Diberdayakan oleh Blogger.

NATAL TANDINGAN



NATAL TANDINGAN

Hari ini Sabtu tanggal 20, Desember, 2014. Itu artinya dalam beberapa hari kemudian aka nada perayaan besar Natal. Yakni hari raya umat Kristiani dalam menyambut kelahiran anak tuhan (Yesus). Perayaan Natal ini sebenarnya sudah lama beribu-ribu tahun lalu. Namun di kalangan umat Islam sendiri khususnya Indonesia dalam menyambut perayaan Natal ini, selalu terjadi pro-kontra yang tidak berkesudahan. Terutama dalam hal mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Solusi yang ditawarkan dalam tulisan ini dengan membuat “Natal Tandingan”. Jadi, penggunaan kata “tandingan” tidak hanya ada dalam dunia perpolitikan Indonesia. Misalnya yang sudah menjadi pengetahuan umum, DPR Tandingan antara KMP dengan KIH, PPP tandingan antara kubu Suryadarma Ali melawan Romahumurhuzy, dan baru-baru ini Golkar Tandingan antara kubu Ical melawan Agung Laksono. 

      Golongan pertama yang mengatakan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani diharamkan dengan banyak alasan antara lain: dengan mengaitkan perintah bagimu agamamu bagiku agamaku (surat al-kafirun). Selain itu perintah melalui hadis Nabi Muhammad mengatakan “siapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk di dalamnya” (mantasyabbaha biqoumin pahua minhu). Kelemahan alasan ini, mereka tanpa melihat asbabunnuzul ayat dan asbabulwurud hadis. Asbabunnuzul surat al-kafirun misalnya, hal itu terjadi karena pertentangan antara kaum Quraisy yang tidak suka dakwah nabi Muhammad, lalu mereka membuat perjanjian yang menguntungkan mereka (Quraisy). Merasa dirugikan, Nabi Muhammad mengatakan bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Selain alasan dalil, golongan yang tidak membolehkan mengucapkan selamat Natal ini, karena khawatir akidah umat Islam luntur dengan sendirinya mengakui Natal hari kelahiran anak tuhan. 

        Sedangkan golongan yang membolehkan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani, beralasan karena toleransi agama. Mengingat Indonesia tidak hanya satu agama di dalamnya, melainkan ada enam agama yang diakui termasuk agama Kristen. Ditambah dengan intraksi antara Islam dengan non-Muslim tidak dapat dielakkan. 

       Posisi penulis sendiri dalam hal mengucapkan selamat natal ini, tidak berpihak di antara keduanya. Namun lebih menganjurkan seharusnya umat Islam tidak hanya disuruh untuk mengucapkan selamat Natal, tetapi juga ikut merayakannya. Argument ini tentunya dimulai dari pengertian Natal itu sendiri, bahwa kata Natal berasal dari bahasa Portugis artinya hari kelahiran. Dalam al-qur’an Natal ini diakui dengan bunyi ayat “assalamu alaika yauma wulidtu”, artinya keselamatan atas hari kelahiranku (Q.S. Maryam:33). Kata tunjuk ayat ini adalah bercerita tentang kelahiran Nabi Isya. Hal ini sama dengan kata Maulid atau Milad, artinya kelahiran. Penggunaan kata Milad ini khusus kepada hari kelahiran Nabi Muhammad, yang sering dirayakan oleh umat Muslim setiap tahunnya. Jika merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dibolehkan karena untuk membangkitkan gairah ke-Islaman, sama halnya dengan merayakan kelahiran Nabi Isya (Natal). Intinya, sah-sah saja umat Islam mengucapkan dan merayakan Natal selama tujuannya untuk menyambut kelahiran Nabi Isya sebagai Rasul bukan sebagai anak tuhan seperti yang diyakini umat Kristiani. 

          Membuat perayaan “Natal Tandingan”, itu artinya umat Islam berusaha kembali merebut dan memutar sejarah yang sebenarnya bahwa Natal adalah hari kelahiran Nabi Isya, bukan kelahiran anak tuhan, yang selama ini dimanipulasi oleh umat Kristiani. Sudah terlalu lama umat Islam terdiam, tertidur sambil bermimpi, dan terlena tanpa melakukan perlawanan tentang manipulasi sejarah Natal. Akibatnya sangat fatal sekali, bahwa sekarang kata “Natal” yang lebih populer adalah kelahiran anak tuhan, bukan kelahiran Isya. Hal ini bisa dibuktikan, misalnya ketika ditanya anak Sekolah Dasar (SD) apa itu Natal.? Jawabannya pasti berhubungan dengan perayaan hari besar umat Kristiani. Tidak hanya anak SD, yang sudah kuliah S1 dan S2 pun masih banyak memahami seperti itu, apalagi orang masyarakat umum (awam). Pemahaman seperti inilah yang harus diubah dengan membuat “Natal Tandingan”. 

#semoga bermanfaat.  Wallahua’lam bisshowab.
Sorowajan, 20, Desember, 2014.

Pengertian, Hakekat dan Ruang Lingkup Hukum KeluargaIslam



Pengertian, Hakekat dan Ruang Lingkup
Hukum KeluargaIslam


A.  Pendahuluan
Hukumsebagaimerupakan suatu rahmatdan karunia dari Tuhanyang sudah dimulaisejakdahulu. Pada dasarnya, manusiamemilikikodrat yangsalahsatunyaadalahsebagaimakhluktataaturan. Dengan adanya kodratsebagaimakluksosial, manusiatidakbisahidupsendiri. Kodratmanusiasebagimahluktataaturankemudian dilembagakan,sehinggaterwujudkebaikannyata dan kualitaskehidupan yang baik. Selain itu, manusia merupakan mahlukekonomi yang memenuhikebutuhannya, dimanakebutuhannyatersebutterbatas oleh berbagai macam hal. Selain itu, manusiajuga tidakakanbisahiduptanpa sebuahaturan.
Islam telah banyak mengatur perihal berbagai lini kehidupan umat manusia, sehingga tidak salah disebut sebagai agama yang komprehensif dengan ajarannya yang bersifat sholihun fii kullizzaman wal makan. Termasukjugadidalamnyamengaturmengenaipenangananterhadap setiappermasalahandalamsuatukeluarga.Perbedaanpendapatbahkankonflikdi dalam suatu hubungan rumah tangga pastiadadanhal ini seringterjadi.
Hukum keluarga Islam sebagai tawaran dalam menyelesaikan beberapa permasalahan.Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.
Istilah hukum keluarga berasal dari kata Familierecht yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, atau dari bahasa Inggris law of familie. Hukum keluarga diartikan sebagai “keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena suatu hubungan perkawinan”
Makalah ini akan membahas tentang pengertian, hakekat dan ruang lingkup dari hukum keluarga Islam, sehinggakita dapat memahami hikmah-hikmah tersebut dan kemudian dapat berhujjah atas hukum Islam sebagai solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan keluarga.Tidak hanya keluarga Islam saja, tetapi bagi umat manusia.Terlebihkitaharusmengetahuihal yang mendasardalamfilsafathukumdalamkeluargaIslam.

B.  Perumusan Masalah
1.    Apakah pengertian hukum keluarga Islam?Apakah masih sama seperti dalam pandangan ilmu fikih? Apakah sesuai dengan hukum aturan Allah (Kitabullah)?
2.    Apakah Hakekat hukum keluarga Islam? Dan apakah itu merupakan kehendak Tuhan?
3.    Apasaja ruang lingkup dalam hukum keluarga Islam? Apakah termasuk Hukum Anak?
C.    Pembahasan
Sebelum kita melangkah ke pembahasan mengenai pengertian hukum keluarga Islam, alangkah lebih baik jika kita mengetahui beberapa istilah-istilah yang banyak digunkan untuk menyebut hukum keluarga Islam.Dalam Bahasa Arab, istilah hukum keluarga Islam adalah Al-Ahwal al Syakhsiyah dan kadang juga disebut dengan Nidham al-Usrah, dan al-Usrah sendiri disini mempunyai arti keluarga inti/kecil. Arti pada penggunaan Bahasa Indonesia sendiri, istilah yang digunakan tidak hanya hukum keluarga Islam, akan tetapi terkadang juga disebut dengan Hukum Perkawinan ataupun Hukum Perorangan. Dalam bahasa Inggris biasa disebut Personal Law atau Family Law[1].
Pengertian hukum keluarga Islam menurut Prof Subekti yang menggunakan istilah “hukum kekeluargaan” adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan. Sehingga, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga. Maksud keluarga disini adalah keluarga pokok, yakni: bapak, ibu, dan anak, baik ketika masih sama-sama hidup dalam satu rumah tangga maupun setelah terjadi perpisahan yang disebabkan oleh perceraian ataupun kematian.
Banyak dari para ahli Fiqih kontemporer berbeda pendapat mengenai  pengertian hukum keluarga.Berikut adalah sebagian pendapat mengenai pengertian hukum keluarga. Menurut Abdul Wahhab Khollaf, hukum keluarga “al-ahwal as-syakhsiyah” adalah hukum yang mengatur kehidupan keluarga, yang dimulai dari awal pembentukan keluarga. Adapun tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami, istri dan anggota keluarga[2]. Menurut Wahbah az-Zuhaili, hukum keluarga adalah hukum tentang hubungan manusia dengan keluarganya, yang dimulai dari perkawinan hingga berakhir pada suatu pembagian warisan karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia[3].
Definisi lainnya mengkaji dua hal, yaitu mengenai prinsip hukum dan ruang lingkupnya. Prinsip hukum adalah penilaian berdasarkan ketaatan keluarga dalam beragama. Sedangakan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Definisi ini sangat luas karena juga mencakup pembahasan pembagian warisan dalam keluarga, padahal di dalam hukum perdata barat warisan tersebut merupakan bagian dari hukum benda.
Pendapat lain menyebutkan bahwa hukum keluarga hanya difokuskan pada peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua, dan perwalian yang bersumber dari hukum tertulis.Sedangkan hal yang berkaitan dengan peraturan perkawinan tidak tertulis maupun tidak mendapat perhatian khusus, padahal dalam masyarakat Indonesia masih mengenal hukum adat, sehingga definisi diatas perlu dilengkapi dan disempurnakan.
Hukum keluarga adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis). Hukum keluarga tertulis adalah kaedah-kaedah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan lain sebagainya. Sedangkan hukum keluarga tidak tertulis adalah kaedah-kaedah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (merupakan suatu kebiasaan). Misalnya, kegiatan Marari dalam kehidupan masyarakat suku Sasak.

Apakah definisi hukum keluarga tersebut masih sama seperti dalam pandangan ilmu fikih? Apakah sesuai dengan hukum aturan Allah (Kitabullah)?
Mengkaji Hukum keluarga Islam di Indonesia ataupun di negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki daya tarik tersendiri.Dalam hukum keluarga itulah yang paling mendapatkan prioritas dan terdapat jiwa wahyu Ilahi dan sunnah Rasulillah, sedangkan pada hukum lain, pada umumnya jiwa tersebut mengalami penurunanyang signifikan.
Di Indonesia perkembangan hukum keluarga Islam cukup terbuka, hal ini antara lain disebabkan oleh adanya Undang-Undang Dasar, juga Kompilasi Hukum Islam.Konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, terutama kehidupan wanita, istri, ibu dan anak-anak di dalamnya dapat terlindungi dengan adanya kepastian hukum.
Di Indonesia sendiri ada beberapa Undang-Undang  yang sumbernya berasal dari Hukum Islam, misalnya: Undang-Undang No. 1/1974 mengenaiperkawinan, dan Undang-Undang no.41/2004 tentang Wakaf. Peranan hukum Islam dalam persoalan perkawinan bagi muslim Indonesia dengan jelas tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Undang-undang Perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah, dan prinsip hukum Islam seperti dalam masalah menentukan calon, khitbah, akad nikah, nafkah, perceraian, rujuk, dan sebagainya.Jika kita melihat undang-undang tersebut, maka sesungguhnya sebagian undang-undang perkawinan di Indonesia sama dengan apa yang ada dalam fikih klasik, walaupun “mungkin” ada yang berbeda dari apa yang ada dalam fikih klasik.
Akan tetapi, jika kita meninjau ulang apa yang ada dalam fikih klasik, hampir semua Madzhab berbeda pendapat.Maka dari itu, jika ada undang-undang Hukum Keluarga di Indonesia yang berbeda dengan fikih klasik bukan berarti undang-undang tersebut tidak dibenarkan “menurut Islam”. Asalkan undang-undang tersebut berdasar pada kaidah-kaidah hukum Islam (sebagaimanahal tersebut dapat dianggap maslahat ataupun yang lain), maka undang-undang tersebut walaupun terlihat tidak sama dengan dengan fikih klasik, akan tetapi bisa saja undang-undang tersebut mengacu pada tujuan syariat “al-Maqosidas-Syari’ah”, asalkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan rakyat dan bukan atas dasar politik semata, serta kemaslahatan pemimpin.

Apakah ini sudah sesuai dengan Al-Qur’an (kitabulloh)?
Fikih bukanlah Al-Qur’an, akan tetapi fikih merupakan kitab hukum yang penggalian hukumnya bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Jika kita melihat pengertian pernikahan dalam undang-undang di Indonesia dan kita bandingkan dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, kita akan melihat suatu kesamaan. Pengertian perkawinan dalam    Undang-Undang di Indonesia adalah: Pasal 1 UU Perkawinan disebutkan:Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[4].
Didalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum 21 disebutkan:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

Jika kita mengamati ayat tersebut dan pengertian perkawinan pada undang-undang di Indonesia, maka kita akan melihat kesamaannya, yaitu sama-sama bertujuan untuk menentramkan, serta untuk mencapai kebahagiaan.

Hakikat Hukum Keluarga
Awal terbentuk Keluarga adalah dari hubungan pernikahan. Pernikahan dibangun oleh rasa saling cinta dan kasih sayang antara laki-laki dengan perempuan. Pernikahan berorientasi membentuk keluarga sakinah, yang berlandaskan cinta dan kasih sayang. Pernikahan merupakan perjanjian yang kuat antara sesama pengantin.Keluarga berada dalam pengalaman manusia. Fungsi hidup dan kehidupan seseorang, demikian pula interaksi dengan individu lain, senantiasa berada dalam fakta keluarga.
Persepsi nilai-nilai didalam hukum keluarga tidak selalu dipahami dalam kualitas yang sama oleh setiap orang.Sebenarnya, adanya hukum keluarga disini adalah untuk mengatur mengenai baik dan buruk dari aspek moral atau etika, disamping juga mengenai manfaat. Berpangkal dari keluarga yang terbentuk atas dasar ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, menimbulkan hubungan kekeluargaan yang kemudian dibedakanatas dasar keturunan darah maupun karena hubungan perkawinan. Demikian pula akan  timbul suatuhubungan kewarisan, yang juga menjadi kepentingan negara untuk mengaturnya dalam hukum positif.
Sedangkan kerangka normatif hukum positif negara pada dasarnya adalah aturan yang diciptakan atas dasar kepentingan negara dalam mengatur kehidupan masyarakat agar tertib, damai dan aman sesuai dengan asas bahwa setiap aturan hukum hendaknya dibentuk dengan memenuhi asas keadilan kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Dalam hal hukum keluarga, maka bagaimana dan akan seperti apa aturan hukum itu dirumuskan, sepenuhya tergantung kepada kebutuhan dan perkembangan hidup bermasyarakat dan bernegara serta mengacu pada landasan filosofisnya. Landasan filosofis ini penting bagi sesuatu aturan hukum positif, karena aturan hukum positif akan berlaku efektif bila memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat itu adalah berupa keabsahan secara sosiologis, yuridis, dan absah secara filosofis.
Hukum keluarga Islam mempunyai penawaran khusus dalam menyelesaikan beberapa permasalahan.Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi, terkadang hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.
Jika kita melihat undang-undang dasar tentang hukum keluarga, sebagian ahli berpendapat bahwasanya ini adalah kehendak dari negara, atau ini semua demi kemaslahatan negara untuk kita warganya. Namun, apabila memang undang-undang hukum keluarg di Indonesia ini dibuat atas dasar maslahat, maka ini tidak melenceng dari tuntunan hukum syari’at Islam, dan juga seperti yang kita tau, sebagian undang-undang hukum keluarga di Indonesia adalah bersumber dari hukum Islam.
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, dan Allah juga berfirman:
@è%`yJÏj9$¨BÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#ÇÚöF{$#ur(@è%°!4|=tGx.4n?tãÏmÅ¡øÿtRspyJôm§9$#4öNä3¨ZyèyJôfus94n<Î)ÏQöqtƒÏpyJ»uŠÉ)ø9$#Ÿw|=÷ƒuÏmŠÏù4šúïÏ%©!$#(#ÿrçŽÅ£yzöNåk|¦àÿRr&óOßgsùŸwšcqãZÏB÷sãƒÇÊËÈ
“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah “menetapkan” atas Diri-Nya kasih sayang. dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orangorang  yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.”
Dalam ayat ini, Allah SWT menetapkan dirinya bersifat Rahmat, kasih sayang. Walaupun Undang-Undang di Indonesia merupakan kehendaknegaraatau pemerintah, akan tetapi jika Undang-Undang tersebut penuh rahmat bagi rakyat, walaupun itu bukan kehendak Tuhan, hal ini tidak melenceng dari apa yang “mungkin” di kehendakkan oleh Tuhan.


Ruang Lingkup Hukum Keluarga Islam
Dalam pembahasan ini akan mengupasmengenai apa saja ruang lingkup Hukum Keluarga. Adapun cakupan pembahasan Hukum keluarga Islam dalam kitab-kitab fikih klasik dapat digambarkan sebagai berikut. Salah satu seorang ulama’ dari madzhab Maliki yaitu Ibnu Jaza al-Maliki memasukkan perkawinan dan perceraian, wakaf, wasiat, dan fara’id (pembagian harga pusaka) dalam kelompok Mu’amalah.
Adapun Ulama’ syafi’iyah menjadikan hukum keluarga menjadi bahasan tersendiri, yaitu ‘munakahat’. Bab ini menjadi bagian sendiri dari empat bagian, yakni: Ibadah “hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah”. Mu’amalah “hukum yang mengatur hubungan sesama manusia di bidang kebendaan dan pengalihannya.”Munakahat “hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga”,‘Uqubah “hukum yang mengatur tentang keselamatan, jaminan jiwa dan harta benda, serta urusan publik dan kenegaraan[5].
Salah seorang Ulama’ kontemporer, yaitu Mustafa Ahmad al-Zarqa, kemudian membagifikih menjadi dua kelompok besar, yaitu ‘ibadah dan Mu’amalah, kemudian membagi lebih rinci menjadi tujuh kelompok, dan salah satunya adalah hukum keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah”, yaitu hukum perkawinan (nikah), perceraian (talak, khuluk dll.), nasab, nafkah, wasiat, dan waris[6].
Sedangkan Abdul Wahhab Khallaf  membagi hukum dalam al-Qur’an menjadi tiga bagian, yaitu, Akidah, Akhlak, dan Mu’amalah.Kemudian mengkelompokkan mu’amalah menjadi dua kelompok besar, yakni, Ibadah dan Mu’amalah. Sedangkan mu’amalah dibagi lagi menjadi tujuh bagian dan salah satunya yaitu bidang Hukum Keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah”.
Wahbah al-Zuhaili menjadikan bab tersendiri Hukum Keluarga Islam, dengan menggunakan istilah “al-ahwal al-syakhsiyah”, sama dengan yang digunakan Jawad Mughniyah. Dalam satu kitab al-Mughniyah membahas dua bahasa pokok, yakni: al-Ibadat, dan al-Ahwal as-Syakhsiyah.
Secara umum, cakupan dari Hukum Keluarga Jika kita mengacu pada definisi Hukum Keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah” dari Wahbah az-Zuhaili dan Abdul Wahhab Khallaf, yaitu:
1.    HukumKeluarga (usrah) yang dimulaidaripeminangansampaiperpisahan, baikkarenaada yang wafatmaupunkarenaterjadiperceraian.
2.    Hukumkekayaankeluarga (amwal); yang mencakupwaris, wasiyat, wakafdansejenisnya yang berkaitandenganpenerimaandanataupemberian.
3.    HukumPerwalianterhadapanak yang belumdewasa.    
Adapun cakupan Hukum Keluarga “al-ahwal as-syakhsiyah” menurut pandangan umumnya ahli hukum Islam (fuqaha’) dalam kitab2 fikih adalah:
1.      Tata carameminang
2.      Syarat-syaratdanrukun-rukunnikah: a). Akadnikah. b). WaliNikah. c). Saksidalamperkawinan. d). Mempelai.
3.      Mahar.
4.      Mahram.
5.      Nikah yang sahdannikahtidaksah.
6.      Poligami.
7.      Hakdankewajibansuamidanistri.
8.      Nafkah.
9.      Perceraian.
10.  ‘Iddah.
11.  Ruju’.
12.  Hubungananakdan orang tua.
13.  Pemeliharaandanpendidikananak (hadhanah).
14.  Subyek-subyek yang berhubungandengankehidupanrumahtangga.
15.  Masalahwaris: a). Ahliwaris. b). Besarnyabagianwarisan. c). Auldan rad. d). Hibah[7].

Jika kita melihat pendapat para ahli di bidang hukum Islam terutama di bidang hukum keluarga, memang disini banyak sekali perbedaan pendapat terhadap ruang lingkup/cakupan hukum keluarga Islam, ada yang berpendapat cakupan hukum keluarga hanya tiga pokok bahasan (Perkawinan, perceraian dan warisan), ada juga yang menambahkan wakaf dalam cakupannya,dan ada juga yang menambahkan perwalian di dalamnya.
Akan tetapi, jika kita melihat pendapat umumnya ahli Hukum Islam (fuqaha’) maka kita bisa melihat bahwasanya cakupan atau ruang lingkup Hukum Keluarga Islam tidak hanya sebatas hukum perkawinan dan warisan saja, akan tetapi mencakup semua aspek-aspek hukum keluarga/kekeluargaan, dan disitu termasuk juga hukum yang menjelaskan tentang wanita dan juga tentang anak (perwalian, dan hadlonah misalanya).
Setelah kita melihat pendapat-pendapat para ahli di bidang hukum keluarga Islam mengenai ruang lingkup/cakupannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwasanya cakupan hukum keluarga Islam adalah :
1.    Perkawinan, yang mencakup: peminangan, syaratdanrukunnikah, termasukmahar, mahramdan status nikah (sahatautidaknyaperkawinantersebut).
2.    Kehidupanrumahtangga, yang mencakup: hakdankewajibansuami, istridananak, bisajugadiartikanbahwasanyainimencakupurusanhubungan orang tuadananak-anaknya. Dan point keduainijugamencakuppoligami, dannafkah.
3.    Perceraian, atau proses penyelesaianpermasalahandalamrumahtangga (danbukanberartipenyelesaianataujalankeluarnyaharuscerai), disinimencakup: percekcokanantarasuamiistridanjuganusyuz “durhaka”. Termasukjuga di dalamnyaadalahTalaq (haksuami) dankhuluk (istri). Dan jugamasapenantian (iddah) dankembalidamai/tidakjadipisah “cerai” (ruju’).
4.    Hadlonah/pengasuhandanpemeliharaananak.
5.    Tentangwaris, ataudengan kata lain adalahpnyelesaianmasalahhartasetelahterjadinyakematian/penyelesaianurusanhartaakibatwarismewarisi, disinimencakup: waris, wasiyat, wakaf, dantransaksipenyerahan/penerimaan lain[8].
Adapun undang-undang di Indonesia seperti misalnya undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang mencakup seluruh aspek dalam permasalahan prkawinan dan perceraian. Dilengkapi pula dengan Kompilasi Hukum Islam(KHI)  buku I-II dan III yang mencakup tentang perkawinan, perceraian, waris dan wakaf.

D.    Kesimpulan
1.    Para ahli berbeda pendapat tentang definisi Hukum Keluarga Islam, dan salah satu definisi yang dikemukaan oleh salah satu ahli itu adalah: Menurut Abdul Wahhab Khollaf, hukum keluarga “al-ahwal as-syakhsiyah” adalah hukum yang mengatur kehidupan keluarga, yang dimulai dari awal pembentukan keluarga. Adapuntujuannyaadalahuntukmengaturhubungansuami, istridananggotakeluarga. MenurutWahbahaz-Zuhaili, hukumkeluargaadalahhukumtentanghubunganmanusiadengankeluarganya, yang dimulaidariperkawinansampaiberakhirpadapembagianwarisankarenaadaanggotakeluarga yang meninggaldunia. Dan walaupunkadang “mungkin” adaHukumkeluarga di Indonesia yang berbedadengankonsepfikihklasik, akantetapiasalkanberdasarkanTujuanSyari’at Islam, makaitutidakdianggapsalah (secara agama), karenaHukum agama Islam bukanhanya yang adadalamFikihklasiksemata, danmungkinituadalahpengembangandarifikihtersebutmelaluiijtihadparaahli/pakarhukumtersebut.
2.    Pada hakikatnyahukumkeluargabersifat solutif, artinya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.
3.      Mengenairuanglingkup/cakupanHukumKeluarga, banyakperbedaanpendapatmengenaihaltersebut. Akan tetapi, umumnyaparaahlihukum Islam (fuqoha’), berpendapatbahwasanyaruanglingkupHukumKeluarga Islam tidakhanyasekedarperkawinan,perceraian, danwaris. akantetapididalamnyajugadibahastentanganak (hadlonahdll).



















DAFTAR PUSTAKA

1.      NasutionKhoiruddin, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010.
2.      Khallaf‘Abd al-Wahhab, ‘Ilm-Usul al-Fiqh, cet ke-8 (ttp.: Maktabah al-da’wah al-Islamiyah, t.t.),
3.      Wahbah,al-Fiqh al-Islam wa Adillatullah, Beirut: Dar al-Fikr,1989.
4.      Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. Ke-5. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.
5.      Al-ZarqaMustafa Ahmad, al-Fiqh al-Islam fi Thaubihi al-Jadid: al-Madkhal al-Fiqih al-Amm. Beirut: Dar al Fikr, t.t.



[1] Khoiruddin Nasution, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 5-7
[2] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm-Usul al-Fiqh, cet ke-8 (ttp.: Maktabah al-da’wah al-Islamiyah, t.t.), hlm. 32
[3] Wahbah alal-Fiqh al-Islam wa Adillatullah, (Beirut: Dar al-Fikr,1989), VI:6.
[4] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. Ke-5 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007) hlm. 138
[5]Khoiruddin Nasution, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 9
[6] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islam fi Thaubihi al-Jadid: al-Madkhal al-Fiqih al-Amm (Beirut: Dar al Fikr, t.t.)hlm. 55-56.
[7]Khoiruddin Nasution, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 13-14.

[8] Ibid., hlm. 14

- Copyright © KAJIAN ILMIAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -