mereka warisan dari almarhum, sesuai ketentuan al-Qur’an, yaitu setengah
bagian dari laki-laki. Namun aturan umum di Nigeria Utara menetapkan bahwa
hanya ahli waris laki-laki dapat mewarisi tanah. Aturan ini berasal dari
kebiasaan Hausa, yang "mengabaikan hak wanita untuk mewarisi barang modal
berharga (dukiya) seperti tanah, peternakan atau senyawa, kecuali bila
janda bertindak sebagai wali untuk anak-anak laki-laki mereka. Pangsa pewaris
perempuan sehingga akan kerap kali tidak mencakup properti mendarat dari harta
almarhum. Selain tanah, ahli waris perempuan dapat menerima buah-buahan dan
panen dari tanah, serta uang tunai, sapi dan ternak lainnya, hak guna, dan
barang bergerak lainnya. Meskipun, menurut adat setempat, perempuan memiliki
hak mutlak untuk "buah dari pohon ekonomi" dan aset likuid lainnya,
perempuan tidak mewarisinya secara eksklusif. Baik pria maupun wanita dapat mengambil
bagian dari barang-barang tersebut dan mengakui hak lain untuk menikmati sesuai
kebutuhan mereka.
D. Pembaharuan Hukum Waris Malikiyah melalui Perangkat Hukum Islam
Pembagian warisan menurut Al-Qur’an dan praktek
pertanahan Muslim Hausa, keduanya jelas melanggar ketentuan Women’s Convention. Keduanya, menyangkal hak wanita untuk berbagi saham yang sama dengan laki-laki yang sederajat dengan mereka, dalam perkebunan dan kepemilikan tanah. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, kedua
praktik ini disetujui oleh interpretasi tradisional Maliki. Saat ini, terdapat inkonsistensi mendasar antara hukum warisan Maliki tradisional dan praktek di Utara Nigeria di satu sisi, dengan norma-norma hak asasi manusia internasional di sisi yang lain.
Reformisme Islam modern telah berusaha untuk mengidentifikasi prinsip
dinamisme dalam hukum Islam yang digunakan untuk melonggarkan cengkeraman kaku
yang telah ditandai sebagai fikih tradisional sejak munculnya taqlid. Upaya ini mengasumsikan bahwa
para ahli hukum terkemuka sepanjang sejarah Islam, ketika dipahami dengan baik,
telah memberikan pandangan yang dinamis tentang hukum Islam. Istislah, pertimbangan mashlahah (kesejahteraan),
adalah elemen fikih klasik yang digunakan sebagai dasar dinamisme dan humanisme dalam
hukum Islam oleh sejumlah reformis modern seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Dalam hukum Islam klasik, istislah terbatas digunakan hanya jika manfaat dinyatakan dalam Al-Qur'an dan hadits.
Selanjutnya, karena teori klasik yang kaku
berupaya meminimalkan pengaruh subjektivitas manusia,
pertimbangan mashlahah memainkan peran sekunder. Pertama, menurut sebagian
ulama, penerapan hukum yang ahli hukum telah diturunkan harus dikesampingkan dalam kasus di mana itu akan tertentu untuk
melakukan kejahatan universal terhadap salah satu dari lima tujuan (maqasid)
hukum. Kelima maqashid tersebut berasal dari
teks-teks wahyu yang mencakup
perlindungan hidup, keturunan, harta, agama, dan akal. Bahkan aturan Al-Qur'an dapat dikesampingkan jika, dalam situasi
tertentu, hal itu akan memberikan kemudaratan atau menghilangkan salah satu dari lima tujuan hukum. Kedua, hukum yang bersumber dari analogi (meskipun bukan hukum tertulis) bisa diperiksa untuk kesesuaian. Sesuai teori
klasik, analogi tidak sesuai (appropriate) jika aturan baru tidak memiliki
kebaikan sosial yang sama dengan aturan yang dijadikan pokok derivasi atau jika
ia dapat merusak salah satu dari lima maqashid hukum. Jika aturan dianggap tidak pantas, maka harus
dikesampingkan, bahkan jika itu adalah sebaliknya analogi yang baik.
Abduh dan Ridha memperluas ruang lingkup dan penerapan prinsip klasik mashlahah.
Pertama, metodologi reformis Abduh-Ridha mendefinisikan ulang mashlahah,
sehingga ahli hukum dapat mempertimbangkan manfaat terungkap dalam teks-teks
agama yang mendasar dan yang ahli hukum dapat mengetahui berdasarkan pengalaman
manusia (mashlahah mursala). Abduh dan Ridha bersikeras bahwa maslahah
mursalah adalah sama pentingnya dengan manfaat tekstual yang diderivasikan. Untuk alasan ini, mereka berpendapat bahwa,
setelah menentukan aturan melalui metode klasik, ahli hukum harus memeriksa
bahwa aturan tersebut sesuai dengan lima maqashid hukum dan pengamatan ahli hukum terhadap masyarakat.
Sebuah mashlahah mursala bahkan dapat menggeser aturan tekstual yang
diturunkan. Oleh karena itu, bahkan jika aturan dalam Al-Qur'an adalah tegas, seperti hukum warisan,
ahli hukum dapat memilih untuk tidak menerapkannya berdasarkan pemahamannya
untuk memajukan kesejahteraan manusia secara umum.
Metodologi Abduh-Ridha mengakui bahwa, meskipun hukum Islam berasal dari Kitab
Suci Ilahi dan sunnah Nabi, elemen interpretasi manusia terhadap sumber hukum
dipandang signifikan. Memang, hukum
Islam terutama hukum fuqaha, sebagaimana yang dibangun oleh para ahli hukum Islam telah ada dalam waktu yang
lama. Dengan demikian, Abduh dan
Ridha, seperti banyak reformis Muslim modern lainnya, bersikeras bahwa para
ahli hukum Islam harus terus terlibat dengan dan menafsirkan teks-teks fundamental,
Al-Qur'an dan hadits. Mereka berpendapat bahwa gerbang ijtihad seharusnya tidak
ditutup, dan mereka membantah keabsahan taqlid sebagai metode untuk
menentukan bagaimana Allah menginginkan manusia untuk bertindak. Dengan
demikian, reformis teologi ini dapat disebut sebagai neo-ijtihad.
Di Nigeria Utara, metodologi reformis neo-ijtihad dapat mengubah persepsi lokal hukum Islam secara
efektif. Asosiasi populis Izala, yang membawa teologi Abduh-Ridha, telah menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah utara
sejak akhir 1970-an. Izala telah menikmati banyak
kesuksesan dan popularitas, menarik banyak pendukung. Kelompok politik-agama
ini dikembangkan bertentangan dengan Islam "fundamentalis" di Nigeria
Utara, menyediakan platform bagi umat Islam untuk mengekspresikan protes mereka terhadap struktur otoritasyang mapan. Visi reformis dari organisasi Izala,
yang mempromosikan kemajuan perempuan, sesuai dengan karakteristik modernitas dan gerakan hak asasi manusia
internasional. Oleh karena itu, dapat mendorong komunitas Muslim untuk menjadikan hukum dan praktek-praktek Islam sesuai dengan
norma-norma hak asasi manusia.
III. PERAN NEGARA DALAM
TRANSFORMASI HUKUM DAN PRAKTEK ISLAM
Meskipun reformasi hukum keluarga Islam
internal memungkinkan, umat Islam tidak mungkin memodifikasi dan mereformasi prakteknya, jika hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada kemauan sendiri. Oleh karena negara anggota Women’s Convention
memiliki kewajiban internasional untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak
perempuan, negara harus mengambil peran dalam proses reformasi untuk memastikan
bahwa tugas internasionalnya terpenuhi. Peran ini, tidak dapat dilakukan dengan sifat bermusuhan dan mengancam sebagaimana yang
diamanahkan oleh Konvensi.
Negara harus berfungsi dalam kapasitas mendukung, mendorong komunitas Muslim
untuk terlibat dalam konsultasi intern tentang reformasi praktik warisan
Muslim-Hausa. Negara dapat mengembangkan program dan insentif yang mengilhami
proses reformasi, namun partisipasi negara tidak boleh bersifat memaksa atau mengancam. Pada akhirnya, jika ingin
berhasil, gerakan reformasi harus jika
ingin berhasil seluruhnya secara internal.
A. Memimpin
Proses Perubahan
Negara tidak dapat secara efektif memimpin
proses perubahan dengan memberlakukan standar HAM internasional pada komunitas
Muslim Nigeria Utara. Dalam berurusan dengan komunitas ini, seperti dengan
dunia Muslim pada umumnya, penting untuk menghargai sentralitas hukum Islam
dengan identitas Muslim. Muslim kukuh percaya bahwa mereka memiliki kewajiban
untuk melakukan setiap aspek kehidupan mereka, publik dan swasta, yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Untuk alasan ini,
tuntutan Konvensi terhadap Negara untuk menghapuskan hukum
agama dan praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan standar kesetaraan hak asasi manusia internasional adalah tidak bermoral dan tidak efektif.
1 . Moralitas.
Masalah yang terkait dengan memaksakan standar pada komunitas tertentu atas
nama hak asasi manusia diperburuk ketika pemaksaan seperti itu menghalangi
masyarakat yang dari berpegang pada prinsip-prinsip kepercayaan yang dipilihnya.
Karena hukum agama dan praktek-praktek
adat biasanya beroperasi secara independen dari struktur dan mekanisme negara,
negara bisa tidak memberantas atau mmembentuk
sifat dan isi dari undang-undang dan praktek tanpa terlibat dalam penindasan
jangka panjang dan intimidasi dari populasi tertentu. Tindakan negara tersebut
akan sepenuhnya tidak dapat diterima dari perspektif hak asasi manusia. Sistem
hak asasi manusia internasional mempromosikan hak untuk menentukan nasib
sendiri, kebebasan beragama, dan martabat manusia bagi semua. Hak-hak ini dan
nilai-nilai tidak dapat diabaikan dengan mudah, dan pemenuhan kewajiban hukum untuk menghapuskan praktek adat dan agama
seharusnya tidak mengkhianati hak asasi manusia lainnya.
2. Tidak efektif.
Warisan
kolonialisme telah meninggalkan sebagian besar Muslim Afrika, seperti anggota
tradisi budaya dan agama lainnya, ragu dan menutup diri terhadap apa yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap
agama dan otonomi mereka. Di Nigeria Utara, seperti di bagian Afrika lainnya, kesalahan penempatan hukum
"tercerahkan (enlighten)" oleh
kekuatan-kekuatan luar telah menimbulkan perlawanan sengit dan seringkali
tidak efektif dalam mengubah suatu adat istiadat.
Sunat perempuan adalah salah satu contoh dari sebuah praktek yang diperjuangkan
oleh Muslim Afrika untuk tetap
dipertahankan upaya luar berupaya memaksakan perubahan standar dan perilaku.
Beberapa negara Afrika telah gagal mencoba untuk menghapuskan sunat perempuan
dengan membuat praktek ilegal. Di Sudan, misalnya, undang-undang anti-sunat
digagas oleh penjajah yang menemukan praktek merugikan kesehatan perempuan dan
otonomi fisik. Hukum ini tidak dilengkapi dengan kampanye pendidikan atau didukung
oleh prakarsa internal. Faktanya, komunitas Muslim Sudan, seperti di dunia Islam lainnya, pada umumnya
percaya bahwa sunat perempuan bersumber dalam Islam. Untuk alasan ini, umat Islam Sudan telah menempel praktek
sebagai simbol perlawanan dan diam-diam melakukan itu meskipun perintah hukum
kolonial melarangnya.Dengan demikian,
undang-undang anti-sunat di Sudan adalah benar-benar tidak efektif dalam menghapuskan sunat perempuan; sebaliknya, hukum lebih lanjut bercokol
praktek.
Demikian halnya di Nigeria Utara,
penjajah Inggris berusaha untuk menghapuskan pembayaran zakat (religious alms tax), suatu tindakan
penting dalam tradisi Islam . Meskipun mengaku kebijakan
pemerintahan tidak langsung, yang akan memungkinkan umat Islam untuk terus hidup
dengan hukum mereka sendiri, Inggris dieksekusi keterbatasan bertahap tapi
tegas pada zakat. Inggris pertama dikenakan pajak berat dan terus meningkat
pada rakyat dalam upaya untuk membuat mereka tidak mampu membayar pembayaran tambahan zakat. Ketika hal ini dan upaya lainnya gagal untuk mencegah Muslim dari
kewajiban agama mereka, Inggris menjadikan pembayaran zakat sebagai ilegal
dengan melarang pengumpulan pajak selain yang dikenakan oleh pemerintah
kolonial. Para pemimpin Muslim setempat agresif menentang hal ini, sementara Muslim individu diam-diam
berjuang untuk melakukan pembayaran zakat mereka.
Contoh-contoh dari Sudan dan Nigeria Utara menunjukkan bahwa reformasi
hukum yang dikenakan memiliki potensi untuk meningkatkan, bukan menghilangkan,
kepatuhan terhadap praktek-praktek Islam tertentu. Dalam kedua kasus ini, komunitas Muslim menganggap hukum sebagai upaya imperialistik oleh pihak
luar untuk menghancurkan budaya agama mereka dan menolak mereka cara demikian. Oleh karenanya, upaya hukum yang tidak efektif dalam mengubah perilaku dan, pada
kenyataannya, menyebabkan digali lebih lanjut dari praktek-praktek yang
ditargetkan.
B. Mendukung
Proses Perubahan
Dalam rangka memelihara kewajiban afirmatif
untuk memastikan bahwa praktik agama dan budaya tidak mendiskriminasikan wanita, pemerintah federal Nigeria harus mendorong
dan mendukung upaya pembaharuan Islam di Nigeria Utara, dengan tujuan untuk memberikan hak waris yang sama bagi wanita. Untuk menghindari munculnya dikte dari outsider, yang dapat memicu kontraproduktif, pengklasifikasian hukum Islam yang dipandang klasik dan menindas harus dilakukan oleh anggota komunitas Muslim sendiri .
Oleh karena itu aktor negara yang berhubungan erat dengan penduduk Muslim
setempat dan dihormati oleh mereka, harus
mendapatkan kepercayaan dari ulama. Ulama sering menangani masyarakat dalam
forum publik, termasuk khotbah Jumat di masjid atau melalui ceramah-ceramah. Di Nigeria Utara, ceramah ini sering direkam dan disiarkan atau dijual melalui tape. Siaran Islam
sehari-hari di televisi dan radio Nigeria merupakan sumber utama meningkatkan
kesadaran berbagai isu. Siaran ini dapat berhasil mempromosikan agenda
reformis, di mana ulama Nigeria secara
historis menikmati pengaruh yang cukup besar dan prestise sosial .
Sejumlah besar ulama di Nigeria Utara tampaknya bersedia untuk melakukan pembaharuan hukum Islam. Menggunakan bahasa reformasi Islam dan
mempertimbangkan kesejahteraan manusia, ulama tersebut semakin terlibat dalam wacana global modern tentang
isu-isu hak asasi manusia, dan tren ini kemungkinan akan berlanjut dalam
pandangan perubahan generasi dan perkembangan terakhir. Sebagai salah satu
contoh, reformasi pemikiran ulama Izala yang bersikeras mendidik wanita Muslim, meskipun pihak
oposisi berpendapat bahwa pendidikan sekolah bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Ulama Izala' mempertahankan pendapatnya bahwa membiarkan wanita Muslim untuk tidak memahami Islam lebih berpotensi mendatangkan mafsadah, dibanding menempatkan
laki-laki dan wanita bersama-sama di dalam suatu ruang kelas.
Seperti yang banyak terbukti melalui pengalaman
masyarakat Muslim, kesuksesan gerakan pembaharuan Islam sangat bergantung pada kerjasama dari para ulama. Sebagai contoh, di Indonesia, peran
ulama memiliki pengaruh yang menentukan keberhasilan gerakan reformasi Islam di negara tersebut. Kebanyakan ulama Indonesia,
seperti halnya di Nigeria Utara, mengikuti
pemikiran reformis Abduh-Ridha. Pada awal abad kedua puluh, ulama Indonesia mencanangkan kampanye untuk membangkitkan iman umat Islam Indonesia dan memimpin mereka
untuk menghidupkan tradisi ijtihad. Kampanye
ini mencapai keberhasilan yang terbesar melalui program pendidikannya.
Pendukung pembaharu Islam di Indonesia
yang aktif dalam pendidikan; mereka melibatkan masyarakat dengan cara tradisional, menyerukan kepada
orang-orang yang tidak hanya untuk ambil bagian dalam kampanye mereka, tetapi
juga untuk merenungkan dan mempelajari ajaran agama. Meskipun kaum tradisionalis menentang gerakan ini, namun kontroversi memicu wacana intelektual yang luas serta menimbulkan
pertukaran pendapat, yang kemudian secara bertahap menarik banyak pendukung sekaligus meraih
kesuksesan.
Program pendidikan adalah kunci untuk mengubah sikap dan perilaku. Sistem
sekolah berfungsi untuk mendoktrin dan mencerahkan anak-anak serta orang dewasa. Program
pendidikan reformis telah digunakan dengan sukses di berbagai negara Muslim,
seperti Indonesia. Negara harus membantu mendanai dan membangun sekolah-sekolah
wanita
Islam yang dapat memberdayakan wanita untuk bersaing secara adil dalam masyarakat. Meskipun sekolah dengan jenis kelamin terpisah mungkin tidak diperlukan, pengaturan tersebut dapat meningkatkan dukungan masyarakat untuk
sekolah-sekolah, khususnya di kalangan masyarakat konservatif. Melalui pendidikan, wanita Muslim dapat mempelajari historisitas
praktek-praktek Islam saat ini dan memahami bahwa terdapat interpretasi alternatif. Melalui reinterpretasi ajaran agama, wanita dapat
mulai mempertanyakan kebutuhan dan keabsahan praktek yang ada. Wanita
seharusnya tidak menjadi satu-satunya yang dibina untuk pembaharuan hukum Islam. Adenda pembaharuan juga harus dimasukkan dalam
program pendidikan laki-laki.
Sementara itu, masyarakat Muslim harus
merancang dan mengoperasikan program-program tersebut. Negara
juga
dapat secara aktif mendukung dan
melengkapi upaya mereka. Untuk mendukung kampanye pendidikan, negara dapat
membantu organisasi wanita
lokal sebagi upaya untuk
memberdayakan wanita dan pembaharuan hukum. Negara juga dapat mengundang kelompok wanita lainnya, baik skala internasional dan
nasional, untuk bergabung dengan organisasi lokal. Semua aktor eksternal, baik
organisasi negara atau hak asasi manusia, harus tunduk kepada kehendak dan
agenda dari komunitas Muslim lokal. Memang, "sangat krusial, bahwa dukungan eksternal dan pengaruhnya ditugaskan untuk meningkatkan, ketimbang merusak, integritas dan kemanjuran wacana
intern. "Dengan cara ini, bantuan tidak akan dianggap sebagai invasi yang mengancam.
Untuk melengkapi kampanye pendidikan, negara dapat menyebarkan informasi
yang memperkenalkan Nigeria dengan
tujuan dan sasaran dari kampanye hak asasi manusia internasional, memfokuskan
perhatian pada pentingnya kemajuan wanita dan penerimaan universal, serta kepatuhan terhadap standar gerakan ini. Aktor lokal harus melihat relevansi
dari gerakan internasional dengan keseharian mereka, sebagaiman mereka dapat
mendapatkan keuntungan untuk dan
dari
kontribusi mereka terhadap gerakan tersebut.
Hal ini direkomendasikan sebagai tindakan alternatif bagi negara yang bergabung dengan Konvensi Wanita. Dalam Rekomendasi Umum Nomor 14, Komite merekomendasikan
suatu tindakan bagi negara-negara anggota untuk mengatasi praktik sunat perempuan. Memperhatikan
tekanan budaya dan ekonomi yang berfungsi untuk melanggengkan praktek sunat
perempuan, Komite menetapkan sejumlah tindakan yang harus diambil oleh
negara-negara anggota. "Tindakan yang tepat" tersebut meliputi: pengumpulan dan penyebaran informasi
tentang konsekuensi fisik sunat perempuan; dukungan dari organisasi-organisasi wanita yang bertugas untuk penghapusan sunat perempuan di tingkat nasional dan lokal;
dorongan dari politisi, profesional, tokoh agama dan masyarakat di semua tingkatan untuk bekerja
sama dalam mempengaruhi sikap terhadap pemberantasan sunat perempuan; dan
pengenalan program pendidikan dan pelatihan yang sesuai.
Rekomendasi ini mencerminkan pengakuan Komite terhadap sunat perempuan sebagai praktik budaya yang sudah
mengakar dalam masyarakat. Meskipun secara
eksplisit mengutuk praktek tersebut, Komite tidak memerintahkan negara-negara anggota untuk melarang praktek tersebut secara paksa. Sebaliknya, Komite menyarankan negara-negara
anggota untuk memberikan penyuluhan dan
mendorong aktor-aktor lokal, dengan harapan untuk meyakinkan mereka agar menyesuaikan hukum dan praktek mereka dengan hak asasi manusia internasional. Ini merupakan satu-satunya tindakan Komite yang harus meminta negara-negara anggota ketika berhadapan dengan semua hukum agama dan
praktek-praktek adat yang bertentangan dengan Konvensi. Dengan memberdayakan
masyarakat setempat untuk mengubah hukum-hukum dan
prakteknya sendiri dengan bantuan dari negara, Komite dapat menjamin hak-hak yang berarti bagi
perempuan.
KESIMPULAN
Hukum internasional, khususnya hak asasi manusia, didasarkan pada anggapan bahwa hal tersebut mampu mencapai legitimasi menyeluruh dan aplikasi yang universal. Premis ini
mensyaratkan bahwa prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional – didukung oleh perjanjian dan dokumen seperti Konvensi Wanita melampaui konteks budaya dan agama tertentu
dan sekaligus memberikan sanksi dalam konteks
yang unik. Legitimasi dan dukungan terhadap prinsip-prinsip ini tidak bisa dipaksakan, karena sistem hukum
internasional memerlukan persetujuan dari yang diperintah.
Agar efektif di dunia Muslim , standar hak asasi manusia harus beroperasi
dalam kerangka Islam. Richard Falk menyatakan:
Tanpa mediasi,
hak asasi manusia internasional melalui jaringan budaya, mustahil bagi norma-norma dan praktek
hak asasi manusia untuk diakui oleh masyarakat
non-Barat kecuali dalam bentuk parsial, dan sering mendistorsi derajat masyarakat tersebut - atau, lebih mirip golongan
penguasa – dalam batas tertentu menjadi ke-Barat-baratan. Pada saat yang sama, tanpa praktek-praktek
budaya dan tradisi yang diuji terhadap norma-norma hak asasi manusia
internasional, akan ada disposisi regresif terhadap retensi aspek kejam, brutal,
dan eksploitatif tradisi agama dan budaya.
Muslim sendiri terbaik dapat melaksanakan tugas mediasi antara standar hak
asasi manusia internasional dan praktik Islam. Pada akhirnya, Komite dapat
meningkatkan kepatuhan berkelanjutan dengan Konvensi Wanita dengan mendorong Negara Pihak untuk
memberdayakan masyarakat lokal untuk mereformasi hukum dan praktek mereka
sendiri dengan cara yang membawakan dengan Konvensi . Persyaratan Konvensi
untuk menghapuskan hukum waris yang diskriminatif tidak diperlukan untuk
meningkatkan hak-hak dan status wanita. Sebaliknya, dinamika budaya internal dan reformasi dapat menyelesaikan
konflik yang ada antara nilai-nilai dan lembaga-lembaga Islam dan orang-orang
yang digambarkan oleh standar HAM internasional saat ini.