- Back to Home »
- KAWIN , LARANGAN , LARANGAN KAWIN »
- LARANGAN KAWIN
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………….................. 1
PENDAHULUAN…………………………………………………………………….......... 2
1.
Latar Belakang Masalah…………………………………………………………….. 2
2.
Rumusan Masalah…………………………………………………………………… 2
3.
Tujuan penelitian……………………………………………………………………. 3
PEMBAHASAN……………………………………………………………………............. 4
1. Pengertian Filsafat Hukum
Islam………………………………………………… 4
2. Rahasia/Hikmah
Larangan Kawin Rada’ah Persfektif Filsafat Hukum Islam….. 5
3. Larangan
Kawin Rada’ah Persfektif al-Maqasid Syari’ah……………………….. 9
PENUTUP……………………………………………………………………...................... 12
1.
Kesimpulan …………………………………………………………………………. 12
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Filsafat
merupakan suatu ilmu yang dianggap sebagai akar dari ilmu-ilmu yang berkembang
di dunia, dikarenakan filsafat merupakan ilmu yang paling tua dan satu-satunya
ilmu yang ada pada saat itu. Filsafat pada intinya berbicara tentang hakikat
sesuatu secara mendasar, sehingga membicarakan tentang Filsafat Hukum Islam,
selalu akan membicarakan perihal hukum islam dalam tataran yang cukup mendasar.
Filsafat
Hukum Islam adalah seni bertanya, mengapa ini begini mengapa itu begitu, kenapa
tidak begini dan kenapa tidak begitu.? Pertanyaan demikian adalah spirit dan
inti filsafat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para filsuf melahirkan
jawaban-jawaban yang serius dan berimplikasi besar yang kemudian mempengaruhi
cara pandang manusia dalam melihat dan mengerti kompleksitas kehidupan. Dan
utuk mengetahui rahasia perlu adanya upaya mendalam tentang hakikat dari hukum
islam. Setelah mengetahui hukum islam maka kitapun dapat menemukan hikmah dari
ditetapkannya hukum tersebut.
Fenomena
yang melibatkan filsafat dalam Hukum Islam juga adalah bagaimana Hukum Islam
(syari’ah) itu secara konkrit dapat diaplikasikan oleh situasi dan kondisi
suatu masyarakat secara nyata. Demikian itulah yang sebenarnya menjadi tujuan
utama Al-Qur’an, yaitu tegaknya sebuah tata sosial yang bermoral, adil, dan
dapat survive di muka bumi. Dengan demikian, dalam makalah ini akan dibahas
“larangan kawin yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) persfektif filsafat hukum Islam”.
Namun demikian, berhubung pembahasan larangan kawin dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat banyak,
maka dalam pembahasan ini, hanya mempokuskan “larangan perkawinan tentang rada’ah persfektif filsafat hukum Islam”.
2.
Rumusan
Masalah
a. Apa
pengertian Filsafat Hukum Islam.?
b. Apa
rahasia di balik larangan nikah rada’ah
perfektif Filsafat Hukum Islam?
c. Bagaimana
larangan kawin rada’ah persfektif
al-maqasidussyari’ah.?
3.
Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui:
d. Apa
pengertian Filsafat Hukum Islam.?
e. Apa
rahasia di balik larangan nikah rada’ah
perfektif Filsafat Hukum Islam?
f. Bagaimana
larangan kawin rada’ah persfektif
al-maqasidussyari’ah.?
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Filsafat Hukum Islam
Menurut
Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan
bebas (tidak terikat pada tradisi, agama dan dogma) dan dengan
sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[1]
Sedangkan menurut Aristoteles filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenarn, yang didalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika atau ilmu yang menyelidiki sebab dan asas segala
benda.
Sedangkan
hukum adalah semua aturan-aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang dibuat maupun diakui oleh
negara sebagai pedoman tingkah laku masyarakat yang memiliki sanksi yang tegas dan nyata bagi yang
melanggarnya. Ada beberapa istilah dalam hukum (1) Teori Hukum, adalah teori yang terdiri atas seperangkat prinsip-prinsip hukum yang
menjadi pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum
tersebut dapat dilaksanakan di dalam praktek
kehidupan masyarakat. (2) Asas Hukum,
adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum
dasar-dasar umumtersebut mengandung nilai-nilai etis. Politik Hukum adalah perwujudan kehendak dari pemerintah
Penyelenggaraan Negara mengenai hukum yang belaku di wilayahnya dan
kearah mana kukum itu dikembangkkan. (3) Kaedah
Hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh
penguasa negara mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan
oleh aparat negara yang berwenang sehingga berlakunya
dapat dipertahankan. Dan (4) Praktik
Hukum adalah pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada
kaedah hukum dalam peristiwa konkrit.[2]
Sedangkan
kata “Hukum Islam” dalam al-Qur’an maupun al-Hadis sebenarnya istilah-istilah ini
tidak ada dijumpai yang digunakan adalah kata syari’at. Secara harfiah syari’ah
artinya jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya dalam al-qur’an di artikan sebagai jalan yang
jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama Usul al-fiqh, syariah
adalah titah (khitab) Allah berhubungan dengan perbuatan mukallaf
(muslim,balig,dan berakal sehat), baik berupa tuntutan,pilihan,atau perantara
(sebab, syarat,atau penghalang).[3]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat dipahami filsafa hukum Islam
adalah upaya pemikiran manusia secara maksimal untuk memahami
rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyari’atan hukum Tuhan, dengan tidak
meragukan substansi hukum itu sendiri sebagaimana pendekatan filsafat hukum
pada umumnya. Filsafat hukum Islam juga dapat dipahami upaya menganalisis hukum
Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan mendasar,
atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.
2.
Rahasia/Hikmah Larangan Kawin Rada’ah
Persfektif Filsafat Hukum Islam
Sebelum
berbicara lebih
jauh mengenai perfektif Filsafat Hukum Islam tentang larangan kawin karena rada’ah[4]
terlebih dahulu dijelaskan larangan kawin rada’ah
itu sendiri sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan terdapat pada pasal 8 huruf (d) Perkawinan dilarang antara
dua orang yang berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan. Hal yang sama dijelaskan di dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Perkawinan dilarang antara dua orang yang karena pertalian sesusuan: (a) dengan wanita yang menyusui dan
seterusnya menurut garis lurus ke atas; (b) dengan seorang wanita sesusuan dan
seterusnya menurut garis lurus ke bawah; (c) dengan seorang wanita saudara
sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; (d) dengan seorang wanita bibi
sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; dan (e) dengan anak yang disusui oleh
isterinya dan keturunannya.
Sesuai
dengan pokok pembahasan ini “hikmah larangan kawin rada’ah”, maka hikmah adalah
pemahaman dan akal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hikmah merupakan satu
kondisi dan tipologi pencerapan dan pencerahan yang bersandar pada ilmu yang
sejatinya adalah milik Allah. Hikmah adalah sampainya kepada kebenaran dan
realitas melalui media ilmu dan akal. Hikmah
yang sering disebut oleh para ulama mujtahid sebagai Asror
al-Ahkam, secara etimologis berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui
suatu pengetahuan sempurna, bijaksana, dan sesuatu yang bergantung kepadanya
akibat suatu yang terpuji. Adapun secara terminologi adalah suatu motifasi
dalam pensyari'atan hukum dalam rangka mencapai suatu kemashlahatan atau
menolak suatu kemafsadatan.
Filsafat Hukum Islam melihat bahwa
larangan perkawinan karena rada’ah[5]
yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas, bahwa
ketentuan larangan kawin karena hubungan rada’ah,
sebagaimana terkandung dalam prinsip-prinsip penetapan hukum Islam, sama sekali
tidak memberatkan. Islam tidak memaksa umatnya dalam memilih calon pendamping
hidupnya dan juga tidak melarangnya. Jikalau ada pembatasan itu hanya bertujuan
untuk meniadakan kepicikan dan lagi tidak untuk tujuan memberatkan. Larangan
kawin karena hubungan rada’ah adalah
sebuah ketentuan yang dalam kedalaman artinya merupakan jalan keluar bagi
manusia untuk mewujudkan kemakmuran. Allah tidak menginginkan kesukaran bagi
manusia justru Allah selalu memberikan jalan sesuatu yang baik terhadap
hamba-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam al-Quran:
w
ß#Ïk=s3ã
ª!$#
$²¡øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
4 $ygs9
$tB
ôMt6|¡x.
$pkön=tãur
$tB
ôMt6|¡tFø.$#
3 $oY/u
w !$tRõÏ{#xsè?
bÎ)
!$uZÅ¡®S
÷rr&
$tRù'sÜ÷zr&
4 $oY/u
wur
ö@ÏJóss?
!$uZøn=tã
#\ô¹Î)
$yJx.
¼çmtFù=yJym
n?tã
úïÏ%©!$#
`ÏB
$uZÎ=ö6s%
4 $uZ/u
wur
$oYù=ÏdJysè?
$tB
w sps%$sÛ
$oYs9
¾ÏmÎ/
( ß#ôã$#ur
$¨Ytã
öÏÿøî$#ur
$oYs9
!$uZôJymö$#ur
4 |MRr&
$uZ9s9öqtB
$tRöÝÁR$$sù
n?tã
ÏQöqs)ø9$#
úïÍÏÿ»x6ø9$#
Artinya: “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami
apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum
yang kafir."[6]
Selanjutnya ketentuan mengenai larangan
kawin karena hubungan rada’ah ini
juga mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, sesuai dengan prinsip hukum Islam
yang senantiasa menginginkan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia. Bahkan
nilai kemaslahatan yang diberikan tidak hanya untuk pemeluk agama Islam saja,
melainkan seluruh umat manusia termasuk non-muslim.
Jika dilihat secara seksama, larangan
kawin karena hubungan susuan ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi
terciptanya masyarakat yang sehat dan kuat. Dalam ilmu kedokteran dapat
dibuktikan bahwa perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih satu
hubungan susuan memiliki resiko lebih besar untuk menularkan penyakit
mematikan. Di samping itu, ada banyak kemaslahatan yang di dapat dari ketentuan
larangan kawin karena hubungan rada’ah
ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya
dijelaskan bahwa adanya sesuatu di dalam hukum syara’ yang agak sedikit
memberatkan itu memang disengajakan oleh syara’, tetapi yang demikian itu
tidaklah dinamakan pemberatan seperti usaha mencari rezeki atau mengerjakan
sesuatu. Maka dengan demikian berbedalah antara pemberatan yang tidak dipandang
berat dengan pemberatan yang memberatkan. Sesuatu perbuatan yang apabila kita
mengerjakannya timbul sesuatu kecederaan pada diri, harta, kesadaran kita.
Maka, itulah yang dinamakan pemberatan yang luar biasa. Kalau tidak demikian
maka tidaklah dipandang pemberatan.[7] Dengan
demikian jelaslah bahwa, larangan kawin yang ditentukan oleh syara’ bukan hal yang memberatkan dalam kehidupan
manusia. Oleh karena itu, pelarangan yang justru memiliki manfaat yang luar
biasa bagi manusia yang menjalankannya, syariat Islam menempati posisi terdepan
dalam menebarkan maslahat di muka bumi.
Penting diingat bahwa, air susu ibu
memiliki komposisi gizi yang sebanding dengan kebutuhan bayi, karena di
dalamnya terkandung berbagai unsur antara lain; protein, lemak, laktosa,
vitamin, mineral dan lain sebagainya. Yang jika dikonsumsi akan mengakibatkan
pembentukan antibodi (imunitas) dalam tubuh bayi yang menyusu setelah tiga
sampai lima kali susuan. Ini adalah jumlah susuan yang dibutuhkan untuk
pembentukan antibodi dalam tubuh manusia, bahkan pada hewan percobaan yang baru
lahir dan yang perkembangan sistem imunitasnya (kekebalan tubuhnya) belum
sempurna.
Asi juga menyimpan dilema bagi hubungan
antara ibu yang menyusui dengan bayi yang disusuinya.[8] Dilema
tersebut ketika si bayi tersebut menyusu maka ia akan mendapatkan beberapa ciri
genetik khusus untuk kekebalan dari susu yang diminumnya. Dan selanjutnya hal
yang demikian itu menjadikan kesamaan pada sifat-sifat genetik dengan saudara
laki-laki atau saudara perempuan sepersusuannya. Dan telah ditemukan bahwasanya
materi-materi kekebalan tubuh (antibodi) ini dapat menyebabkan gejala-gejala
penyakit dan bahkan bisa menyebabkan kematian pada saudara laki-laki ketika
mereka menikah dengan saudara perempuan sepersusuannya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa,
kita menemukan hikmah yang terkandung kenapa Allah swt melarang pernikahan sesusuan
sebagaimana tercantum di dalam al-Qur’an yang mulia maupun al-Hadis. Ternyata
ada hikmah yang tidak terbayangkan banyaknya buat manusia, yaitu menghindari
berbagai penyakit dan bahkan menyelamatkan nyawa manusia.
Bahaya selanjutnya, apabila terjadi
pernikahan antara orang-orang yang memiliki hubungan satu susuan, menyebabkan
akibat buruk bagi keturunan. Dalam beberapa literatur dijelaskan akan
melahirkan keturunan yang lemah, acapkali menyebabkan lahirnya anak-anak yang
cacat baik fisik maupun menatal.[9]
Dalam keterangan lainnya, disebutkan bahwa sebenarnya tubuh si anak itu
terbentuk dari air susu ibu yang menyusuinya, dan anak tersebut akan mewarisi
watak dan perangai seperti anak yang dilahirkannya sendiri. Ia seolah-olah
seperti bagian dari tubuhnya yang terpisah kemudian berdiri sendiri.[10] Dengan
demikian, ternyata hikmah yang selanjutnya tentang larangan kawin rada’ah ini, disamping apa yang sudah
dijelaskan sebelumnya bisa mendatangkan berbagai penyakit dan bahkan menghilangkan
nyawa manusia, juga menghindari keturunan yang buruk dan lemah.
Ketentuan larangan kawin karena hubungan
susuan akan memperluas pengertian saudara. Dalam ketentuan ini, faktor satu
susuan dapat dijadikan sebagai alasan larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan. Maksudnya, hubungan satu susuan disejajarkan dengan hubungan yang
berdasarkan nasab atau hubungan darah. Faktor ini akan memperluas makna
saudara. Sebuah keluarga akan memiliki anggota yang lebih besar disbanding
dengan kondisi sesungguhnya, lantaran ibu di antara mereka pernah menyusui bayi
di luar lingkungan keluarga tersebut.
Masih dalam pembahasan larangan kawin
karena rada’ah termasuk juga haram
mengawini ibu yang menyusui karena dia sejenis dengan ibu kandung. Mereka
berdua sama-sama menyusui anak dan memberikan susunya setelah melahirkan.
Pemberian itu merupakan penguat bagi diri dan kehidupan anak meskipun ibu
menderita dalam memelihara dan mendidiknya untuk pertama kali. Dengan demikian,
para ibu yang menyusui adalah ibu kedua yang memiliki hak-hak seperti ibu
sendiri karena keduanya sama-sama memberikan makanan berupa susu dan juga
sama-sama memeiharanya.[11]
Sesuai dengan pengertian Filsafat Hukum
Islam adalah untuk melihat hakekat, rahasia atau hikmah secara mendalam di
balik pensyari’atan Allah swt di dalam al-Qur’an maupun al-Hadis untuk tidak
menikah bagi yang mempunyai ikatan tali susuan, meskipun tidak dijelaskan
secara rinci, maka itulah beberapa hikmah atau rahasia yang sudah penulis jelaskan
di atas.
Penulis mengharapkan, setelah kita mengetahui
apa hikmah/rahasia dibalik larangan kawin karena hubungan rada’ah, yang sebelumnya kita tidak ketahui dapat menambah
keimanan, ketaqwaan, menghilangkan keraguan dan meningkatkan kekaguman kita
kepada Allah swt. Jika demikian, maka kita akan termasuk orang-orang yang
mensyukuri nikmat-Nya.
3.
Larangan Kawin Rada’ah Persfektif al-Maqasid
Syari’ah
Filsafat Hukum Islam melihat dari pendekatan
al-maqasid syari’ah, larangan kawin karena hubungan rada’ah ini termasuk dalam tujuan syara’
yaitu untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia. Dan termasuk menjaga dan
memelihara keturunan (al-hifz nashl). Hal
ini dibuktikan dalam penelitian medis bahwa perkawinan yang masih dalam satu
hubungan susuan, setidaknya memiliki potensi lebih besar daripada perkawinan
yang tidak terikat satu susuan, dalam hal resiko penularan atau transmisi penyakit
menular yang mematikan, menghindari keturunan yang lemah dan buruk dan bahkan
dapat menghilangkan nyawa manusia seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Dengan menjauhi pernikahan yang
terlarang tersebut masyarakat dapat menciptakan keturunan yang terbebas dari
penyakit yang turun-temurun. Asumsi ini dapat terwujud jika tidak satupun
pernikahan terlarang itu terjadi dalam masyarakat. Jika hal tersebut dapat
terlaksana maka, transmisi penyakit akan dapat dihilangkan. Sehingga tujuan al-maslahah mursalah untuk mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan syara’ dapat tercapai.[12]
Terutama dalam memelihara keturunan.
Berikut ini akan dijelaskan sedikit al-maslahat mursalah dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:[13]
1.
Maslahat al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara
jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan dan (5) memelihara harta.
Kelima maslahat ini, disebut dengan al-mashlahah
al-khamsah.
2.
Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan
dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.
Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir,
dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang
baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan, kerjasama dalam pertanian
dan perkebunan. Semuanya ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan
mendasar al-mashlahah al-khamsah.
3.
Maslahah al-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara
menghilangkan najis dari badan manusia.
Dengan tercapainya tujuan syari’ah untuk
memelihara keturunan, maka larangan kawin karena hubungan rada’ah ini termasuk dalam kategori daruriyah, karena ketentuan ini menjamin terpeliharanya kehidupan
manusia, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Jaminan keselarasan dan
kemaslahatan di dunia dapat terlihat secara real karena hal ini sudah
ditelusuri dalam ilmu alam. Sedangkan jaminan kebahagiaan di akhirat,
setidaknya pencapaian pahala dari Allah sebab kepatuhan terhadap perintah-Nya.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Filsafat Hukum Islam secara umum adalah ilmu pengetahuan
yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya
yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan
mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat
kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran
akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Rahasia di balik larangan kawin karena
hubungan susuan ialah dapat menjaga kesehatan dan kepentingan keturunan.
Perkawinan karena hubungan susuan juga dapat menghasilkan keturunan yang buruk
lemah fisik maupun mental dan tidak kalah pentingnya dibalik larangan kawin
susuan ini karena dapat menghilangkan nyawa seseorang yang disebabkan banyaknya
penyakit yang ditularkan. Pelarangan kawin karena hubungan susuan ini juga
telah sejalan dengan tujuan pembentukan hukum (al-Maqasidussyari’ah) yaitu
menjaga kemaslahatan umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
al-Jurjawi. Ali, Hikmah al-Tasyri’ wa
Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Hamdani.
Al, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan
Islam), diterjemahkan oleh Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Hanna.
Leslie, “the Dilema of Breast Feeding, Highlights from the Third Conference on
Global Strategies for the Prevention of HIV Transmission from Mothers to
Infants”, A Publication of the San
Francisvo AIDS Foundation 2002.
Haroen.
Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasbi
Ash-Shiddieqy. Muhammad, Filsafat Hukum
Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum,
Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006.
Nasution. Harun, filsafat Agama, Jakarta:
Bulan Bintang, 1989.
Syauqani
al-Fanjari. Ahmad, Nikah Kesehatan Dalam
Syari’at Islam, alih bahasa oleh Totok Jumantoro, Jakarta: Bumi Aksara,
1996.
Wahab al-Khalaf. Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab
al-Azhar,1410/1990.
[3] Abdul Wahab al-Khalaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab
al-Azhar,1410/1990), hlm.96.
[4] Secara etimologis, ar-rada’ah
adalah sebuah nama bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu
binatang. Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang
disusui itu berupa anak kecil atau bukan. Baca Abdurrahman al-Jaziri, Al-Mazahibul arba’ah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiah, 1987), hlm. 250.
[5] Susuan yang menyebabkan haram
nikah para ulama berpendapat bahwa ada beberapa syarat seseorang dikatakan rada’ah yaitu (1) air susu itu berasal
dari payudara perempuan tertentu jelas identitasnya, baik telah atau sedang
bersuami, (2) air susu itu masuk ketenggorokan anak baik melalui isapan
langsung pada putting payudaranya maupun melalui alat penampung susu, (3)
penyusuan itu dilakukan melalui mulut atau hidung anak yang disusui, (4) air
susu itu harus murni, tidak bercampur dengan yang lainnya, (5) susuan itu harus
dilakukan pada usia anak sedang menyusui, yakni sebelum dua tahun dan (5) air
susu yang menyebabkan terjadinya haram untuk dinikahi harus ada lima kali
susuan ke atas dengan susuan sempurna.
[6] Al-baqarah: 286
[7] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001), hlm. 207.
[8] Leslie Hanna, “the Dilema of
Breast Feeding, Highlights from the Third Conference on Global Strategies for
the Prevention of HIV Transmission from Mothers to Infants”, A Publication of the San Francisvo AIDS
Foundation 2002.
[9] Ahmad Syauqani al-Fanjari, Nikah Kesehatan Dalam Syari’at Islam, alih
bahasa oleh Totok Jumantoro, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 153.
[10] Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), diterjemahkan oleh Agus
Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 98.
[11] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t), hlm. 128.
[12] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 114.
[13] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), 115-116.