Posted by : Unknown Minggu, 07 Desember 2014



KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA
DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas dalam mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis tentang Hukum Keluaga

Pengampu: Dr. Hamim Ilyas


Disusun Oleh:
Ahsin Dinal Mustafa (1320311065)



HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013


BAB I
PENDAHULUAN

Kompilasi Hukum Islam Pasal 79 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[1] Kalimat yang sama persis juga digunakan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[2] pasal 31 ayat (3). Hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan suami di Indonesia adalah sebagai kepala keluarga yang bisa juga disebut sebagai pemimpin keluarga.Ketika pemimpin keluarga adalah suami, maka suami memiliki hak dan kewajiban yang didapatkan untuk mengurus keluarga tersebut. Bagaimanapun juga tak hanya suami, suami istri keduanya memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.[3]
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.[4] Ketentuan umum pasal 1 pada undang-undang tersebut menyebutkan bahwa, “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Makalah ini merupakan lanjutan dari urutan pembahasan sebelumnya yaitu “Kedudukan Suami, Istri dan Anak serta Hak dan Kewajiban”. Pembahasan tersebut merinci tentang hubungan, interaksi, dan posisi keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak. Sedangkan makalah ini lebih menekankan pada konsep pemimpin dalam keluarga dan konsep kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang ada pada nash.
Pada awal pendahuluan, telah diketahui sekilas tentang konsep kepemimpinan dan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia. Maka bagaimanakah konsep tersebut ketika dilihat dari nash-nya dengan menggunakan paradigm rah}mah?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Terdapat beberapa arti kata pemimpin dalam bahasa Arab. Pemimpin dalam bahasa Arab adalah  za’i>m yang jamaknya adalah zu’ama>’  (زعيم ج زعماء), qa>’id yang jamaknya adalah qawwa>d (قائد ج قوّاد), dan ra’i>s yang jamaknya adalah ru’asa>’  (رئيس ج رؤساء).[5]
Al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 34 menyebutkan kata qawwa>mu>n (قوّامون) yang merupakan bentuk jamak dari kata qawwa>m (قوّام). Qawwa>m berarti yang mempunyai kekuasaan.[6]  Kata tersebut sering pula diterjemahkan dengan arti pemimpin atau pimpinan. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata qawwa>m diambil dari kata qa>ma  (قام) berarti orang yang melaksanakan sesuatu sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang. Menurutnya, kata qawwa>m ketika diterjemahkan sebagai pemimpin belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, namun kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang dikandungnya.[7]
Sebuah hadis Bukhari-Muslim melalui Abdullah Ibnu Umar ra. Juga menyebutkan kata pemimpin dengan redaksi ra>’in (راع) yang dalam kamus juga diartikan sebagai penggembala; pengampu; penjaga; penolong.[8]
Pengertian pemimpin sendiri dalam ranah keluarga pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 79 ayat (1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[9] Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3) menyebutkan “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”.[10] Jadi pemimpin menurut KHI dan Undang-Undang Perkawinan adalah suami.
Sedangkan kata “kekerasan” dalam bahasa Arab juga terdapat beberapa kata. Kekerasan dalam bahasa Arab diantaranya adalah syiddah (شدّة) dan ‘unf  (عنف).[11] Bentuk kekerasan diantaranya adalah memukul. Memukul dalam bahasa Arab adalah d{arabayad}ribu (ضرب - يضرب).[12] Namun kata d{araba punya banyak arti. Ketika digunakan dalam arti “memukul”-pun tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti.[13]
Sedangkan "kekerasan" menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga[14] pada Ketentuan Umum pasal 1, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

B.     Dasar Hukum
1.      Al-Qur’an
a.        Q.S an-Nisa’ (4) : 34
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y [15] 

b.      Q.S. al-Baqarah (2) : 228
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ [16]

2.      Hadis
a.       S}ah}i>h} al-Bukhari nomor 2409
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ ) كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَالإِمَامُ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ فِى أَهْلِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالْخَادِمُ فِى مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ([17]

b.      S}ah}i>h} Musli>m nomor 1829
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا ليث ح وحدثنا محمد بن رمح حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر  : عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال ( ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيته والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بَعلها وولده وهي مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته )[18]



C.    Analisis Pembahasan
1.      Kepemimpinan dalam Keluarga
Allah menciptakan sesuatu itu berpasang-pasangan. Perempuan untuk mendampingi laki-laki, begitu pula sebaliknya. Jikalau ada perbedaan, keduanya akan saling melengkapi. Al-Baqarah (2) : 187 merupakan statemen tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki.[19]
.... £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 ...
Secara tekstual, yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa’ (4) : 34 dapat disimpulkan bahwa pemimpin dalam keluarga adalah suami. Hal ini dapat dipahami dari kata ar-rija>l (الرّجال) yang merupakan bentuk jamak dari rajul (رجل) yang berarti lelaki.
Meski demikan, ada yang berpendapat bahwa kata ar-rija>l dalam bahasa Arab bahkan bahasa al-Qur’an tidak digunakan dalam arti suami. Berbeda dengan kata an-nisa>’ dan imra’ah yang biasa digunakan untuk makna istri. Menurut Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur awal dari ayat tersebut membahas secara umum tentang pria dan wanita, juga sebagai pendahuluan bagi pembahasan selanjutnya pada ayat itu yaitu tentang sikap dan sifat istri-istri yang salehah.[20]
Penggunaan kata qawwa>mu>n diartikan sebagai “pemimpin” belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki. Jika diharuskan qawwa>mu>n diartikan sebagai “pemimpin”, maka “kepemimpinan” disini tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.[21]
Asghar Ali Engrineer berpendapat tentang Q.S. an-Nisa’ (4) : 34 tersebut bahwa secara normatif al-Qur’an menetapkan kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Namun, secara kontekstual (sosio-kultural) mengakui adanya superioritas laki-laki atas perempuan, terutama dalam pengertian sosio-ekonomi.[22]
Menurut Quraish Shihab, dalam konteks ini terdapat dua hal pokok mengenai tugas kepemimpinan. Pertama, dalam konteks qawwa>mah keistimewaan yang dimiliki laki-laki lebih sesuai untuk menjalankan tugas tersebut (terutama masalah fisik dan psikis) meski masing-masing jenis kelamin memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Kedua, karena laki-laki telah menafkahkan sebagian harta mereka. Jadi jika suami tidak mampu menjalankan dua hal pokok tersebut, maka bisa saja kepemimpinan rumah tangga beralih kepada istri.[23]
Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa …istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya… . Karena itu bisa saja seorang perempuan secara resmibukan “kepala” rumah tangga, tapi ia dapat menjadi “pemimpin” bagi rumah tangga itu melalui pengaruhnya.[24]

2.      Kekerasan dalam Rumah Tangga
Selain membahas tentang masalah pemimpin, Q.S. an-Nisa’ (4) : 34 juga seakan melegalkan kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Bahkan jika kita melihat beberapa asbabun nuzul ayat ini, semuanya memperkuat pelegalan kekerasan itu. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Hasan, dia berkata bahwa “seorang perempuan datang kepada Rasulullah untuk mengadukan suaminya karena telah memukulnya. Maka Rasulullah bersabda,”Hukum qishas”. Lalu Allah menurunkan “Kaum laki-laki menjadi pemimpin atas kaum wanita… .”. demikianlah perempuan itu kembali tanpa qisas. Begitupula kisah serupa yang di riwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Juraij, dan Ibnu Mardawaih.[25]
Masih secara tekstual, Q.S. al-Baqarah (2) : 228 juga mendukung dari Q.S. an-Nisa’ (4) : 34, yaitu laki-laki (suami) adalah pemimpin dari para istri. Hal itu dikarenakan para suami “derajatnya lebih tinggi”. Padahal menurut  M. QuraishShihab, “derajat” itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri.[26] Jadi, qawwa>mah / kepemimpinan yang dianugerahkan oleh Allah tidakboleh menyebabkan terjadinya kesewenang-wenangan. Jika terjadi persoalan, al-Qur’an menganjurkan untuk melakukan “musyawarah”.[27] Sebagaimana termaktub dalam Q.S. at-Talaq (65) : 6,
(#rãÏJs?ù&ur …. /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ….[28]
Jika musyawarah telah dilakukan dan tidak mendapatkan jalan keluar, sedangkan istri nusyuz atau menentang dan membangkang, maka dari terdapat tiga tahapan yang terdapat pada Q.S. an-Nisa’ (4) : 34. Ketiga tahap itu adalah nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul. Meski ketiganya dihubungkan dengan huruf wawu (و) yang biasa diterjemahken dengan dan, namun penyusunan langkah-langkah sebagaimana bunyi teks member kesan bahwa itulah urutan langkah yang harus ditempuh.[29]
Langkah  ketiga (memukul) adalah langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga, itupun dalam rangka tarbiyah, bukan diartikan sebagai sesuatu yang tidak terpuji. Rasuullah bersabda, “Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti”.[30]
Khoiruddin Nasution dalam bukunya merinci prinsip-prinsip perkawinan.[31] Diantara prinsip tersebut terdapat prinsip “Menghindari Adana Kekerasan” baik segi fisik maupun psikis. Dasar yang dipakai pada prinsip ini adalah Q.S. an-Nisa’ (4) : 19,
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ... [32]



BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Secara umum, pemimpin dalam rumah tangga adalah suami. Namun ada yang berpendapat bahwa ar-rija>l disini adalah sikap dan sifat laki-laki yang dapat menjadi seorang pemimpin. Terlepas dari alat kelaminnya perempuan ataupun laki-laki. Quraish Shihab sendiri berpegang pada dua hal. Pertama kepemimpinan disini dalam konteks keistimewaan yang khusus ada pada laki-laki untuk menjadi pemimpin (baik segi fisik maupun psikis). Kedua, karena laki-laki menafkahkan sebagian harta mereka. Ketika kedua hal ini tidak bisa dilakukan suami, maka istri bisa jadi yang menjadi pemimpin rumah tangga.
2.      Nabi sangatlah menghargai perempuan.terbukti dengan adanya asbabun nuzul yang menunjukkan betapa ingin melindunginya Nabi kepada kaum perempuan. Namun ketika perempuan telah melewati batas, maka Islam memperbolehkan memukul, tapi dengan tahap-tahap tertentu. Sebelumnya, jika ada masalah, al-Qur’an memerintahkan untuk bermusyawarah. Jika tetap tidak bisa, maka pertama, beri nasihat. Kedua, menghindari hubungan seks. Ketiga, merupakan langkah terakhir yaitu dengan memukul. Itupun dengan tatacara yang telah diajarkan dalam hadis, yaitu tidak memkul wajah dan tidak berniat untuk menyakiti apalagi mendzalimi, melainkan adalah sebagai tarbiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cetakan IX, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004

Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011

al-Bukhari Abu Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah, S}ah}i>h} al-Bukhari, cetakan VI, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2009


http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm diakses 20 November 2013.

http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/hjxo1360852929.pdf diakses 20 November 2013.

al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyut}I, Tafsir Jalalain, terjemah: Bahrun Abubakar cetakan VII, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009

Munawwir, Achmad Warson dan Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007

an-Naisabury, Muslim bn al-Huja>j Abu al-Husain al-Qasyiry, S}ah}i>h} Muslim, Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Araby, tt.

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009

-------, Hukum Perkawinan I Dilengkapi Perbandingan Undang-Undang Negara Mslim Kontemporer, edisi revisi, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2005

-------, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010

Shihab, M. Quraish, Perempuan, cetakan VII, Jakarta: Lentera Hati, 2011
-------, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an , cetakan III Jakarta: Lentera Hati, 2010 


[2] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm diakses 20 November 2013.
[3] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011), hlm.82.
[4] http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/hjxo1360852929.pdf diakses 20 November 2013.
[5] Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 673.
[6] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyut}I, Tafsir Jalalain, terjemah: Bahrun Abubakar cetakan VII, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm. 330.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol. 2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 511-512.
[8] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cetakan IX (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004), hlm. 946.
[10] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm diakses 20 November 2013.
[11] Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 429.
[12] Ibid., hlm. 691.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol. 2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 519.
[14] http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/hjxo1360852929.pdf diakses 20 November 2013.
[15] Terjemah: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya ... .”
[16] Terjemah: “…Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya
[17] Abu Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah al-Bukhari, S}ah}i>h} al-Bukhari, cetakan VI (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2009), hlm. 434.
[18] Muslim bn al-Huja>j Abu al-Husain al-Qasyiry an-Naisabury, S}ah}i>h} Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Araby, tt.), hlm. 1459.
[19] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 246.
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol. 2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 511.
[21] M. Quraish Shihab, Perempuan, cetakan VII (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm. 368.
[22] Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010), hlm. 124.
[23] M. Quraish Shihab, Perempuan, cetakan VII (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm. 368.
[24] Ibid., hlm. 371.
[25] Lihat asbabun nuzul yang ada pada Tafsir Jalalain, terjemah: bahrun Abubakar, jilid 1, cetakan VII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm. 400-401.
[26] M. Quraish Shihab, Perempuan, cetakan VII (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm. 369.
[27] Ibid., hlm. 368.
[28] Terjemah: … dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik.. .
[29] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol. 2, cetakan III (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm. 517-518.
[30] Ibid., hlm. 519.
[31] Khoirudin Nasuton, Hukum PerkawinanI Dilengkapi Perbandingan Undang-Undang Negara Mslim Kontemporer, edisi revisi, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2005), hlm. 56-68.
[32] Terjemah: .. bergaullah dengan mereka dengna cara yang baik… .

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -