- Back to Home »
- kdrt , keluarga , kepemimpinan dalam keluarga , PEMIMPIN »
- KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA
DAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas dalam mata kuliah Studi
Al-Qur’an dan Al-Hadis tentang Hukum Keluaga
Pengampu: Dr. Hamim Ilyas
Disusun Oleh:
Ahsin Dinal Mustafa (1320311065)
HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA
SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Kompilasi Hukum Islam Pasal 79 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga.”[1] Kalimat yang sama
persis juga digunakan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[2] pasal 31 ayat (3). Hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan suami di
Indonesia adalah sebagai kepala keluarga yang bisa juga disebut sebagai
pemimpin keluarga.Ketika pemimpin keluarga adalah suami, maka suami memiliki
hak dan kewajiban yang didapatkan untuk mengurus keluarga tersebut.
Bagaimanapun juga tak hanya suami, suami istri keduanya memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.[3]
Indonesia memiliki
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.[4] Ketentuan umum pasal 1 pada undang-undang tersebut menyebutkan bahwa, “Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Makalah ini merupakan
lanjutan dari urutan pembahasan sebelumnya yaitu “Kedudukan Suami, Istri dan Anak serta Hak dan
Kewajiban”. Pembahasan tersebut merinci
tentang hubungan, interaksi, dan posisi keluarga kecil yang terdiri dari suami,
istri, dan anak. Sedangkan makalah ini lebih menekankan pada konsep pemimpin
dalam keluarga dan konsep kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang ada pada
nash.
Pada awal pendahuluan, telah diketahui
sekilas tentang konsep kepemimpinan dan kekerasan dalam rumah tangga di
Indonesia. Maka bagaimanakah konsep tersebut ketika dilihat dari nash-nya
dengan menggunakan paradigm rah}mah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Terdapat beberapa arti kata “pemimpin” dalam bahasa Arab. Pemimpin dalam bahasa Arab adalah za’i>m yang
jamaknya adalah zu’ama>’ (زعيم ج زعماء),
qa>’id yang jamaknya
adalah qawwa>d (قائد ج قوّاد), dan ra’i>s yang jamaknya adalah ru’asa>’
(رئيس ج رؤساء).[5]
Al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 34 menyebutkan
kata qawwa>mu>n (قوّامون) yang merupakan bentuk jamak dari kata qawwa>m (قوّام). Qawwa>m berarti yang mempunyai kekuasaan.[6] Kata tersebut sering pula diterjemahkan dengan
arti pemimpin atau pimpinan. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata qawwa>m
diambil dari kata qa>ma (قام) berarti orang yang melaksanakan sesuatu sesempurna mungkin,
berkesinambungan, dan berulang-ulang. Menurutnya, kata qawwa>m ketika diterjemahkan
sebagai pemimpin belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, namun
kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang dikandungnya.[7]
Sebuah hadis Bukhari-Muslim melalui Abdullah
Ibnu Umar ra. Juga menyebutkan kata pemimpin dengan redaksi ra>’in (راع) yang dalam kamus juga diartikan sebagai penggembala; pengampu;
penjaga; penolong.[8]
Pengertian pemimpin
sendiri dalam ranah keluarga pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 79 ayat (1) “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga.”[9] Begitu pula dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3)
menyebutkan “Suami
adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”.[10] Jadi pemimpin menurut KHI dan Undang-Undang Perkawinan adalah suami.
Sedangkan kata “kekerasan” dalam bahasa Arab juga terdapat beberapa kata. Kekerasan dalam bahasa Arab diantaranya adalah syiddah (شدّة) dan ‘unf (عنف).[11] Bentuk kekerasan diantaranya adalah memukul. Memukul dalam bahasa
Arab adalah d{araba – yad}ribu (ضرب - يضرب).[12] Namun kata d{araba punya banyak arti. Ketika
digunakan dalam arti “memukul”-pun tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti.[13]
Sedangkan "kekerasan" menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga[14] pada Ketentuan Umum pasal 1, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
B. Dasar Hukum
1. Al-Qur’an
a. Q.S
an-Nisa’ (4) : 34
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y … [15]
b. Q.S. al-Baqarah (2) : 228
2. Hadis
a.
S}ah}i>h} al-Bukhari nomor
2409
حَدَّثَنَا أَبُو
الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى سَالِمُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ ) كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَالإِمَامُ
رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ فِى أَهْلِهِ رَاعٍ ،
وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا
رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالْخَادِمُ فِى مَالِ سَيِّدِهِ
رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ([17]
b.
S}ah}i>h} Musli>m nomor
1829
حدثنا قتيبة بن
سعيد حدثنا ليث ح وحدثنا محمد بن رمح حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر : عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال ( ألا
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيته
والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بَعلها وولده وهي
مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن
رعيته )[18]
C. Analisis Pembahasan
1. Kepemimpinan dalam Keluarga
Allah menciptakan sesuatu itu berpasang-pasangan. Perempuan untuk
mendampingi laki-laki, begitu pula sebaliknya. Jikalau ada perbedaan, keduanya
akan saling melengkapi. Al-Baqarah (2) : 187 merupakan statemen tentang kesetaraan
perempuan dan laki-laki.[19]
.... £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 ...
Secara tekstual, yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa’ (4) : 34 dapat disimpulkan bahwa
pemimpin dalam keluarga adalah suami. Hal
ini dapat dipahami dari kata ar-rija>l (الرّجال) yang merupakan bentuk jamak dari rajul (رجل) yang berarti lelaki.
Meski demikan, ada yang berpendapat bahwa kata ar-rija>l
dalam bahasa Arab bahkan bahasa al-Qur’an tidak digunakan dalam arti suami.
Berbeda dengan kata an-nisa>’
dan imra’ah yang
biasa digunakan untuk makna istri. Menurut
Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur awal dari ayat tersebut membahas secara umum
tentang pria dan wanita, juga sebagai pendahuluan bagi pembahasan selanjutnya
pada ayat itu yaitu
tentang sikap dan
sifat istri-istri yang salehah.[20]
Penggunaan kata qawwa>mu>n
diartikan sebagai “pemimpin” belum menggambarkan seluruh makna yang
dikehendaki. Jika diharuskan qawwa>mu>n diartikan sebagai
“pemimpin”, maka “kepemimpinan” disini tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian,
pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.[21]
Asghar Ali Engrineer berpendapat
tentang Q.S. an-Nisa’ (4) : 34 tersebut
bahwa secara normatif al-Qur’an menetapkan kesetaraan status antara laki-laki
dan perempuan. Namun, secara kontekstual (sosio-kultural) mengakui adanya
superioritas laki-laki atas perempuan, terutama dalam pengertian sosio-ekonomi.[22]
Menurut Quraish Shihab,
dalam konteks ini terdapat dua hal pokok mengenai tugas kepemimpinan. Pertama,
dalam konteks qawwa>mah keistimewaan yang dimiliki laki-laki
lebih sesuai untuk menjalankan tugas tersebut (terutama masalah fisik dan
psikis) meski masing-masing jenis kelamin memiliki keistimewaannya
sendiri-sendiri. Kedua, karena laki-laki telah menafkahkan sebagian
harta mereka. Jadi jika suami tidak mampu menjalankan dua hal pokok
tersebut, maka bisa saja kepemimpinan rumah tangga beralih kepada istri.[23]
Hadis yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa …istri adalah pemimpin di
rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya… . Karena itu bisa saja seorang
perempuan secara resmibukan “kepala” rumah tangga, tapi ia dapat menjadi
“pemimpin” bagi rumah tangga itu melalui pengaruhnya.[24]
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Selain membahas
tentang masalah pemimpin, Q.S. an-Nisa’ (4) : 34 juga seakan melegalkan kekerasan yang dilakukan oleh suami
terhadap istri. Bahkan jika kita melihat beberapa asbabun nuzul ayat ini, semuanya
memperkuat pelegalan kekerasan itu. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dari Hasan, dia berkata bahwa “seorang perempuan datang kepada Rasulullah
untuk mengadukan suaminya karena telah memukulnya. Maka Rasulullah
bersabda,”Hukum qishas”. Lalu Allah menurunkan “Kaum laki-laki menjadi
pemimpin atas kaum wanita… .”. demikianlah perempuan itu kembali tanpa
qisas. Begitupula kisah serupa yang di riwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Juraij,
dan Ibnu Mardawaih.[25]
Masih secara tekstual, Q.S. al-Baqarah (2) : 228 juga mendukung dari Q.S. an-Nisa’ (4) : 34, yaitu laki-laki (suami) adalah pemimpin dari para
istri. Hal itu dikarenakan para suami “derajatnya lebih tinggi”. Padahal menurut M. QuraishShihab, “derajat” itu adalah
kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban
istri.[26] Jadi, qawwa>mah / kepemimpinan yang dianugerahkan oleh Allah tidakboleh
menyebabkan terjadinya kesewenang-wenangan. Jika
terjadi persoalan, al-Qur’an menganjurkan untuk melakukan “musyawarah”.[27] Sebagaimana termaktub dalam Q.S. at-Talaq (65) : 6,
Jika musyawarah
telah dilakukan dan tidak mendapatkan jalan keluar, sedangkan istri nusyuz
atau menentang dan membangkang, maka dari terdapat tiga tahapan yang terdapat
pada Q.S. an-Nisa’ (4) : 34. Ketiga tahap
itu adalah nasihat, menghindari hubungan seks,
dan memukul. Meski ketiganya dihubungkan dengan huruf wawu (و) yang biasa diterjemahken dengan dan, namun penyusunan
langkah-langkah sebagaimana bunyi teks member kesan bahwa itulah urutan langkah
yang harus ditempuh.[29]
Langkah ketiga (memukul) adalah langkah terakhir bagi
pemimpin rumah tangga, itupun dalam rangka tarbiyah, bukan diartikan
sebagai sesuatu yang tidak terpuji. Rasuullah bersabda, “Jangan memukul
wajah dan jangan pula menyakiti”.[30]
Khoiruddin
Nasution dalam bukunya merinci prinsip-prinsip perkawinan.[31] Diantara prinsip tersebut terdapat prinsip “Menghindari Adana
Kekerasan” baik segi fisik maupun psikis. Dasar yang dipakai pada prinsip ini
adalah Q.S. an-Nisa’ (4) : 19,
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa:
1. Secara umum, pemimpin dalam rumah
tangga adalah suami. Namun ada yang berpendapat bahwa ar-rija>l disini adalah sikap dan sifat laki-laki yang
dapat menjadi seorang pemimpin. Terlepas dari alat kelaminnya perempuan ataupun
laki-laki. Quraish Shihab sendiri berpegang pada dua hal. Pertama
kepemimpinan disini dalam konteks keistimewaan yang khusus ada pada laki-laki
untuk menjadi pemimpin (baik segi fisik maupun psikis). Kedua, karena
laki-laki menafkahkan sebagian harta mereka. Ketika kedua hal ini tidak bisa
dilakukan suami, maka istri bisa jadi yang menjadi pemimpin rumah tangga.
2. Nabi sangatlah menghargai
perempuan.terbukti dengan adanya asbabun nuzul yang menunjukkan betapa
ingin melindunginya Nabi kepada kaum perempuan. Namun ketika perempuan telah
melewati batas, maka Islam memperbolehkan memukul, tapi dengan tahap-tahap
tertentu. Sebelumnya, jika ada masalah, al-Qur’an memerintahkan untuk
bermusyawarah. Jika tetap tidak bisa, maka pertama, beri nasihat. Kedua,
menghindari hubungan seks. Ketiga, merupakan langkah terakhir yaitu
dengan memukul. Itupun dengan tatacara yang telah diajarkan dalam hadis, yaitu
tidak memkul wajah dan tidak berniat untuk menyakiti apalagi
mendzalimi, melainkan adalah sebagai tarbiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia, cetakan IX, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan
Hukum Positif, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011
al-Bukhari
Abu Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah, S}ah}i>h}
al-Bukhari, cetakan
VI, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2009
http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses 20 November 2013.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm diakses 20 November 2013.
http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/hjxo1360852929.pdf diakses 20 November 2013.
al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyut}I, Tafsir
Jalalain, terjemah: Bahrun Abubakar cetakan VII, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2009
Munawwir, Achmad Warson dan Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Kamus
Indonesia-Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007
an-Naisabury, Muslim bn al-Huja>j Abu al-Husain al-Qasyiry, S}ah}i>h}
Muslim, Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Araby, tt.
Nasution,
Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam
Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009
-------, Hukum Perkawinan I Dilengkapi Perbandingan Undang-Undang
Negara Mslim Kontemporer, edisi revisi, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA,
2005
-------,
Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta:
ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010
Shihab, M. Quraish, Perempuan, cetakan VII, Jakarta: Lentera
Hati, 2011
-------, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an , cetakan
III Jakarta: Lentera Hati, 2010
[3] Abdul
Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011), hlm.82.
[5] Achmad
Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2007), hlm. 673.
[6] Imam
Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyut}I, Tafsir Jalalain,
terjemah: Bahrun Abubakar cetakan VII, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009),
hlm. 330.
[7] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol.
2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 511-512.
[8] Atabik
Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cetakan IX (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2004), hlm. 946.
[11] Achmad
Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2007), hlm. 429.
[13] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol.
2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 519.
[15] Terjemah: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya ... .”
[16] Terjemah: “…Para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya…”
[17] Abu Abdillah Muhammad
Ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah al-Bukhari, S}ah}i>h} al-Bukhari, cetakan VI (Lebanon: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2009), hlm. 434.
[18] Muslim
bn al-Huja>j Abu al-Husain al-Qasyiry an-Naisabury, S}ah}i>h} Muslim,
(Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Araby, tt.), hlm. 1459.
[19] Khoiruddin Nasution, Hukum
Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 246.
[20] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol.
2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 511.
[22] Khoiruddin Nasution, Pengantar
dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta:
ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010), hlm. 124.
[25] Lihat
asbabun nuzul yang ada pada Tafsir Jalalain, terjemah: bahrun Abubakar,
jilid 1, cetakan VII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm. 400-401.
[29] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol.
2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 517-518.
[31] Khoirudin
Nasuton, Hukum PerkawinanI Dilengkapi Perbandingan Undang-Undang Negara
Mslim Kontemporer, edisi revisi, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA,
2005), hlm. 56-68.