Posted by : Unknown Minggu, 07 Desember 2014



DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..................           1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………..........          2
1.      Latar Belakang Masalah……………………………………………………………..      2
2.      Rumusan Masalah……………………………………………………………………      2
3.      Tujuan penelitian…………………………………………………………………….       3
PEMBAHASAN…………………………………………………………………….............          4
1.      Pengertian Filsafat Hukum Islam…………………………………………………           4
2.      Rahasia/Hikmah Larangan Kawin Rada’ah Persfektif Filsafat Hukum Islam…..             5
3.      Larangan Kawin Rada’ah Persfektif al-Maqasid Syari’ah………………………..         9
PENUTUP……………………………………………………………………......................    12
1.      Kesimpulan ………………………………………………………………………….    12











A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Filsafat merupakan suatu ilmu yang dianggap sebagai akar dari ilmu-ilmu yang berkembang di dunia, dikarenakan filsafat merupakan ilmu yang paling tua dan satu-satunya ilmu yang ada pada saat itu. Filsafat pada intinya berbicara tentang hakikat sesuatu secara mendasar, sehingga membicarakan tentang Filsafat Hukum Islam, selalu akan membicarakan perihal hukum islam dalam tataran yang cukup mendasar.
Filsafat Hukum Islam adalah seni bertanya, mengapa ini begini mengapa itu begitu, kenapa tidak begini dan kenapa tidak begitu.? Pertanyaan demikian adalah spirit dan inti filsafat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para filsuf melahirkan jawaban-jawaban yang serius dan berimplikasi besar yang kemudian mempengaruhi cara pandang manusia dalam melihat dan mengerti kompleksitas kehidupan. Dan utuk mengetahui rahasia perlu adanya upaya mendalam tentang hakikat dari hukum islam. Setelah mengetahui hukum islam maka kitapun dapat menemukan hikmah dari ditetapkannya hukum tersebut.
Fenomena yang melibatkan filsafat dalam Hukum Islam juga adalah bagaimana Hukum Islam (syari’ah) itu secara konkrit dapat diaplikasikan oleh situasi dan kondisi suatu masyarakat secara nyata. Demikian itulah yang sebenarnya menjadi tujuan utama Al-Qur’an, yaitu tegaknya sebuah tata sosial yang bermoral, adil, dan dapat survive di muka bumi. Dengan demikian, dalam makalah ini akan dibahas “larangan kawin yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) persfektif filsafat hukum Islam”. Namun demikian, berhubung pembahasan larangan kawin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat banyak, maka dalam pembahasan ini, hanya mempokuskan “larangan perkawinan tentang rada’ah persfektif filsafat hukum Islam”.
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian Filsafat Hukum Islam.?
b.      Apa rahasia di balik larangan nikah rada’ah perfektif Filsafat Hukum Islam?
c.       Bagaimana larangan kawin rada’ah persfektif al-maqasidussyari’ah.?

3.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
d.      Apa pengertian Filsafat Hukum Islam.?
e.       Apa rahasia di balik larangan nikah rada’ah perfektif Filsafat Hukum Islam?
f.       Bagaimana larangan kawin rada’ah persfektif al-maqasidussyari’ah.?
















B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Filsafat Hukum Islam
Menurut Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, agama dan dogma) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[1] Sedangkan menurut Aristoteles filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenarn, yang didalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika atau ilmu yang menyelidiki sebab dan asas segala benda.
Sedangkan hukum adalah semua aturan-aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang dibuat maupun diakui oleh negara sebagai pedoman tingkah laku masyarakat yang memiliki sanksi yang tegas dan nyata bagi yang melanggarnya. Ada beberapa istilah dalam hukum (1) Teori Hukum, adalah teori yang terdiri atas seperangkat prinsip-prinsip hukum yang menjadi pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum tersebut dapat dilaksanakan di dalam praktek kehidupan masyarakat. (2) Asas Hukum, adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum dasar-dasar umumtersebut mengandung nilai-nilai etis. Politik Hukum adalah perwujudan kehendak dari pemerintah Penyelenggaraan Negara mengenai hukum yang belaku di wilayahnya dan kearah mana kukum itu dikembangkkan. (3) Kaedah Hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang sehingga berlakunya dapat dipertahankan. Dan (4) Praktik Hukum adalah pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit.[2]
Sedangkan kata “Hukum Islam” dalam al-Qur’an maupun al-Hadis sebenarnya istilah-istilah ini tidak ada dijumpai yang digunakan adalah kata syari’at. Secara harfiah syari’ah artinya jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya dalam al-qur’an di artikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama Usul al-fiqh, syariah adalah titah (khitab) Allah berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim,balig,dan berakal sehat), baik berupa tuntutan,pilihan,atau perantara (sebab, syarat,atau penghalang).[3]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami filsafa hukum Islam  adalah upaya pemikiran manusia secara maksimal untuk memahami rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyari’atan hukum Tuhan, dengan tidak meragukan substansi hukum itu sendiri sebagaimana pendekatan filsafat hukum pada umumnya. Filsafat hukum Islam juga dapat dipahami upaya menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.
2.      Rahasia/Hikmah Larangan Kawin Rada’ah Persfektif Filsafat Hukum Islam
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai perfektif Filsafat Hukum Islam tentang larangan kawin karena rada’ah[4] terlebih dahulu dijelaskan larangan kawin rada’ah itu sendiri sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terdapat pada pasal 8 huruf (d) Perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. Hal yang sama dijelaskan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perkawinan dilarang antara dua orang yang karena pertalian sesusuan: (a) dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; (b) dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; (c) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; (d) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; dan (e) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Sesuai dengan pokok pembahasan ini “hikmah larangan kawin rada’ah”, maka hikmah adalah pemahaman dan akal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hikmah merupakan satu kondisi dan tipologi pencerapan dan pencerahan yang bersandar pada ilmu yang sejatinya adalah milik Allah. Hikmah adalah sampainya kepada kebenaran dan realitas melalui media ilmu dan akal. Hikmah yang sering disebut oleh para ulama mujtahid sebagai Asror al-Ahkam, secara etimologis berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu pengetahuan sempurna, bijaksana, dan sesuatu yang bergantung kepadanya akibat suatu yang terpuji. Adapun secara terminologi adalah suatu motifasi dalam pensyari'atan hukum dalam rangka mencapai suatu kemashlahatan atau menolak suatu kemafsadatan.
Filsafat Hukum Islam melihat bahwa larangan perkawinan karena rada’ah[5] yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas, bahwa ketentuan larangan kawin karena hubungan rada’ah, sebagaimana terkandung dalam prinsip-prinsip penetapan hukum Islam, sama sekali tidak memberatkan. Islam tidak memaksa umatnya dalam memilih calon pendamping hidupnya dan juga tidak melarangnya. Jikalau ada pembatasan itu hanya bertujuan untuk meniadakan kepicikan dan lagi tidak untuk tujuan memberatkan. Larangan kawin karena hubungan rada’ah adalah sebuah ketentuan yang dalam kedalaman artinya merupakan jalan keluar bagi manusia untuk mewujudkan kemakmuran. Allah tidak menginginkan kesukaran bagi manusia justru Allah selalu memberikan jalan sesuatu yang baik terhadap hamba-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam al-Quran:
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY­/u Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$#   
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."[6]
Selanjutnya ketentuan mengenai larangan kawin karena hubungan rada’ah ini juga mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, sesuai dengan prinsip hukum Islam yang senantiasa menginginkan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia. Bahkan nilai kemaslahatan yang diberikan tidak hanya untuk pemeluk agama Islam saja, melainkan seluruh umat manusia termasuk non-muslim.
Jika dilihat secara seksama, larangan kawin karena hubungan susuan ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi terciptanya masyarakat yang sehat dan kuat. Dalam ilmu kedokteran dapat dibuktikan bahwa perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih satu hubungan susuan memiliki resiko lebih besar untuk menularkan penyakit mematikan. Di samping itu, ada banyak kemaslahatan yang di dapat dari ketentuan larangan kawin karena hubungan rada’ah ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya dijelaskan bahwa adanya sesuatu di dalam hukum syara’ yang agak sedikit memberatkan itu memang disengajakan oleh syara’, tetapi yang demikian itu tidaklah dinamakan pemberatan seperti usaha mencari rezeki atau mengerjakan sesuatu. Maka dengan demikian berbedalah antara pemberatan yang tidak dipandang berat dengan pemberatan yang memberatkan. Sesuatu perbuatan yang apabila kita mengerjakannya timbul sesuatu kecederaan pada diri, harta, kesadaran kita. Maka, itulah yang dinamakan pemberatan yang luar biasa. Kalau tidak demikian maka tidaklah dipandang pemberatan.[7] Dengan demikian jelaslah bahwa, larangan kawin yang ditentukan oleh syara’  bukan hal yang memberatkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pelarangan yang justru memiliki manfaat yang luar biasa bagi manusia yang menjalankannya, syariat Islam menempati posisi terdepan dalam menebarkan maslahat di muka bumi.
Penting diingat bahwa, air susu ibu memiliki komposisi gizi yang sebanding dengan kebutuhan bayi, karena di dalamnya terkandung berbagai unsur antara lain; protein, lemak, laktosa, vitamin, mineral dan lain sebagainya. Yang jika dikonsumsi akan mengakibatkan pembentukan antibodi (imunitas) dalam tubuh bayi yang menyusu setelah tiga sampai lima kali susuan. Ini adalah jumlah susuan yang dibutuhkan untuk pembentukan antibodi dalam tubuh manusia, bahkan pada hewan percobaan yang baru lahir dan yang perkembangan sistem imunitasnya (kekebalan tubuhnya) belum sempurna.
Asi juga menyimpan dilema bagi hubungan antara ibu yang menyusui dengan bayi yang disusuinya.[8] Dilema tersebut ketika si bayi tersebut menyusu maka ia akan mendapatkan beberapa ciri genetik khusus untuk kekebalan dari susu yang diminumnya. Dan selanjutnya hal yang demikian itu menjadikan kesamaan pada sifat-sifat genetik dengan saudara laki-laki atau saudara perempuan sepersusuannya. Dan telah ditemukan bahwasanya materi-materi kekebalan tubuh (antibodi) ini dapat menyebabkan gejala-gejala penyakit dan bahkan bisa menyebabkan kematian pada saudara laki-laki ketika mereka menikah dengan saudara perempuan sepersusuannya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, kita menemukan hikmah yang terkandung kenapa Allah swt melarang pernikahan sesusuan sebagaimana tercantum di dalam al-Qur’an yang mulia maupun al-Hadis. Ternyata ada hikmah yang tidak terbayangkan banyaknya buat manusia, yaitu menghindari berbagai penyakit dan bahkan menyelamatkan nyawa manusia.
Bahaya selanjutnya, apabila terjadi pernikahan antara orang-orang yang memiliki hubungan satu susuan, menyebabkan akibat buruk bagi keturunan. Dalam beberapa literatur dijelaskan akan melahirkan keturunan yang lemah, acapkali menyebabkan lahirnya anak-anak yang cacat baik fisik  maupun menatal.[9] Dalam keterangan lainnya, disebutkan bahwa sebenarnya tubuh si anak itu terbentuk dari air susu ibu yang menyusuinya, dan anak tersebut akan mewarisi watak dan perangai seperti anak yang dilahirkannya sendiri. Ia seolah-olah seperti bagian dari tubuhnya yang terpisah kemudian berdiri sendiri.[10] Dengan demikian, ternyata hikmah yang selanjutnya tentang larangan kawin rada’ah ini, disamping apa yang sudah dijelaskan sebelumnya bisa mendatangkan berbagai penyakit dan bahkan menghilangkan nyawa manusia, juga menghindari keturunan yang buruk dan lemah.
Ketentuan larangan kawin karena hubungan susuan akan memperluas pengertian saudara. Dalam ketentuan ini, faktor satu susuan dapat dijadikan sebagai alasan larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Maksudnya, hubungan satu susuan disejajarkan dengan hubungan yang berdasarkan nasab atau hubungan darah. Faktor ini akan memperluas makna saudara. Sebuah keluarga akan memiliki anggota yang lebih besar disbanding dengan kondisi sesungguhnya, lantaran ibu di antara mereka pernah menyusui bayi di luar lingkungan keluarga tersebut.
Masih dalam pembahasan larangan kawin karena rada’ah termasuk juga haram mengawini ibu yang menyusui karena dia sejenis dengan ibu kandung. Mereka berdua sama-sama menyusui anak dan memberikan susunya setelah melahirkan. Pemberian itu merupakan penguat bagi diri dan kehidupan anak meskipun ibu menderita dalam memelihara dan mendidiknya untuk pertama kali. Dengan demikian, para ibu yang menyusui adalah ibu kedua yang memiliki hak-hak seperti ibu sendiri karena keduanya sama-sama memberikan makanan berupa susu dan juga sama-sama memeiharanya.[11]
Sesuai dengan pengertian Filsafat Hukum Islam adalah untuk melihat hakekat, rahasia atau hikmah secara mendalam di balik pensyari’atan Allah swt di dalam al-Qur’an maupun al-Hadis untuk tidak menikah bagi yang mempunyai ikatan tali susuan, meskipun tidak dijelaskan secara rinci, maka itulah beberapa hikmah atau rahasia yang sudah penulis jelaskan di atas.
Penulis mengharapkan, setelah kita mengetahui apa hikmah/rahasia dibalik larangan kawin karena hubungan rada’ah, yang sebelumnya kita tidak ketahui dapat menambah keimanan, ketaqwaan, menghilangkan keraguan dan meningkatkan kekaguman kita kepada Allah swt. Jika demikian, maka kita akan termasuk orang-orang yang mensyukuri nikmat-Nya.
3.      Larangan Kawin Rada’ah Persfektif al-Maqasid Syari’ah
Filsafat Hukum Islam melihat dari pendekatan al-maqasid syari’ah,  larangan kawin karena hubungan rada’ah ini termasuk dalam tujuan syara’ yaitu untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia. Dan termasuk menjaga dan memelihara keturunan (al-hifz nashl). Hal ini dibuktikan dalam penelitian medis bahwa perkawinan yang masih dalam satu hubungan susuan, setidaknya memiliki potensi lebih besar daripada perkawinan yang tidak terikat satu susuan, dalam hal resiko penularan atau transmisi penyakit menular yang mematikan, menghindari keturunan yang lemah dan buruk dan bahkan dapat menghilangkan nyawa manusia seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Dengan menjauhi pernikahan yang terlarang tersebut masyarakat dapat menciptakan keturunan yang terbebas dari penyakit yang turun-temurun. Asumsi ini dapat terwujud jika tidak satupun pernikahan terlarang itu terjadi dalam masyarakat. Jika hal tersebut dapat terlaksana maka, transmisi penyakit akan dapat dihilangkan. Sehingga tujuan al-maslahah mursalah untuk mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan syara’ dapat tercapai.[12] Terutama dalam memelihara keturunan.
Berikut ini akan dijelaskan sedikit al-maslahat mursalah dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:[13]
1.      Maslahat al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan dan (5) memelihara harta. Kelima maslahat ini, disebut dengan al-mashlahah al-khamsah.
2.      Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan, kerjasama dalam pertanian dan perkebunan. Semuanya ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashlahah al-khamsah.
3.      Maslahah al-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Dengan tercapainya tujuan syari’ah untuk memelihara keturunan, maka larangan kawin karena hubungan rada’ah ini termasuk dalam kategori daruriyah, karena ketentuan ini menjamin terpeliharanya kehidupan manusia, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Jaminan keselarasan dan kemaslahatan di dunia dapat terlihat secara real karena hal ini sudah ditelusuri dalam ilmu alam. Sedangkan jaminan kebahagiaan di akhirat, setidaknya pencapaian pahala dari Allah sebab kepatuhan terhadap perintah-Nya.















C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Filsafat Hukum Islam secara umum adalah ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Rahasia di balik larangan kawin karena hubungan susuan ialah dapat menjaga kesehatan dan kepentingan keturunan. Perkawinan karena hubungan susuan juga dapat menghasilkan keturunan yang buruk lemah fisik maupun mental dan tidak kalah pentingnya dibalik larangan kawin susuan ini karena dapat menghilangkan nyawa seseorang yang disebabkan banyaknya penyakit yang ditularkan. Pelarangan kawin karena hubungan susuan ini juga telah sejalan dengan tujuan pembentukan hukum (al-Maqasidussyari’ah) yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia.










DAFTAR PUSTAKA
Ahmad al-Jurjawi. Ali, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.


Hamdani. Al, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), diterjemahkan oleh Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Hanna. Leslie, “the Dilema of Breast Feeding, Highlights from the Third Conference on Global Strategies for the Prevention of HIV Transmission from Mothers to Infants”, A Publication of the San Francisvo AIDS Foundation 2002.

Haroen. Nasrun, Ushul Fiqh I,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Hasbi Ash-Shiddieqy. Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006.

Nasution. Harun, filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Syauqani al-Fanjari. Ahmad, Nikah Kesehatan Dalam Syari’at Islam, alih bahasa oleh Totok Jumantoro, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Wahab al-Khalaf. Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,1410/1990.


[1] Harun Nasution, filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 3.
[2] Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), hlm. 29.
[3] Abdul Wahab al-Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,1410/1990), hlm.96.
[4] Secara etimologis, ar-rada’ah adalah sebuah nama bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang. Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu berupa anak kecil atau bukan. Baca Abdurrahman al-Jaziri, Al-Mazahibul arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1987), hlm. 250.
[5] Susuan yang menyebabkan haram nikah para ulama berpendapat bahwa ada beberapa syarat seseorang dikatakan rada’ah yaitu (1) air susu itu berasal dari payudara perempuan tertentu jelas identitasnya, baik telah atau sedang bersuami, (2) air susu itu masuk ketenggorokan anak baik melalui isapan langsung pada putting payudaranya maupun melalui alat penampung susu, (3) penyusuan itu dilakukan melalui mulut atau hidung anak yang disusui, (4) air susu itu harus murni, tidak bercampur dengan yang lainnya, (5) susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusui, yakni sebelum dua tahun dan (5) air susu yang menyebabkan terjadinya haram untuk dinikahi harus ada lima kali susuan ke atas dengan susuan sempurna.
[6] Al-baqarah: 286
[7] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 207.
[8] Leslie Hanna, “the Dilema of Breast Feeding, Highlights from the Third Conference on Global Strategies for the Prevention of HIV Transmission from Mothers to Infants”, A Publication of the San Francisvo AIDS Foundation 2002.
[9] Ahmad Syauqani al-Fanjari, Nikah Kesehatan Dalam Syari’at Islam, alih bahasa oleh Totok Jumantoro, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 153.
[10] Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), diterjemahkan oleh Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 98.
[11] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 128.
[12] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I,  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 114.
[13] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 115-116.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -