- Back to Home »
- hukum keluarga , ISLAM , TUJUAN DAN APLIKASI HUKUM KELUARGA »
- HUKUM KELUARGA ISLAM: TUJUAN DAN APLIKASINYA
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
HUKUM KELUARGA ISLAM: TUJUAN DAN APLIKASINYA
![]() |
Makalah Ini Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Filsafat
Hukum Keluarga Dalam Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Hamim Ilyas, M.A.
OLEH:
MAYLISSABET : 1320310013
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PRODI HUKUM ISLAM
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI............................................................................................................
i
PENDAHULUAN...................................................................................................
1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqa>s}id Asy-Syari>’ah..................................................................
3
B. Penerapan Maqa>s}id
Asy-Syari>’ah ke Dalam Hukum Keluarga .................... 6
C. Fungsi Hukum................................................................................................
10
KESIMPULAN........................................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
14
PENDAHULUAN
Hukum keluarga Islam merupakan
aturan hukum yang mengatur mengenai hal-ihwal seputar keluarga dalam Islam. Hukum
keluarga Islam meliputi hukum perkawinan, perceraian, hadhonah, waris, wakaf
dan lain-lain. Aturan-aturan tersebut diambil dari hasil ijtihad para Ulama
yang biasa disebut fiqh. Fiqh ini pun merupakan hasil ijtihad para Ulama
yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Jadi sebenarnya hukum keluarga Islam
ini merupakan Hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan sunnah, yang kemudian
dipahami oleh para Ulama.
Allah sebagai Syari’
memiliki tujuan tertentu di dalam segala aturan yang dibuatNya. Seperti halnya
hukum pada umumnya, tujuan hukum di dalam Islam biasa dikenal dengan istilah Maqa>s}id Asy-Syari>ah. Maqa>s}id
Asy-Syari>ah
ini terdiri
dari beberapa bagian, yang mana bagian-bagian tersebut harus tercipta dalam
menerapkan sebuah hukum. Hukum keluarga Islam, sebagai hukum yang mengatur
keluarga dalam Islam, setidaknya juga harus memenuhi Maqa>s}id Asy-Syari>ah tersebut, agar hukum
keluarga Islam dapat menciptakan kemaslahatan bagi para pelakunya.
Berbicara mengenai Maqa>s}id Asy-Syari>ah, tidak lepas untuk mengetahui terlebih dahulu
arti dari Maqa>s}id Asy-Syari>ah itu sendiri.
Pengertian Maqa>s}id
Asy-Syari>ah ini tidak hanya diformulasikan oleh satu Ulama
saja, akan tetapi oleh beberapa Ulama. Hal ini penting dikaji, untuk
memilah-milih pengertian yang kira-kira lebih sesuai dengan situasi dan kondisi
pada ada saat ini. Bagian-bagian dari Maqa>s}id Asy-Syari>ah ini pun bisa jadi bertambah dari
formulasi awal, karena semakin kompleksnya permasalahan yang ada saat ini.
Ketika pengertian telah ditemukan,
maka tidak terlepas pula membahas tentang pengaplikasian Maqa>s}id Asy-Syari>ah di dalam Hukum
keluarga Islam pada saat ini. Terkait pengapilikasiannya, maka perlu
membicarakan mengenai fungsi hukum pada umumnya. Hal ini agar hukum keluarga
Islam benar-benar memberi mas}lah}ah} kepada manusia. Perubahan zaman
yang tidak akan pernah berhenti, menuntut hukum Islam untuk selalu bergerak,
agar hukum Islam tidak terkesan kaku dalam mengatur kehidupan manusia.
Dari fenomena di atas, pemakalah
ingin menelusuri lebih lanjut mengenai tujuan dari hukum keluarga Islam itu
sendiri. Apakah hukum keluarga Islam yang ada saat ini telah berjalan sesuai
dengan Maqa>s}id
Asy-Syari>ah?. Terkait Pengaplikasian Maqa>s}id Asy-Syari>ah untuk masa
kini, apakah telah dapat menciptakan mas}lah}ah} bagi manusia.
Inilah yang menjadi fokus pembahasan makalah.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqa>s}id Asy-Syari>ah
Maqa>s}id Asy-Syari>ah memiliki
banyak fersi dalam pengertian. Perubahan zaman yang dialami oleh para tokoh
pencetus al-Maqa>s}id
berimplikasi pada beraneka ragamnya pengertian dan ruang lingkup al-Maqa>s}id itu sendiri.
Ada beberapa tokoh terkenal dari abad ke-5 hingga abad ke-8H yang dikenal
sebagi pencetus al-Maqa>s}id. Tokoh tersebut
adalah Imam al-Juwayni (pencetus teori kebutuhan), Imam al-Ghazali (pencetus
jenjang-jenjang Keniscayaan), Al-‘Izz ‘Abd al-Salam (pencetus hikmah di balik
hukum syari’at), Imam al-Qarafi (pencetus klasifikasi perbuatan Nabi SAW), Imam
ibn al-Qayyim (pencetus Hakikat Syari’at), dan Imam asy-Syatibi (pencetus
maqasid sebagai asas-asas hukum Islam).[1]
Imam
al-Juwayni yang memiliki karya tulis berjudul al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh memaparkan
mengenai teori tentang “jenjang-jenjang kebutuhan dasar” yang dikenal saat ini.
Jenjang-jenjang kebutuhan dasar tersebut adalah ad}-d}aru>rah, al-h}a>jah
al-‘a>mmah, al-makruma>h, al-mandu>bah, dan apa yang
tidak dapat dikembalikan kepada maksud yang spesifik. Beliau juga menyarankan
tujuan dari hukum Islam adalah al-‘is}mah (perlindungan nyata) terhadap keimanan, jiwa,
akal, ranah-ranah kepribadian dan harta. Karya yang lain dari beliau adalah giya> al-Umam (penyelamat
umat-umat).
Dalam karyanya
kali ini, beliau menulis tentang prinsip-prinsip fundamental yang melandasi dan
mengumpulkan segenap aturan hukum Islami. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya
adalah “kemudahan” sebagai tujuan dari berbagai macam aturan, pengangkatan
beban hidup bagi orang miskin (tujuan dari berbagai aturan zakat dan sedekah),
dan kesepakatan bersama sebagai prinsip pengatur segala bentuk hukum
perdagangan.[2]
Abu Hamid
al-Ghazali sebagai murid dari al-Juwayni mengembangkan teori yang telah digagas
oleh gurunya. Karya beliau bernama al-Mustas}fa (sumber yang murni). Beliau mengurutkan
keniscayaan yang telah digagas oleh al-Juwayli, menjadi: keimanan, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Beliau juga menggagas istilah al-H{ifz} (pelestarian)
dalam keniscayaan. Beliau juga menyarankan untuk memprioritaskan kebutuhan yang
ada pada urutan yang lebih tinggi di atas urutan yang lebih rendah, ketika
terjadi benturan dalam penerapan keduanya.[3]
Tokoh selanjutnya
adalah al-Izz ibn ‘Abd al’Salam, yang mana beliau menulis dua buku kecil
tentang maqasid yang bernuansa “hikmah di balik aturan Syari’at”, yakni
tujuan-tujuan salat dan tujuan-tujuan puasa. Karya beliau yang lebih memberikan
sumbangan besar terhadap maqasid adalah Qawa>id al-Ah}kam fi>
Mas}a>lih} al-Ana>m (kaidah-kaidah Dasar tentang
Kemaslahatan-kemaslahatan Manusia). Karya beliau ini memaparkan secara luas
terkait maslahat dan madarat, dan menghubungkan kesahan aturan dengan tujuannya
dan hikmah di baliknya[4].
Ulama lainnya
adalah Syihab al-Din al-Qarafi dengan karyanya Al-Qarafi. Beliau menyumbangkan
mengenai pengklasifikasian berbagai macam tindakan Nabi. Hal ini bertujuan
untuk memilah milih tindakan Nabi yang dapat diterapkan untuk kasus pada
umumnya atau hanya untuk kasus-kasus tertentu. Beliau juga menganjurkan agar
sarana-sarana yang dapat mengantarkan kepada tujuan yang legal perlu dibukakan,
dan begitu pula sebaliknya.[5]
Syamsuddin ibn
al-Qayyim yang merupakan murid Imam ternama Ahmad ibn Taymiyah, berkontribusi
terhadap pengembangan teori Maqa>s}id. Al-Qayyim mengkritik secara mendetail
terhadap al-H{iyal
al-Fiqhiyyah (berputar-putar dan menyiasati arahan
syari’at. Kritiknya di atas didasari oleh kontradiksinya dengan tujuan-tujuan
syari’ah. Contoh dari kasus ini dapat berupa, seperti riba dan korupsi ysng
merupakan tindakan ilegal, dilegalkan oleh para pelakunya.[6]
Imam yang
dikenal dengan panggilan Asy-Syatibi ini kurang lebih memilki kesamaan dengan
al-Juwayni dan al-Gazali. Asy-Syatibi dalam karyanya al-Muwa>faqa>t fi> Usu>l
al-Syari’ah (Harmonisasi Asas-asas Syari’at),
mengembangkan teori al-Maqasid dengan tiga transformasi penting. Tiga
transformasi penting tersebut adalah: pertama, al-Maqasid dari sekedar
“mashlahat-mashlahat lepas” menuju “asas-asas hukum”. Kedua, al-Maqasid dari
“hikmah di balik aturan” menuju “kepada dasar aturan”. Ketiga, al-Maqasid dari
“ketidaktentuan” menuju “keyakinan”.[7]
Terlepas dari
sejarah al-Maqa>s}id
di atas, ada pula salah satu pengertian secara leksikalnya, yakni Maqa>s}id Asy-Syari>ah diartikan
sebagai maksud atau tujuan pensyari’atan hukum di dalam Islam. Para Ulama menjadikan
Maqa>s}id
Asy-Syari>ah sebagai salah satu bagian penting dalam kajian
us}u>l
al-fiqh.
Seiring
berjalannya waktu, kajian ini mengalami perkembangan yang kemudian menjadikan Maqa>s}id Asy-Syari>ah sebagai obyek
utama dalam bidang filsafat hukum Islam. Subhi Mahmasami dalam kitabnya falsafa>tu at-Tasyri>’ fi>
al-Isla>m mengatakan bahwa istilah Maqa>s}id Asy-Syari>ah identik
dengan Filsafat Hukum islam.[8]
Memahami Maqa>s}id Asy-Syari>ah dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang sangat diperlukan oleh siapapun, terutama para
mujtahid. Hal ini untuk untuk memutuskan hukum yang sesuai dengan kebutuhan
pada saat ini. Ketika mujtahid tidak memahami apa hakikat dari Maqa>s}id Asy-Syari>ah itu sendiri,
dihawatirkan hukum yang belum pernah ditetapkan oleh Nabi bahkan para Ulama,
tidak memenuhi Maqa>s}id
Asy-Syari>ah
dan pastinya
kurang menciptakan kedamaian bagi manusia.
Pengertian
yang lain mengenai Maqa>s}id
Asy-Syari>ah juga diungkapkan, bahwa Maqa>s}id Asy-Syari>ah merupakan
cabang ilmu keislaman yang menjawab segenap pertanyaan-pertanyaan yang sulit
dan diwakili oleh sebuah kata yang sederhana, yakni “mengapa”. Dari pengertian
di atas, menunjukkan bahwa Maqa>s}id Asy-Syari>ah menjelaskan
hikmah di balik aturan yang ada di dalam syariat Islam. Maqa>s}id Asy-Syari>ah juga dapat
dianggap sebagai sejumlah tujuan Ilahi dan konsep akhlak yang melandasi proses penyusunan
hukum berdasarkan syari’at Islam.[9]
Pada teori
keniscayaan, al-Maqa>s}id
tidak meliputi nilai-nilai paling dasar yang bersifat universal,
contohnya terkait keadilan, kebebasan dll. Al-Maqa>s}id juga
cenderung dideduksi dari tradisi dan dari teks-teks suci al-Qur’an dan hadits.
Lingkup klasik merupakan syari’at secara keseluruhan, oleh karena itu al-Maqa>s}id tidak meliputi
tujuan-tujuan spesifik dari sebuah hukum/ teks ataupun dari sejumlah teks yang
mengatur topik-topik tertentu dari syari’at, sehingga al-Maqa>s}id klasik tidak
dapat menjawab pertanyaan “mengapa” secara detail.[10]
B.
Penerapan Maqa>s}id Asy-Syari>ah dalam Hukum
Keluarga Islam
Maqa>s}id Asy-Syari>ah pada umumnya
terdiri dari lima tujuan, yakni:[11]
1.
Memelihara
Agama (H{ifz}
ad-Di>n)
Tujuan untuk
memelihara agama, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama,
tingkatan d{aru>riyah. Pada tingkatan
ini, memelihara agama dalam artian melaksanakan kewajiban keagamaan, menjadi
sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi
hal primer, mengakibatkan keagamaannya terancam. Contoh dalam tingkatan ini,
seperti aturan dalam undang-undang di Indonesia, bahwa perkawinan harus
dilaksanakan dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan.[12]
Hal ini dalam rangka untuk memelihara agama masing-masing pihak. Ketika
pasangan berbeda agama, dihawatirkan salah satu dari pasangan tersebut akan
berpindah agama sesuai dengan pihak yang lebih berkuasa dalam pasangan. Hal ini
jelas akan merusak agama asli pihak yang bersangkutan.
Kedua, tingkatan h}ajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, akan tetapi
hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan ini,
seperti perkawinan dengan orang yang memiliki agama yang sama, akan tetapi
orang tersebut memiliki orang tua yang beda agama. Hal ini memang secara tidak
langsung merusak agama dari para pasangan, akan tetapi sedikit mempersulit hubungan
sebuah pasangan, karena orang tua memiliki peran yang cukup penting pula terhadap
pasangan, seperti untuk memberi nasehat-nasehat, berbagi keluh kesah dan
lain-lain.
Ketiga, tingkatan tah}si>niyyah. Pada tingkatan ini dimaksudkan
untuk menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan
kewajibannya kepada Tuhan. Ketika hal ini tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam eksistensi agama dan tidak pula akan mempersulit orang yang
melakukannya. Contoh pada tingkatan ini, seperti mengundang orang-orang yang
berbeda agama pada sebuah pesta perkawinan.
2.
Memelihara
Jiwa (H{ifz}
an-Nafs)
Tujuan untuk memelihara jiwa, dapat
dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan d{aru>riyah. Pada tingkatan
ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang
tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi jiwa manusia terancam.
Contoh dalam tingkatan ini, seperti dilarangnya melakukan aborsi bagi para ibu,
sekalipun anak di dalam kandungannya merupakan anak di luar nikah.
Kedua, tingkatan h}ajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, akan
tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh mengkonsumsi
makanan yang bergizi bagi para ibu hamil, untuk memenuhi gizi janin yang ada di
dalam kandungan.
Ketiga, tingkatan tah}si>niyyah. Pada tingkatan ini, ketika tidak
terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa dan tidak pula akan
mempersulit kehidupan seseorang. Contoh pada tingkatan ini, seperti memeriksakan
kandungan untuk mengetahui jenis kelamin sang bayi.
3.
Memelihara
Akal (H{ifz}
al-‘Aql)
Tujuan untuk
memelihara akal, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama,
tingkatan d{aru>riyah. Pada tingkatan
ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang
tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi akal manusia terancam.
Contoh dalam tingkatan ini, seperti anjuran untuk mendidik anak pada usia dini
dengan cara yang halus dan tidak mengandung unsur bentakan yang berlebihan.
Kedua, tingkatan h}ajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan merusak akal manusia, akan tetapi hanya akan
mempersulit orang yang bersangkutan. Contoh dalam tingkatan ini, seperti anjuran
menuntut ilmu, terutama pada usia muda.
Ketiga, tingkatan tah}si>niyyah. Pada tingkatan ini, ketika tidak
terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung. Contoh
pada tingkatan ini, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan
sesuatu yang tidak berguna.
4.
Memelihara
Keturunan (H{ifz}
an-Nasl)
Tujuan untuk
memelihara keturunan, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama,
tingkatan d{aru>riyah. Pada tingkatan
ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang
tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi keturunan manusia akan terancam.
Contoh dalam tingkatan ini, kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik
anak-anak dengan sebaik-baiknya.[13]
Hal ini tetap saja terjadi, meskipun antara suami dan isteri telah bercerai.
Kedua, tingkatan h}ajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan manusia, akan
tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan
ini, seperti memenuhi segala kebutuhan anak yang diasuh oleh orang tua.
Ketiga, tingkatan tah}si>niyyah. Pada tingkatan ini, ketika tidak
terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula akan
mempersulit orang yang bersangkutan, hal ini hanya berkaitan dengan etika dan
martabat manusia. Contoh pada tingkatan ini, seperti disyari’atkannya khitbah
dalam perkawinan.
5.
Memelihara
Harta (H{ifz}
al-Ma>l)
Tujuan untuk memelihara harta, dapat
dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan d{aru>riyah. Pada tingkatan
ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang
tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi harta manusia terancam.
Contoh dalam tingkatan ini, seperti pensyari’atan aturan kepemilikan harta dan
larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Hal ini dapat
berupa aturan mengenai waris dan pembagian harta bersama, baik dalam Kompilasi
hukum Islam maupun UU Perkawinan No 1 Tahun 1974.[14]
Kedua, tingkatan h}ajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi harta manusia, akan
tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan
ini, seperti pembagian harta peninggalan dengan tanpa dibimbing seseorang yang
ahli dalam membagi, seperti pihak pengadilan, ulama dll.
Ketiga, tingkatan tah}si>niyyah. Pada tingkatan ini, ketika tidak
terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi harta dan tidak pula akan
mempersulit kehidupan seseorang. Contoh pada tingkatan ini, seperti anjuran
untuk menghindarkan diri dari penipuan dalam pembagian harta keluarga.
Seiring berjalannya waktu, Maqa>s}id Asy-Syari>ah tidak hanya
terdiri lima tujuan seperti yang telah dijelaskan di atas. Ada pendapat yang
menambahkan satu tujuan yang lain di samping yang telah dijelaskan sebelumnya,
yakni: memelihara kehormatan. Menjaga kehormatan dapat meliputi kehormatan diri
sendiri, anak, dan juga keluarga.
Tujuan untuk memelihara kehormatan, dapat
dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan d{aru>riyah. Pada tingkatan
ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang
tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi kehormatannya terancam.
Contoh dalam tingkatan ini, seperti pensyari’atan perkawinan bagi orang yang
memang sudah mampu secara lahir maupun batin untuk melakukan perkawinan.
Kedua, tingkatan h}ajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi kehormatan manusia,
akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam
tingkatan ini, seperti anjuran berpuasa bagi orang yang sudah ingin melakukan
perkawinan, akan tetapi belum memiliki bekal yang cukup untuk melakukan
perkawinan.
Ketiga, tingkatan tah}si>niyyah. Pada tingkatan ini, ketika tidak
terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi kehormatan dan tidak pula akan
mempersulit kehidupan seseorang. Contoh pada tingkatan ini, seperti pilihan
untuk melakukan perkawinan kembali bagi orang yang sudah pernah melakukan
perkawinan (sebab mati atau perceraian).
C.
Fungsi Hukum
Manusia dapat
dikatakan tidak dapat lepas dengan aturan di dalam kehidupannya. Aturan
tersebut digunakan untuk mengatur hubungan manusia yang satu dengan yang
lainnya, karena manusia memiliki akal yang melatarbelakangi tindak tanduknya. Tindakan
manusia yang dilakukan akan ditafsirkan oleh manusia yang lainnya. Oleh karena
itu, setiap tindakan pasti memiliki tujuan tertentu. Tindakan di dalam lingkup
sosial dapat dikatagorikan menjadi tindakan yang baik maupun tindakan yang
buruk.[15]
Manusia
cenderung merasa nyaman dengan tindakan yang memang dapat diterima oleh
akalnya. Manusia tidak akan dapat hidup nyaman dengan membiarkan manusia yang
saling membunuh satu sama lain. Manusia tidak akan hidup nyaman dengan
tindakan-tindakan yang pada dasarnya tidak dapat diterima oleh akal. Inilah
perbedaan yang paling menonjol antara manusia dan hewan. Kenyataan di atas
berimplikasi pada fungsi hukum dalam kehidupan manusia, yakni minimal
mengandung ketertiban umum dan keadilan.[16]
a)
Ketertiban
Umum
Bahasan
tentang memperoleh jawaban masalah keadilan dan kepastian hukum mrupakan tujuan
utama yang hendak dicapai manusia dalam pelaksanaan hukum. Sesuatu dapat
dikatakan adil pun selalu menjadi perdebatan yang semakin lama semakin
kompleks. Hal ini disebabkan permasalah yang tumbuh di kehidupan manusia pun
semakin lama semakin kompleks. Semakin kompleksnya permasalahan di tengah-tengah
masyarakat, menuntut para pembuat hukum untuk selalu menyerasikan hukum yang
ada. Kenyataan seperti ini yang sampai kapanpun tidak akan pernah berhenti demi
tercapainya ketertiban umum.
Ketertiban umum merupakan suatu keadaan yang
menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai makhluk yang hidup bersama
dengan manusia yang lainnya. Ketertiban umum sebagai sesuatu yang pantas dan
teratur sehingga dapat diterima secara umum oleh orang lain. Ketertiban umum
dalam masyarakat tidak jatuh dari langit, akan tetapi diciptakan oleh manusia
itu sendiri. Ketertiban umum dapat diciptakan karena tertib hukum. Tertib hukum
dapat menciptakan ketertiban umum, apabila tertib hukum tersebut mengandung
keadilan, sehingga didukung oleh masyarakat sebagai subjek hukum umum. Berbeda
dengan ketertiban umum, tidak selamanya ketertiban umum mengandung keadilan,
karena tuntutan penguasa pun dapat menciptakan ketertiban umum.[17]
Ketertiban
umum di sini dapat tercermin dalam tujuan penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini mengatur secara detail mengenai
perkawinan tidak lain untuk menciptakan ketertiban umum dalam masyarakat.
Seperti yang diketahui, bahwa perkawinan ini bukan hanya terkait hubungan
antara kedua mempelai, akan tetapi juga terkait dengan hubunagn dua keluarga
yang pada dasarnya memiliki perbedaan-perbedaan gaya hidup. Perkawinan ini pun
akan dilakuakn oleh semua orang tanpa mengenal golongan, oleh karenanya sangat
penting menciptakan aturan yang pasti terkait dengan perkawinan.
b)
Keadilan
Keadilan
merupakan substansi dari tertib hukum dan fungsi utama dari hukum, yang pada
akhirnya bertujuan untuk menegakkan keadilan. keadilan juga merupakan konsep
yang relevan dengan hubungan antar manusia.[18]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan adalah landasan perlakuan adil terhadap
manusia yang menjadi warga masyarakat.
Keadilan
memiliki dua macam yakni keadilan individu dan keadilan sosial. Kedua macam
keadilan tersebut sebenarnya tidak memiliki pengertian yang jelas, hanya saja
dapat sedikit digambarkan dari maksud kedua istilah tersebut. Keadilan individu
merupakan keadilan yang tercipta dalam lingkup yang bersifat individu, yakni
keadilan yang diwujudkan tidak terkait dengan manusia secara umum. Keadilan
sosial merupakan keadilan yang tercipta dalam lingkup yang bersifat sosial, yakni
keadilan yang diwujudkan dalam lingkup manusia pada umumnya.
Jika melihat
hukum Keluarga Islam, contohnya hubungan suami isteri dalam keluarga, yang
telah dapat mencerminkan keadilan antara keduanya. Suami yang memiliki
kewajiban untuk menafkahi keluarga, merupakan hal yang adil bagi suami, karena
dari segi fisik suami lebih kuat untuk membanting tulang menafkahi keluarganya
dari pada isteri. Isteri yang bertugas untuk mengurus rumah tangga, juga
merupakan sesuatu yang adil, karena pada umumnya wanita lebih telaten dari pada
laki-laki dalam urusan yang bersifat domestik. Meskipun dalam aturan seperti di
atas, sebenarnya aturan tersebut tidak berjalan kaku dan mati. Hubungan suami
isteri tetap dapat dikompromikan secara baik-baik demi terciptanya kenyamanan
dalam keluarga dan tanpa ada pihak yang merasa dimonopoli.
KESIMPULAN
Dari pemaparan pembahasan makalah
di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1.
Bahwa tujuan
hukum dalam agama Islam, yang biasa dikenal dengan sebutan Maqashid
asy-Syari’ah, selalu berkembang seiring berjalannya waktu demi mewujudkan
kemashlahatan ummat.
2.
Hukum keluarga
Islam yang telah diolah menjadi Undang-Undang di Indonesia, dapat dikatakan
telah memenuhi maqasid asy-Syariah, meskipun belum secara maksimal.
3.
Fungsi hukum
pada umunya memiliki kemiripan dengan Maqashid asy-Syari’ah, yakni untuk
mewujudkan ketertiban sosial dan menciptakan keadilan di tengah-tengah
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
‘Audah, Jaser,
Maqasid al-Shariah: A beginner’s Guide, alih bahasa: ‘Ali ‘Abdelmon’im, Al-Maqasid
Untuk Pemula Yogyakarta: Suka-Press, 2013.
Kusumohamidjojo,
Budiyono, Ketertiban Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Jakarta:
Grasindo, 1999.
Umar, Hasbi, Nalar
Fiqh Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Anonim, Undang-undang Perkawinan
Edisi Lengkap, Citra Media Wacana, 2008.
[1] Jaser ‘Audah, Maqasid al-Shariah: A
beginner’s Guide, alih bahasa: ‘Ali ‘Abdelmon’im, Al-Maqasid Untuk
Pemula (Yogyakarta: Suka-Press, 2013), hlm. 38.
[2] Ibid, hlm. 38-40. Baca Al-Juwayni,
Abdul Malik, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, ed. Abdul-Azim al-Deeb, 4th ed.
(Mansurah: al-Wafa’, 1418 AH/1998 CE); idem, Ghiah al-Umam fi Iltiyath
al-Dzulam, ed. Abdul Azim al-Deeb (Qatar: Wazarah al-Shu’un al-Diniyyah,
1400 AH)
[3] Ibid, hlm. 40-41. Baca al-Ghazali, Abu
Hamid, al-Mustasfa fi Ilm al-Ushul, ed. Mohammed Abdul Salam Abdul Shafi
vol. I (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413).
[4] Ibid, hlm. 41-42. Baca Al-Izz ibn Abd
al-Salam, maqasid al-Saum, ed. Iyad al-Tabba, 2nd (Beirut: Dar al-Fikr,
1995)
[5] Ibid, hlm. 43-44. Baca Shihab al-Din
al-Furuq, al-Dakhirah , vol.I (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998)
[6] Ibid, hlm. 44-45.
[7] Ibid, hlm. 46-48.
[8] Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2007), hlm. 120.
[9] Jaser ‘Audah, Maqasid al-Shariah, hlm.
1-5.
[10] Ibid, hlm. 13.
[11] Hasbi Umar, Nalar Fiqh, hlm. 124-127.
[12] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2
ayat 1.
[13] Undang-Undang No 1 tentang Perkawinan Tahun
1974, Pasal 45.
[14] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96-97, BAB II,
III, dan V, Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, Pasal 35-37.
[15] Budiyono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang
Adil Problematik Filsafat Hukum, (Jakarta: Grasindo, 1999) hlm. 121.
[16] Ibid, hlm. 121-122.
[17] Ibid, hlm. 122-126.
[18] Ibid, hlm. 133.
mohon izin copy paste ya..
BalasHapus